Bagikan:

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold menjadi gebrakan besar dalam tatanan politik Indonesia. Keputusan ini menuai banyak respons—dari harapan akan demokrasi yang lebih sehat hingga kekhawatiran munculnya instabilitas politik.

Konsep presidential threshold lahir dari UU Pemilu yang mensyaratkan partai atau koalisi memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional untuk mencalonkan presiden. Tujuannya untuk mengurangi jumlah kandidat demi memastikan stabilitas pemerintahan. Namun, lebih dari satu dekade penerapannya, kebijakan ini memicu kritik karena dianggap mengurangi alternatif pilihan rakyat.

Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menghapus hambatan tersebut. Tidak lagi ada batasan yang memaksa partai kecil tunduk pada partai besar hanya untuk masuk ke bursa pencapresan. Sebaliknya, peluang untuk munculnya figur-figur baru terbuka lebar.

Dukungan terhadap putusan MK datang dari berbagai pihak. Perludem menyebut ini sebagai langkah besar memperluas pilihan rakyat. “Tanpa threshold, rakyat bisa memiliki lebih banyak pilihan kandidat,” ujar Titi Anggraini dari Perludem. Partai Buruh bahkan menyebut keputusan ini sebagai tonggak baru demokrasi sehat.

Namun, penghapusan presidential threshold juga memunculkan tantangan baru. Tanpa batasan yang ketat, potensi kemunculan figur populer tanpa kapasitas memadai menjadi kekhawatiran. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir berharap keputusan ini tidak membuat sistem perpolitikan menjadi kacau. “Mudah-mudahan keputusan ini memberikan angin segar kepada sistem demokrasi di negara kita, bukan malah membuat karut-marut baru,” katanya.

Menurut Adies, Golkar cukup terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, gugatan terkait aturan ini telah diajukan berkali-kali, tetapi baru kali ini dikabulkan. Dengan sistem baru ini, kompetisi terbuka menjadi lebih mungkin. “Keputusan ini hadiah terindah bagi demokrasi,” ujar analis politik Yudi Latif.

Meski demikian, sistem multipartai bisa menghasilkan pilpres dengan belasan calon. Hal ini memunculkan risiko fragmentasi suara. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah dan DPR sedang mempersiapkan revisi UU Pemilu guna mengatur teknis pencalonan presiden. Sementara itu, wacana calon independen yang didorong oleh DPD semakin menguat, memperluas kemungkinan bagi kandidat nonpartai.

Sistem tanpa threshold juga memunculkan pertanyaan tentang kualitas kandidat. Pakar hukum tata negara Prof. Umbu Rauta seperti dimuat di hukum online menyarankan adanya kriteria tambahan, seperti pengalaman atau prestasi politik, untuk memastikan integritas kandidat. Menurutnya, kualitas kandidat adalah kunci menjaga stabilitas politik pasca-penghapusan presidential threshold.

Indonesia sedang berada di persimpangan penting dalam perjalanan demokrasinya. Keputusan Mahkamah Konstitusi menghapus presidential threshold adalah peluang besar untuk memperbaiki sistem politik, tetapi juga menuntut kesiapan semua pihak. Dengan lebih banyak calon, rakyat harus menjadi pemilih yang cerdas, memilih berdasarkan visi dan kapasitas, bukan popularitas semata.

Pilpres tanpa presidential threshold adalah uji coba besar bagi demokrasi Indonesia. Apakah ini akan menjadi awal baru menuju perbaikan, atau justru menciptakan masalah baru? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun satu hal pasti, masa depan demokrasi ada di tangan rakyat.