Rumah Buya Hamka Jadi Tempat Pengaduan Korban Judi
JAKARTA - Siasat Pemerintah DKI Jakarta legalkan perjudian bawa untung bejibun. Empunya kuasa dapat membangun banyak hal dari pajak judi pada 1970-an. Dari membangun sekolah hingga rumah sakit. Namun, di sisi lain perjudian justru banyak mudaratnya.
Korban judi muncul di mana-mana. Alih-alih hanya membuat orang jatuh miskin, judi nyatanya dapat merusak hubungan keluarga. Ulama kesohor Buya Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) mengamininya. Bahkan, rumahnya menjelma bak posko pengaduan korban judi.
Ide memajaki bisnis perjudian bukan barang baru di Jakarta. Laku hidup itu telah hadir kala Jakarta masih bernama Batavia. Penjajah Belanda anggap aktivitas perjudian dapat membawa untung bejibun. Barang siapa yang ingin menjalankan bisnis perjudian akan dipajakinya.
Kas penjajah pun gemuk karena judi. Narasi yang sama coba dilanggengkan Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977, Ali Sadikin. Ali kepincut melegalkan perjudian untuk mempercantik Jakarta. Pria yang akrab disapa Bang Ali beranggapan membangun Jakarta dengan pajak judi lebih masuk akal dibanding menggunakan dana pemerintah pusat. Kecil pula.
Mau tak mau judi dilegalkan. Hasilnya gemilang. Segala macam jenis perjudian jadi andalan menggemukkan kas DKI Jakarta. Pajak judi itu membuat Jakarta banyak membangun. Kampung diperbaiki, jalannya mulai diaspal, sekolah-sekolah bertambah, dan fasiltas kesehatan diperbaiki.
Penjudi pun coba dibatasi kepada penduduk China saja. Namun, pada kenyataannya gila judi justru menjangkiti seluruh elemen masyarakat, tak hanya orang China. Dari jelata hingga orang kaya. Impian kaya raya dengan jalan pintas jadi pemantik utamanya.
Masalah pun muncul. Kebanyakan warga Jakarta kecanduan judi. Mereka terus mematri harapan tinggi untuk jadi salah seorang yang beruntung. Sebab, kalau kalah mereka akan mencobanya lagi esok hari. Apalagi, mereka bersedia mempertaruhkan apa saja di meja judi.
Kondisi itu membuat penjudi jatuh miskin dan gila. Gejala sosial itu jadi bukti bahwa ada harga mahal yang harus di bayar pemerintahan Ali Sadikin di tengah legalnya perjudian.
“Lotere Hwa Hwee ini juga sangat populer dalam pergaulan bermain saya dan banyak temapt saya yang ikut-ikutan bermain menebak lotere Hwa Hwee ini. Adapun yang cukup menyedihkan, banyak kalangan bawah yang menjadi sangat keranjingan bermaintebakan judi Hwa Hwee ini. Sehingga banyak yang jatuh miskin atau keluarganya berantakan. Bahkan ada juga yang sampai terganggu jiwanya.”
“Yah, memang taraf pendidikan masyarakat kita masih rendah, mudah latah dan terkecoh ikut-ikutan berjudi supaya cepat kaya tanpa perhitungan yang rasional. Karena banyak tekanan dari masyarakat terutama kalangan agama atas dampak negatif yang ditimbulkan lotere Hwa Hwee ini,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
Korban Judi Mengadu ke Buya Hamka
Legalnya perjudian membuat kalangan ulama mengecam tindakan pemerintah DKI Jakarta. Buya Hamka, salah satunya. Ia berkali-kali menuliskan kritiknya via surat kabar terkait legalisasi perjudian. Pun Buya Hamka juga berkali-kali menyampaikan kritik secara langsung ke Ali Sadikin.
Kritik yang dilemparkan Buya Hamka bukan tanpa alasan. Buya Hamka memahami judi sudah jelas dilarang agama. Namun, urgensi yang paling vital baginya adalah ia tak kuasa melihat banyak keluarga hancur karena judi. Boleh jadi ayahnya saja yang berjudi, tapi istri dan anak kerap jadi korban.
Pandangan Buya Hamka itu dikuatkan dengan banyaknya korban judi yang mendatangi kediamannya. Kala itu rumah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 1975-1981 bak rumah pengaduan. Banyak di antara korban judi bercerita langsung betapa mudaratnya perjudian di Jakarta.
Keluarga hancur dan moral warga Jakarta rusak jadi konsekuensi serius dari perjudian. Saban hari mereka yang datang ke rumah Buya Hamka makin banyak. Topiknya tak jauh-jauh dari konsultasi terkait bahaya perjudian.
Baca juga:
Buya Hamka mendengarkan cerita tiap orang yang datang. Setelahnya, ia memberikan nasihat kepada mereka. Selebihnya, cerita-cerita itu akan di utarakan langsung kepada empunya kebijakan. Ajian itu dilakukan Buya Hamka supaya pemerintah DKI Jakarta tersadar bahwa judi banyak mudaratnya.
“Lama Ayah memikirkan kejadian yang baru dilihatnya itu dan dalam beberapa kali khutbahnya di Masjid Al-Azhar, dia selalu mengingatkan bahaya-bahaya yang mengancam moral masyarakat di zaman yang sudah maju ini. Kedatangan tamu-tamu dengan kasus semacam itu, setiap hari makin sering terjadi. Adanya legalisasi nite club, steambath, perjudian, dan sebagainya di awal tahun 1970-an, membuat rumah Ayah semakin mendapat kunjungan dan tempat pengaduan.”
“Seorang istri pembesar mengadukan pribadi suaminya yang suka judi dan main wanita di nite club. Wanita itu bercerita: Saya diberi belanja setiap bulan sekian juta rupiah, tapi bapak tidak lagi pulang. Dan anak-anak menjadi liar. Bagaimana ini? Hamka menjawab: yang pertama, Andalah yang harus bersabar dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalau di sana dia berbuat maksiat, di rumah bersama-samalah tumbuhkan suasana keagamaan. Sampaikan salam saya kepada suami Anda. Bila pulang, saya ingin bertemu, begitu pesan Ayah menghadapi kasus-kasus semacam itu,” terang anak Buya Hamka, Rusydi Hamka dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2017).