Raja Mataram Amangkurat III Menyerahkan Diri ke VOC dalam Sejarah Hari Ini, 6 September 1708

JAKARTA – Sejarah hari ini, 315 tahun yang lalu, 6 September 1708, Penguasa Mataram, Amangkurat III menyerahkan diri kepada maskapai dagang Belanda, VOC. Sikap frustrasi itu dilanggengkan karena pamannya, Pangeran Puger dan Kompeni terus memburu Amangkurat III.

Sebelumnya, Kompeni dikenal lihai melanggengkan siasat Devide et Impera atau politik adu domba. Siasat itu membuat Kompeni untung bejibun. Empunya kuasa tak perlu keluar banyak biaya dan keringat. Kompeni cukup memperkeruh permusuhan antar keluarga kerajaan di Nusantara.

Keinginan Kompeni menguasai Nusantara memang besar. Kepercayaan diri itu karena Kompeni memiliki armada perang sendiri bak sebuah negara. Kehadiran armada perang dianggapnya jadi 'senjata utama' menaklukkan wilayah-wilayah di Nusantara.

Nyatanya jauh panggang dari api. Jalan perang bukan solusi. Dana yang dikeluarkan besar dan hasil yang tak seberapa jadi musabab. Lebih lagi, korban dari kedua belah pihak banyak berjatuhan. Alih-alih untung, nyatanya Kompeni justru merugi.

Keinginan Kompeni mengganti siasat mengemuka. Kompeni putar otak. Mereka kemudian menjadikan politik adu domba sebagai jurus pamungkas. Semenjak itu Kompeni lebih sedikit bersabar untuk menguasai wilayah Nusantara. Segala macam informasi dikumpulkan lebih dulu.

Kompeni cenderung memperhatikan penguasa wilayah dan dengan siapa mereka berkonflik. Taktik pun dimainkan setelahnya. Kompeni mampu mendekati Pangeran Bone, Arung Pallaka untuk melawan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin pada 1666.

Amangkurat III, Raja Mataram yang diasingkan dan meninggal dunia di Sri Lanka. (Istimewa)

Keberhasilan itu tak lantas berhenti. Kompeni ikut memperkeruh suasana perebutan takhta ayah dan anak di Kesultanan Banten. VOC memilih memihak Sultan Haji untuk meruntuhkan dominasi ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa pada 1681.

Langkah politik pecah belah pun terus dilanggengkan Kompeni. Sebab, paling menguntungkan. Keringat Kompeni tak banyak keluar. Pun keuntungan yang didapat tak kalah besar. Mereka dapat jatah monopoli rempah-rempah di wilayah itu.

“Dengan senjata ampuhnya yang terkenal di dalam Sejarah Indonesia dengan nama Devide et Impera atau politik pecah-belah, akhirnya kaum penjajah Belanda dapat menguasai baik Kerajaan Banten maupun Kerajaan Mataram.”

“Kerajaan Mataram pun yang pada masa pemerintahaan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) mencapai puncak kejayaannya, karena senjata Devide et Impera Belanda, akhirnya terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Belanda. Hal ini harus dicamkan betul-betul dan dijadikan pelajaran dari sejarah oleh bangsa Indonesia yang menghendaki kejayaan Tanah Airnya,” ungkap Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988).

Bukti Kerajaan Mataram terpecah belah muncul dari konflik Amangkurat III dan pamannya, Pangeran Puger. Kala itu Pangeran Puger merasa dirinya lebih layak diangkat jadi Raja Mataram dibanding kemenakannya.

Pasang surut Kerajaan Mataram. (bantulkab.go.id)

Namun, takdir berkata lain. Pangeran Puger tak ingin hidupnya dihuni oleh penyesalan. Apalagi, Amangkurat III kerap mengganggu eksistensinya. Opsi meminta bantuan kepada Kompeni untuk mengalahkan Amangkurat III dan jadi Raja Mataram dilanggengkan. Perang Takhta Jawa Pertama (1704-1708) pun berlangsung.

Kompeni dengan senang hati membantu Pangeran Puger melawan Amangkurat III. Kekuatan gabungan itu membuat nyali Amangkurat III ciut. Amangkurat III pun memilih untuk melarikan diri dari satu tempat ke tempat lainnya. Sekalipun terus dikejar oleh Pangeran Puger dan VOC.

Akhirnya, setelah terdesak Amangkurat III menyerahkan diri kepada Kompeni pada 6 September 1708. Penyerahan diri itu membuat Pangeran Puger melenggang-langgeng jadi Raja Mataram baru dengan gelar Pakubuwono I.

“Pada tahun 1708, akhirnya Amangkurat III menyerahkan diri kepada VOC berdasarkán kesepakatan bahwa dia diperbolehkan memerintah sebagian Jawa dan tidak harus tunduk kepada Pakubuwono I. Akan tetapi, VOC lebih pandai berperang daripada menepati janji-janjinya. Amangkurat III ditawan dan dibuang ke Sri Lanka, tempat dia wafat pada tahun 1734. Kemudian berlangsunglah suatu usaha pencarian pusaka-pusaka yang hilang.”

“Rupanya Amangkurat IIII entah telah membagi-bagikan pusaka-pusaka tersebut kepada para pengikutnya, menyembunyikannya di Jawa Timur, menyelundupkannya ke tempat pengasingan bersamanya, atau meleburnya. Beberapa pusaka berhasil dibawa kembali ke Jawa pada tahun 1737, yaitu ketika putra-putra Amangkurat III diperbolehkan pulang dari Sri Lanka. Tetapi diragukan apakah seluruh perangkat pusaka tersebut benar-benar pernah berhasil dikumpulkan kembali,” terang Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).