Salah Besar Mencap Frugal Living dengan Stigma Pelit

JAKARTA - Di tengah mahalnya harga berbagai kebutuhan yang tidak dibarengi dengan peningkatan pemasukan, banyak orang yang merasa kesulitan memenuhi tujuan finansial. Buntutnya, mencari penghasilan tambahan diyakini dapat menyelesaikan masalah keuangan yang tak ada habisnya.

Tapi, apalah artinya jika menghasilkan lebih banyak uang tanpa tahu bagaimana menggunakannya dengan bijak? Berapa pun uang yang dihasilkan, jika tidak pandai mengelolanya, jangankan untuk menabung, untuk memenuhi kebutuhan saja bisa kerepotan.

Kemudian munculah istilah frugal living yang ramai dibahas belakangan ini. Salah satu fenomena frugal living paling populer adalah ketika seorang ibu muda dengan tiga anak mampu memiliki rumah dan kendaraan meski suaminya hanya memiliki penghasilan sekitar Rp3.500.000.

Poster kampanye frugal living yang diterbitkan Kementerian Keuangan. (djkn.kemenkeu.go.id)

“Pasutri frugal living dari gaji 3,5 juta bisa punya rumah, mobil,” demikian dikutip dari akun TikTok @selyya14.

Beragam komentar pun berdatangan. Banyak yang memuji keberhasilan si ibu muda yang mampu hidup sejahtera, meski dengan pemasukan yang bisa dibilang pas-pasan. Tapi, tak sedikit pula yang mencibir karena dia dianggap terlalu pelit.

Memang masih banyak yang menganggap gaya hidup frugal itu berarti pelit hingga mengabaikan kualitas. Padahal, frugal living memiliki makna lebih besar dari itu. Frugal living tak hanya bisa mempercepat tujuan finansial, tapi juga berkontribusi pada lingkungan.

Tidak Sama Dengan Pelit

Dilansir Wealth Simple, frugal living adalah sadar akan pengeluaran dan fokus pada prioritas finansial. Sementara India Times melansir frugal living adalah membatasi pemborosan. Nadia Harsya, seorang perencana keuangan, menjelaskan tujuan utama frugal living adalah untuk memenuhi kesejahteraan hidup di masa depan.

“Sekarang ini sudah banyak muncul kesadaran bahwa orang hidup tidak hanya hari ini, tapi di sisi lain penghasilan, rezeki tidak selalu sama. Untuk memenuhi kesejahteraan hidup di masa depan, maka munculah kesadaran untuk hidup frugal,” terang certified financial planner, Nadia Harsya, saat berbincang dengan VOI.

Tapi kemudian gaya hidup ini dipandang sebelah mata orang sebagian orang. Berhemat seringkali melekat dengan stigma pelit, minim penghargaan atas kerja keras sendiri. Padahal menurut Nadia, frugal person alias orang yang menerapkan gaya frugal living ini justru jauh dari kata pelit.

Gaya hidup frugal adalah gaya hidup yang lebih mengedepankan kualitas. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, frugal person membelanjakan uangnya dengan cermat.

Contoh paling mudah adalah ketika berbelanja sebuah barang. Mereka yang menerapkan frugal living lebih memilih barang yang lebih berkualitas meskipun dengan harga yang lebih mahal.

Certified financial planner, Nadia Harsya, mengungkapkan kaum frugal living dilatarbelakangi untuk memenuhi kesejahteraan hidup. (Dok. Pribadi)

“Beda jauh ya antara frugal dan pelit. Kalau pelit biasanya orang gak mau mengeluarkan uang, intinya uang yang dikeluarkan harus sedikit. Sementara frugal lebih mindfull, lebih memikirkan usia pakai. Golongan pelit tidak membutuhkan kualitas,” kata Nadia.

Menerapkan gaya hidup frugal living memang tidak mudah. Anggapan ini muncul lantaran kaum frugal lebih mengutamakan kualitas. Bicara soal kualitas, biasanya berbanding lurus dengan harga yang tidak murah.

Makanya, banyak narasi muncul bahwa gaya hidup ini hanya cocok diikuti oleh golongan kelas atas yang uangnya tak terbatas. Gaya hidup frugal living dinilai tidak cocok untuk kaum pas-pasan. Sebuah anggapan yang justru disanggah Nadia.

“Semua orang butuh kesadaran untuk mindfull ketika belanja. Justru golongan yang pas-pasan ini menjadi keharusan untuk merapkan frugal living, karena kebutuhan banyak tapi uang terbatas. Sebaliknya, kalau orang uangnya tidak terbatas, mereka punya pilihan untuk hidup frugal atau tidak,” lanjut ibu satu anak ini.

Yang utama dari menjalankan frugal living adalah mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Mengeluarkan uang dengan penuh kesadaran dapat mencegah pemborosan hanya demi memenuhi keinginan yang seolah tanpa batas.

“Biaya hidup yang dikeluarkan seharusnya tidak lebih besar dari penghasilan. Artinya, tidak lebih besar pasak daripada tiang, sehingga masih bisa menabung dan tidak punya utang konsumtif,” Nadia mengimbuhkan.

Kementerian Keuangan bahkan ikut mendorong Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk ikut mengadopsi frugal living. “Sepatutnya para ASN tidak perlu malu untuk memulai kebaikan. Sebagai pelayan masyarakat, setiap gerak-gerik dan gaya hidup ASN menjadi sorotan khalayak ramai,” demikian dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan.

Berdampak Terhadap Lingkungan

Dikatakan Nadia, beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan untuk menerapkan frugal living antara lain memiliki tujuan finansial yang jelas, menghindari utang konsumtif, merasa cukup dengan apa yang dimiliki, mampu menganalisis kebutuhan vs keinginan sebelum membelanjakan uang. 

Jhon White, seorang profesor filosofi pendidikan dalam tulisannya “The Frugal Life, dan Why We Should Educate for It” menjelaskan bahwa frugal living harus diadopsi generasi masa depan. Frugal living sendiri memberikan beberapa dampak positif dalam kehidupan. Mulai dari mempercepat meraih kebebasan finansial sampai mengurangi stres dan tekanan ekonomi.

Seiring waktu, kajian atau konsep frugal living semakin berkembang. Tidak hanya menghubungkan gaya hidup dengan tujuan keuangan pribadi jangka panjang, tapi juga berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan manusia di masa yang akan datang. Konsep hidup frugal living juga secara langsung dapat berhubungan dengan upaya menyelamatkan bumi dari pencemaran lingkungan.

Kaum frugal living dapat membedakan kebutuhan vs keinginan. (Unsplash/rupixen.com)

Ini karena semakin sedikit dan tahan lama barang yang kita miliki, maka hal tersebut juga dapat berdampak positif bagi lingkungan hidup, baik secara jangka pendek maupun panjang. Karena seperti yang telah disebutkan, kaum frugal living mengutamakan usia pakai.

Mengadopsi gaya frugal living memungkinkan seseorang untuk memiliki lebih sedikit barang. Dengan menahan impulsif negatif, kaum frugal akan mempertimbangkan beberapa kali untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Semakin sedikit barang yang dimiliki, maka akan meminimalisasi kemungkinan barang berakhir di tempat sampah.

Salah satu contoh nyata dampak positif yang dihasilkan dari mengadopsi gaya hidup frugal living adalah meminimalisasi sampah fesyen. Untuk diketahui, limbah tekstil di dunia semakin mengkhawatirkan. Menurut data pada 2020, sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil berakhir di laut.