Bagikan:

JAKARTA - Teknologi digital adalah bukti berkembangnya peradaban manusia. Kemajuan teknologi kini sudah menjalar di hampir semua sendi kehidupan, termasuk di sektor ekonomi.

Di era sekarang, penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) terus berkembang. Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga mulai banyak yang menggunakan sistem QRIS guna memudahkan transaksi konsumen.

Dikutip laman resmi Bank Indonesia, QRIS merupakan standar kode yang berlaku secara nasional untuk sistem pembayaran di Indonesia. Sederhananya, QRIS adalah standar QR yang digunakan oleh semua penyedia layanan sistem pembayaran di Indonesia.

QRIS membuat proses transaksi menjadi lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya. Dengan adanya fasilitas ini, pedagang (merchant) dan konsumen bisa melakukan transaksi nontunai dengan memindai kode QR melalui ponsel pintar.

Namun keputusan BI menetapkan tarif Mechant Discount Rate (MDR) QRIS bagi pelaku UMKM sebesar 0,3 persen cukup membuat gaduh. Kebijakan ini dikhawatirkan bakal menghambat perluasan transaksi nontunai di Tanah Air.

Biaya QRIS Ancam Adaptasi Cashless di Indonesia 

BI mengungkapkan alasan biaya QRIS atau MDR tidak lagi gratis. Khusus untuk usaha mikro dikenakan tarif sebesar 0,3 persen, sementara transaksi lainnya sebesar 0,7 persen. Sebagai informasi, MDR adalah biaya yang dikenakan kepada pedagang atau merchant oleh Penyedia Jasa Pembayaran.

Kenaikan MDR ini berlaku mulai Juli dan hanya akan dikenakan untuk transaksi di atas Rp100.000. Artinya, untuk transaksi di bawah nominal tersebut dikenalan MDR nol persen atau gratis. Keputusan ini disampaikan langsung oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 25 Juli lalu.

“Untuk transaksi sampai dengan Rp100.000 dikenakan MDR 0 persen. Sementara untuk transaksi di atas Rp100.000 dikenakan MDR 0,3 persen,” Perry menuturkan.

Sebelumnya, biaya MDR QRIS gratis sampai 30 Juni 2023. Namun mulai 1 Juli lalu BI memberlakukan tarif MDR 0,3 persen untuk pelaku usaha mikro. Tarif MDR ini digunakan untuk membangun infrastruktur, aplikasi, sumber daya manusia, penalangan dana, pemasaran, akuisisi merchant dan pengguna, hingga edukasi.

Menurut data Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) QRIS sudah dimanfaatkan oleh sekitar 28,7 juta pengguna. Artinya, jumlah ini meningkat 4,6 persen dibandingkan pada November 2022 (month-on-month/mom), serta tumbuh 92,5 persen dibanding awal tahun lalu (year-to-year/yty).

Pertumbuhan ini juga dibarengi dengan semakin banyaknya merchant QRIS. Berdasarkan catatan ASPI pada Desember 2022 sekitar 23,97 juta pedagang melayani transaksi melalui QRIS. Angka ini meningkat 5 persen secara bulanan, dan tumbuh 58,2 persen dibandingkan awal tahun. Dari jumlah tersebut, BI menyebut volume transaksi mencapai 121,8 juta dengan nominal hingga Rp12,28 triliun.

Muhammad Andri Perdana, Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai kenaikan tarif QRIS yang dibebankan kepada pelaku UMKM justru berpotensi memberikan dampak negatif. Andri menilai pelaku UMKM memiliki dua opsi untuk mengakali adanya tarif MDR ini.

Ilustrasi transaksi menggunakan QRIS di masyarakat. (Dok. Bank DKI)

Pertama adalah dengan membebankan tarif tersebut kepada pelanggan meski secara regulasi tidak diperbolehkan. Cara kedua dengan tidak menyediakan barcode QRIS untuk di-scan konsumen dan kemudian meminta konsumen menggunakan uang tunai untuk transaksi.

Jika pedagang mulai enggan menggunakan QRIS karena alasan banyaknya potongan biaya, maka konsumen atau pembeli pun akan mengikuti. Karena percuma pelanggan memiliki QRIS tapi tidak bisa digunakan karena penjual tidak menyediakannya.

“Tarif MDR sebesar 0,3 persen sebenarnya tidak signifikan. Tapi yang terjadi pelaku usaha memilki opsi. Ketika dia tidak mau menggunakan QRIS karena ada biayanya, maka pelanggan harus menggunakan uang tunai atau debit misalnya. Bisa juga tarif tersebut dibebankan kepada konsumen meskipun sebenarnya tidak boleh,” jelas Andri ketika dihubungi VOI, Senin (21/8/2023).

Kebijakan baru ini dikhawatirkan akan memperlambat adaptasi cashless di Tanah Air. Padahal, BI membidik 45 juta pengguna QRIS pada 2023.

“Baik pelaku UMKM maupun konsumen sebenarnya sudah cukup nyaman transaksi menggunakan QRIS. Masyarakat sudah terbiasa dengan transaksi via QRIS sehingga bank berani membuat keputusan memberikan tarif. Dengan adanya kebijakan ini, ada kemungkinan laju transaksi via QRIS melambat dibandingkan sebelum-sebelumnya,” Andri menambahkan.

“Otoritas sebaiknya melakukan evaluasi seiring diberlakukannya kebijakan baru ini. Apakah nantinya UMKM malas menggunakan QRIS, kalau ternyata berdampak negatif seharusnya dikembalikan seperti sebelumnya karena ini demi kelancaran transaksi nontunai,” Andri menyudahi.

Waspadai Kejahatan QRIS Gadungan 

Implementasi nasional QRIS secara efektif berlaku mulai 1 Januari 2020. Peluncuran QRIS merupakan salah satu implementasi Visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 yang telah dicanangkan pada Mei 2019 lalu, demikian dinukil dari laman BI.

QRIS memiliki sejumlah keunggulan yaitu pertama universal. Artinya, penggunaan QRIS bersifat inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat dan dapat digunakan untuk transaksi pembayaran di dalam dan luar negeri.

Bertransaksi menggunakan QRIS juga dapat dilakukan dengan mudah dan aman hanya dalam satu genggaman ponsel. Keunggulan lainnya transaksi dengan QRIS adalah prosesnya yang cepat dan seketika sehingga mendukung kelancaran sistem pembayaran.

Namun sayangnya, di balik kemudahan yang ditawarkan oleh sistem QRIS ini, ada juga risiko yang mengintai. QRIS kini kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.

Proses pembuatan QRIS yang mudah justru menjadi celah bagi orang melakukan kejahatan digital. Penipuan dengan menggunakan QRIS sempat menjadi perbincangan beberapa waktu lalu. Dan yang lebih disayangkan, praktik penipuan QRIS ini justru terjadi di sejumlah mesjid di Jakarta.

Kejahatan siber mengintai seiring mudahnya penggunaan QRIS. (Antara)

Kepolisian telah menetapkan Mohammad Iman Mahlil Lubis (39) sebagai tersangka penyebar kode QRIS gadungan di sejumlah mesjid di Jakarta. Tersangka menempel kode QRIS palsu ini dengan menimpa kode yang asli. Dana umat yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat justru menjadi miliknya pribadi. Dari aksi ini, tersangka mendapatkan uang hingga Rp13 juta.

Kejahatan siber dengan memanfaatkan pembayaran digital juga pernah terjadi di China. Pada 2014 lalu, otoritas China menghentikan pembayaran dompet digital sementara dalam waktu yang cukup lama. Saat itu AliPay dan WeChat Pay menjadi alat pembayaran utama bahkan hingga di pasar dan warung-warung.

“Gara-gara QR Code palsu ini, pemerintah China menghentikan pemakaian WeChat Pay dan Ali Pay sementara waktu saat itu. Hal seperti ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan pengampu kebijakan sehingga tidak bermuara pada fraud,” kata pakar keamanan siber sekaligus Kepala Lembaga Riset Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha.

Memanfaatkan kode QRIS untuk melancarkan aksi penipuan menunjukkan bahwa kejahatan semakin berkembang seiring majunya teknologi. Tempat ibadah yang seharusnya menjadi tempat menyejukkan juga tak luput dari sasaran kejahatan.