Mafia Tanah di Lombok Didakwa Cuci Uang Investor Wisata Rp15,36 Miliar, Duitnya Beli Tanah hingga Kegiatan Partai
MATARAM - Mafia tanah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, bernama Zaenudin didakwa melakukan pencucian uang dari hasil penipuan seorang investor kawasan wisata senilai Rp15,36 miliar.
Jaksa Penuntut Umum Feddy Hantyo Nugroho dalam dakwaannya menjelaskan Zaenudin awalnya menawarkan penjualan tanah pada 2011 kepada Andre Setiady Karyadi.
"Tanah diakui seolah-olah milik terdakwa. Terdakwa meyakinkan dengan penguasaan tanah ada padanya," kata Feddy di Mataram dikutip Antara, Selasa, 1 Februari.
Dalam perjanjian pada 12 Februari 2014 antara Zaenudin dengan Andre, jelasnya, disepakati harga pembelian sejumlah bidang lahan di wilayah Lombok dengan nilai Rp45,39 miliar.
Kemudian Andre terbujuk rayu sehingga bersedia menyerahkan pembayaran awal senilai Rp18,39 miliar.
Dari angka tersebut, kata Feddy, Andre baru menyetorkan Rp16,7 miliar ke Zaenudin. Sisanya Rp1,69 miliar akan dilunasi setelah semua sertifikat tanah dibalik nama.
"Hanya tiga sertifikat hak milik (SHM) sukses balik nama," ujarnya.
Muncul permasalahan untuk tanah seluas 4 hektare di wilayah Pandanan, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Dari penelusuran, tanah itu milik PT GWS dengan SHM Nomor 40 seluas 5,5 hektare.
"Jadi plang tanda kepemilikan tanah itu dicabut terdakwa untuk meyakinkan Andre," ucapnya.
Andre yang terus mempertanyakan sertifikat lahan tersebut, lanjut Feddy, tak kunjung mendapat jawaban pasti dari Zaenudin. Hingga akhirnya Andre mengetahui bahwa tanah itu milik orang lain.
Karenanya, Andre meminta agar Zaenudin membatalkan perjanjian jual beli tanah dan meminta uang yang sebelumnya telah diserahkan untuk dikembalikan.
"Terdakwa kemudian tidak mampu mengembalikan uang tersebut karena sudah habis untuk dibelikan tanah pada objek lainnya," kata Feddy.
Zaenudin, lanjutnya, sempat menawarkan penggantian dengan tanah seluas 4 hektare. Namun demikian, tanah itu kembali diketahui bukan milik pribadinya.
Feddy mengatakan berdasarkan bukti rekening koran periode 2011-2024, terdakwa telah melakukan penarikan tunai melalui bank sebanyak 166 kali dengan jumlah Rp15,36 miliar.
Uang ini yang kemudian dipakai Zaenudin membeli harta tidak bergerak dan bergerak yang kini sudah disita pihak kejaksaan. Untuk pembayaran tanah sebanyak 104 lembar surat, Zaenudin dibantu istri terdakwa, Roheni.
"Ditandatangani saksi Roheni 40 lembar dan terdakwa 64 lembar. Surat tanah 67 sporadik dengan rincian 29 sporadik atas nama Roheni dan 37 sporadik atas nama terdakwa," kata Feddy
Baca juga:
Selain itu, uang hasil penipuan juga dipakai untuk membeli mobil Toyota Rush DR 1399 BC atas nama Hj Roheni; pembelian tanah di Selagalas, Cakranegara atas nama Hj Roheni; pembelian emas dan alat elektronik; serta untuk kegiatan partai.
Feddy menjelaskan, perbuatan terdakwa menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana memiliki tujuan untuk memutus mata rantai aliran dana.
"Agar menyulitkan penelusuran dana khususnya terkait informasi sumber dana dari tujuan penggunaan dana sehingga asal usul harta kekayaan sulit untuk diketahui," ucapnya.
Karenanya dalam dakwaan, Zaenudin didakwa terhadap Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sidang perdana Zaenudin digelar dengan agenda pembacaan dakwaan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sri Sulastri didampingi anggota Catur Bayu Sulistiyo, dan Dwianto Jati Sumirat.
Sidang selanjutnya akan digelar pekan depan dengan agenda pembacaan eksepsi (nota keberatan) dari terdakwa.