2 Terdakwa Penipu Investor di Lombok Divonis 5 Tahun Penjara
Dua terdakwa CH dan AB kasus tipu investor jual beli tanah saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah, NTB (ANTARA/Akhyar)

Bagikan:

PRAYA - Hakim Pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat memvonis hukuman lima tahun penjara kepada dua terdakwa berinisial CH dan AB dalam kasus tipu investor jual beli tanah di Desa Kateng.

"Terdakwa inisial CH dan inisial AB divonis 5 Tahun penjara dengan denda Rp 3 miliar Sub 6 Bulan," kata Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Praya dikutip ANTARA, Senin, 12 Desember.

Dia mengatakan, vonis hakim terhadap terdakwa CH lebih rendah dari tuntutan JPU yakni 7 tahun penjara dan vonis terdakwa AB sama dengan tuntutan JPU yakni 5 tahun penjara.

Kedua terdakwa dituntut dengan pasal berlapis yakni pertama kesatu pasal 378 jo 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dan kedua kesatu Pasal 3 UU tindak pidana pencucian uang (TPPU) jo 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

"Atas vonis hakim tersebut terdakwa mengajukan banding dan JPU juga banding," katanya.

Sebelumnya, dalam dakwaan JPU, keduanya didakwa dengan dakwaan kumulatif kombinasi. Selain menerapkan pasal 378 KUHP tentang Penipuan juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

JPU juga menyertakan kedua terdakwa pada Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan ancaman pidana 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

Terdakwa CW yang bekerja sebagai notaris dan terdakwa AB selaku pemilik tanah pada Juli 2019 hingga April 2020 telah dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Bermula sekitar awal tahun 2016, saksi Handy mempunyai rencana mencari lahan tanah untuk membangun kandang ayam berskala besar di wilayah Pulau Lombok.

Pada 16 Oktober 2019 terdakwa CW di kantornya di Praya menyampaikan kepada Handy kalau tanah seluas kurang lebih 17 hektare milik terdakwa AB mau dijual seharga Rp 10 juta per are atau total harga Rp 17 miliar.

Handy menyatakan bersedia dan sanggup membayar tanah yang berada di kawasan main area sesuai yang ditawarkan oleh terdakwa CW dengan syarat tanah seluas 17 hektare itu harus dalam keadaan satu hamparan utuh sesuai peta bidang.

Saat itu, terdakwa AB menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah-tanah tersebut, serta telah dapat dilakukan peralihan hak atau sertifikat atas nama Handy selaku pembeli.

Saat itu, terdakwa CW meminta kepada Handy untuk menyerahkan uang sebesar 70 persen dari harga pembelian tanah senilai Rp11.889.920.000 sebagai jaminan.

CW pun menyampaikan jika keseluruhan tanah-tanah main area tidak dapat tuntas seluruhnya diproses menjadi atas nama Handy, maka uang jaminan atau titipan senilai Rp11.889.920.000 akan dikembalikannya kepada Handy tanpa dipotong atau dikurangi sepeser pun.

Setelah itu, pada 25 November 2019, Handy menyerahkan uang jaminan kepada terdakwa CW. Namun hingga saat ini sertifikat atas tanah area utama belum dapat diterbitkan atas nama Handy, termasuk pula tanah akses masuk ke lokasi belum terselesaikan.

Handy sudah berusaha berulang kali menghubungi CW untuk menanyakan perihal penerbitan sertifikat SHM atas tanah-tanah main area sesuai kesepakatan.

Namun terdakwa CW selalu memberikan berbagai macam alasan hingga suatu ketika saksi Handy bertemu dengan Kades Kateng pada bulan Januari 2020 dan mengatakan, sebenarnya tanah yang berada dalam kawasan main area yang dibeli oleh Handy tidak seluruhnya milik terdakwa AB.

Atas penyampaian Kades Kateng tersebut, Handy meminta kepada terdakwa CW untuk mengembalikan uang jaminan senilai yang telah diserahkannya. Namun hingga saat ini, tidak pernah ada pengembalian uang jaminan. Akibat perbuatan kedua terdakwa Handy mengalami kerugian Rp11.889.920.000.