Uang Mulia Dirham: Alat Tukar Kerajaan Islam, Investasi Kekinian
JAKARTA - Koin dirham bukan barang baru di Indonesia. Deureuham atau dirham telah hadir di Nusantara sejak abad ke-13. Kedatangan para pedagang dari jazirah Arab jadi muasalnya. Bahkan, Kesultanan Samudera Pasai (Aceh) telah mengakui dirham sebagai alat tukar resmi, baik untuk domestik maupun internasional. Dalam bingkai itu dirham kemudian jadi lambang persatuan Islam. Utamanya sebagai simbol betapa kuatnya Islam di Nusantara.
Dalam sejarahnya, dirham berasal dari bahasa Yunani, "drachma" yang berarti perak cetakan. Akan tetapi, istilah itu berkembang di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat artian dirham sebagai mata uang emas atau perak.
Bukti itu didukung oleh banyak koin dirham yang ditemukan di Indonesia pada masa lampau adalah berbahan dasar emas. Dan Kesultanan Samudera Pasai jadi aktor utama yang melanggengkan penggunaan dirham dalam aktivitas perekonomian.
Sebagai Bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satu di antaranya yang terbuat dari emas adalah uang dirham. Uang dirham ini menunjukkan sejarah raja-raja Samudera Pasai. Sebab, di mata uang itu tertera dengan jelas nama-nama raja yang pernah memerintah Kerajaan Islam paling kesohor di Nusantara.
Dikutip Salman Alrosyid dalam buku Perkembangan Uang Dalam Sejarah Indonesia (2018), uang dirham dicetak pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Muhammad yang bergelar Malik At-Tahir (1297-1326), tepatnya 1297. Pembuatan dirham secara sengaja mengikuti bangsa Timur Tengah yang menggunakan mata uang sama.
Uang dirham pun memiliki berat yang berbeda-beda, sesuai nominalnya. Biasanya ada dirham dengan berat emas sebesar 0,30 gram hingga 0,60 gram. Uang tersebut juga bertuliskan nama sultan yang berkuasa. Lalu, tertulis tahun hijriyah dengan menggunakan angka arab atau huruf jawi yang memiliki ukuran 6-11 milimeter. Oleh sebab itu, kehadiran uang dirham menunjukkan pengaruh kuat pedangang Arab dan pengaruh perkembangan Islam di kerajaan tersebut.
“Mata uang yang juga merupakan benda cagar budaya adalah mata uang emas (dirham) yang ditemukan dari Samudera Pasai, Aceh. Hasil penelitian H.K.J Cowan mengenai mata uang emas tersebut dapat menambah keterangan sejarah Kerajaan Samudera Pasai yang pernah dikemukakan oleh Moquette dan ahli lainnya. Mata uang yang ditemukan itu memuat nama Sultan Alauddin, Sultan Mansur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Sultan Abdullah,” ungkap Uka Tjandrasasmita dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009).
Uka Tjandrasasmita menambahkan, pada awal tahun 1973, di penggalian situs bersejarah Aceh juga ditemukan sebelas mata uang dirham. Di antara dirham yang ditemukan, terdapat uang yang memuat nama Muhammad Malik Az-Zahir, Sultah Ahmad, Sultan Abdullah. Seluruhnya adalah sultan-sultan Samudera Pasai pada abad ke-14 dan 15.
Semua bukti itu memuat narasi bahwa Samudera Pasai begitu masyhur perihal perniagaan dan pelayarannya. Hal itu juga dikuatkan dengan posisi strategis Samudera Pasai yang menjadi lalu lintas perdangan sejak dulu kala.
Pada masa itu, Samudera Pasai diperkirakan mengekspor lada sebagai komoditas utama, selain komoditas lain, seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Selain Samudera Pasai, kerajaan lain di Nusantara turut mengadopsi uang dirham sebagai alat tukar adalah Kesultanan Palembang, Jenggala, Cirebon, dan lain sebagainya.
Digdayanya dirham
Sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo berjudul Kembalinya Girincing Dinar (2002), dalam perjalanannya, dirham menjadi mata uang universal yang tak bisa diklaim sebagai mata uang negara tertentu. Dirham tidak membutuhkan pengabsahan dari otoritas mana pun. Kondisi ini berbeda dengan uang hampa (flat money), uang kertas yang mengandalkan nilainya pada kepercayaan otoritas negara.
Sementara, dirham adalah uang nyata yang dijamin oleh dirinya sendiri sebagai logam mulia. Dirham adalah alat tukar sekaligus barang niaga. Maka, sepanjang orang sepakat saling menukar komoditi –dalam hal ini dirham— dengan benda lain yang setara nilainya, transaksi akan terjadi.
“Satu-satunya hal yang dapat menghambatnya adalah kriminalisasi, yakni bila suatu negara melarang pencetakan dan pemakaiannya, sebuah tindakan yang hampir mustahil dapat dilakukan. Di luar argumentasi syariah Islam, yang menetapkan dinar dan dirham sebagai: mata uang yang diridai Allah, argumentasi ekonomi politik pentingnya menerapkan sistem uang emas dan perak demi keadilan dan stabilitas ekonomi dunia sesungguhnya cukup meyakinkan. Sistem dua mata uang logam ini pernah berlangsung dengan sangat stabil selama ratusan tahun,” tulis laporan tersebut.
Alhasil, uang dirham begitu digdaya bila terus dipakai. Dibandingkan dengan uang hampa yang dikaitkan dengan dolar Amerika Serikat yang berlangsung sekarang ini. Yang mana, uang hampa terus dipertahankan karena menguntungkan negara-negara kreditor, alias pembunga uang. Mereka mereguk keuntungan dari negara-negara miskin yang terlilit utang.
Baca juga:
Alat investasi
Di Indonesia, perederan dirham kembali marak pada awal 2000-an. Awalnya dinar maupun dirham hanya disimpan sebagai bagian dari investasi. Kendati demikian, seiring berkembangnya studi dan praktik ekonomi syariah, muncul wacana yang mengarahkan koin-koin itu kembali jadi alat tukar. Lantaran secara syariah alat tukar yang sah disebutkan hanya emas dan perak.
Fery Firmansyah, dalam tulisan di Majalah Tempo berjudul Model Transaksi Para Nabi (2011), membenarkan maraknya jual-beli pakai dirham. Namun, justru penggunaan dirham lebih banyak untuk investasi, sekalipun beberapa acara sejak 2009 telah menggunakan dirham sebagai alat tukar.
Untuk itu, permintaan koin-koin dirham dan dinar --mata uang emas lama-- meningkat. Perkiraan peredaran dinar kala itu --tahun 2011-- sudah mencapai 70 ribu keping. Sedangkan dirham mencapai 10 ribu keping.
“Pertumbuhannya relatif stabil. Dalam setahun, permintaannya rata-rata 10 ribu keping. Namun, koin yang dipakai jual-beli hanya separuhnya, karena sebagian masyarakat masih menggunakan sebagai alat investasi,” ujar Direktur Wakala Induk Nusantara dikutip Fery Firmansyah.