Menko Polhukam Bedah Kasus Mafia Tanah Sengketa Lahan PTPN II Deli Serdang Sumut
JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud MD bersama perwakilan Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara membedah kasus dugaan mafia tanah dalam sengketa lahan milik PT Perkebunan Nusantara II di Deli Serdang, Sumut.
"Kami bedah kasus atas putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Sumut, mengenai tanah negara di Tanjung Morawa, Deli Serdang, seluas 464 hektare. Itu aslinya milik PTPN II, tiba-tiba di PN (Lubuk Pakam) dikalahkan," ujar Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta dilansir ANTARA, Selasa, 18 Juli.
Mahfud menerangkan bedah kasus yang telah dilakukan di Kantor Kemenko Polhukam selama sekitar dua jam itu dilakukan sebagai komitmen pemerintah untuk mempertahankan aset negara, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.
Dia menyampaikan kasus tersebut bermula dari gugatan perdata dari masyarakat yang berjumlah 234 orang terkait status dengan kepemilikan lahan PTPN II di Deli Serdang itu.
Dalam perkara itu, Mahkamah Agung memutuskan lahan seluas 464 hektare itu merupakan milik 234 orang atau penggugat melalui Putusan Perdata Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 508 PK/Pdt/2015 juncto Putusan PN Lubuk Pakam 05/Pdt.G/2011.
Putusan tersebut didasarkan pada alas hak berupa surat keterangan tentang pembagian dan penerimaan tanah sawah/ladang tertanggal 20 Desember 1953.
Setelah kalah dalam gugatan perdata itu, PTPN II mengajukan gugatan pidana ke PN Lubuk Pakam karena menemukan bukti adanya pemalsuan surat keterangan tentang pembagian dan penerimaan tanah sawah/ladang itu.
另请阅读:
Pada 27 Juni 2023, PN Lubuk Pakam menerbitkan Putusan Nomor 471/Pid.B/2023/PN.Lbp yang menyatakan terdakwa atas nama Murachman tidak terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat keterangan tentang pembagian dan penerimaan tanah sawah/ladang itu.
Atas putusan PN Lubuk Pakam tersebut, jaksa penuntut umum telah mengajukan kasasi pada tanggal 6 Juli 2023.
Mahfud menyampaikan dalam bedah kasus yang dilakukannya bersama perwakilan Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, mereka menemukan sejumlah kejanggalan, di antaranya terdapat kesalahan penulisan lokasi perkebunan, yakni di Kecamatan Tanjung Merawa yang seharusnya ditulis Tandiong Morawa.
"Kedua, dalam persidangan, para saksi dan terdakwa sekali pun mengakui bahwa dia tidak pernah punya tanah itu, tidak pernah melihat aslinya. Katanya, hanya dibisikkan oleh temannya dan para penggugat pun merasa tidak tahu tanah itu di mana, yang 234 orang itu tidak tahu tanahnya di mana," ucap Mahfud.
Kejanggalan-kejanggalan itu, lanjut Mahfud, juga akan disampaikan dalam memori kasasi.
"Ini bagian dari mafia tanah, jelas sekali mafia tanah sehingga kita harus memberi contoh cara menghadapi mafia tanah itu," tegas dia.