KPK: Bencana di Indonesia Kerap jadi Bancakan Korupsi
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut bencana yang terjadi di tanah air seringkali menjadi bancakan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
"Ini bukan hanya pada tahun 2020. Di banyak, beberapa bencana ke bencana ternyata itu justru membawa korupsi," kata Ghufron dalam kegiatan Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2020 yang ditayangkan di akun Facebook Transparency Indonesia International, Kamis, 28 Januari.
Menurutnya, jika bencana harusnya dapat meningkatkan solidaritas dan kebersamaan. Namun, di Indonesia hal ini justru dijadikan sebuah peluang untuk mengeruk keuntungan bagi pribadi maupun golongan oknum tertentu.
"Tetapi faktanya seakan bencana kemudian menjadi bancakan," tegasnya.
Lebih lanjut, Ghufron juga menyinggung pandemi COVID-19 yang ditetapkan pemerintah sebagai bencana non-alam. Dia menduga, kondisi Indonesia yang kini tengah berjibaku dengan penyebaran COVID-19 menjadi salah satu alasan indeks persepsi korupsi atau corruption perception index menjadi menurun.
Sebab, dia menilai ada oknum yang berupaya memanfaatkan kelonggaran aturan dari pemerintah terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk penanganan COVID-19.
"Mestinya ada ketentuan-ketentuan yang ketat untuk pengadaan barang dan jasa. Tapi demi kemanusiaan, demi kesehatan maka kemudian pengetatan itu dilonggarkan karena kita perlu kecepatan untuk menyelamatkan bangsa,"
"Tapi faktanya memang kelonggaran itu selalu dijadikan kesempatan untuk kemudian melakukan korupsi," imbuh Ghufron.
Baca juga:
Berkaca dari fakta tersebut, dia mengingatkan dan mengajak semua elemen bangsa untuk bersama-sama memberantas korupsi. Apalagi, pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab KPK melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak.
"KPK berharap kepada semua, segenap pihak bukan hanya LSM tapi juga pada semua stake holde baik pemerintah pusat, pemerintah daerah di bidang politik maupun ekonomi untuk sama-sama mari kita mencoba. Mencegah lebih baik supaya kemudian tidak ada korupsi," ujarnya.
Dia mengatakan, korupsi bukanlah beban yang dimiliki KPK atau lembaga penegak hukum lainnya tetapi beban kolektif. Artinya ditanggung seluruh masyarakat Indonesia.
Ghufron mengatakan, perilaku korupsi telah merampas dua hak publik yakni pertama, hak akses terhadap keuangan publik. Hal ini berkaitan dengan efektif dan efisien penggunakan uang rakyat yang telah dikumpulkan pemerintah.
"Itu yang kemudian sesungguhnya merupajan kepentingan hukum dari pasal 2 dan 3," katanya.
Dia melanjutkan, sementara aspek pasal 5 terkait suap, pemerasan, gratifikasi menilai bahwa korupsi mencederai hak terhadap kepentingan hak sosial politik. Bagaimana orang untuk mendapatkan layanan publik itu bisa adil atau tidak.
"Apakah kemudian mendapatkan akses untuk ke pemerintahan itu adil atau tidak, apakah ada previlige karena suap atau tidak," katanya.
Dia menegaskan, korupsi meurpakan perilaku yang membebani dan menghancurkan bukan hanya KPK tapi semua elemen bangsa. Dia mengatakan, KPK berharap agar semua masyarakat bekerja dalam sektor masing-masing untuk memberantas korupsi baik dari segi ekonomi, penegakan hukum maupun sistem politik dan demokrasi.
"KPK juga berharap kepada semua segenap pihak bukan hanya LSM tapi juga kepada segenap stakeholder pemerintah pusat hingga daerah di bidang ekonomi maupun politik untuk bersama-sama mencoba mencegah untuk kemudian supaya tidak ada korupsi," katanya.
Diketahui, Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI). Berdasarkan penelitian mereka, Indonesia mengalami penurunan skor hingga 3 poin dibanding 2019 lalu dan kalah dari Malaysia serta Timor Leste.
Pada 2020 ini, Indonesia mengantongi skor indeks persepsi 37 poin. Sementara pada 2019 lalu, skor indeks persepsi berjumlah 40 poin.
Dalam penelitian ini, terdapat sejumlah sumber data yang jadi penyebab menurunnya angka indeks persepsi korupsi di Indonesia pada 2020 dibandingkan 2019 lalu.
Pertama, International Country Risk Guide turun 8 poin dari 58 ke 50. Kemudian, IMD World Competitiveness Yearbook Indonesia juga mengalami penurunan 5 poin dari 48 ke 43. Selanjutnya, Global Insight Country Risk Ratings turun dari 47 ke 35; Varieties of Democracy Projects turun dari 26 ke 28; dan PERC Asia Risk Guide turun dari 32 ke 35.
Ada juga stagnansi dalam World Economic Forum EOS yang berada di angka 46; Bartelsmann Foundation Transform Index di angka 37; dan Economist Intelligence Unit Country Ratings yang juga di angka 37. Sementara World Justice Project naik 2 poin dari 21 ke 23.