Review Film Why do You Love Me, Perjalanan yang Indah untuk Mempertanyakan Kemanusiaan Kita

JAKARTA - Film Film Why do You Love Me produksi Max Pictures diadaptasi dari film Belgia bertajuk Hasta La Vista (Come as You Are) yang rilis 2011. Dari awal, film ini menawarkan kisah yang tak biasa, petualangan 3 orang difabel dengan kebutuhan khusus yang berbeda-beda. 

Baskara (Adipati Dolken) menderita kelumpuhan saraf hingga hampir seluruh badannya tak dapat bergerak, Danton (Jefri Nichol) menderita lumpuh di bagian bawah tubuhnya karena tumor otak, dan Miko (Onadio Leonardo) yang seorang tuna netra.

Mereka memiliki keluarga yang mapan dan mendukung satu sama lain. Meski bertema disabilitas, namun film ini jauh dari kesan kasihan dan sedih. Adegan pembukanya langsung mengajak penonton untuk melihat dari sudut pandang 'normal' ala disabilitas. 

Baskara sedang bermimpi digoda seorang perempuan seksi sehingga penisnya berdiri. Ibu yang membangunkannya merasa kikuk dan buru-buru meninggalkannya pergi. Meskipun paling susah bergerak, Baskara ini paling cerdas dan menjadi motivator untuk Danton dan Miko. Wajar, kecerdasannya digambarkan seperti sosok ilmuwan Stephen Hawking yang menderita kelumpuhan serupa.

Baskara mengajak kedua sahabatnya itu untuk pergi ke Gang Dolly di Surabaya, demi merasakan pengalaman seksual pertama. Awalnya keluarga menentang, namun karena persiapan matang, merekapun percaya. 

Malang, rencana batal karena serangan kanker otak Danton makin ganas. Waktunya terbatas, dan keluarga ingin menghabiskan waktu bersama. 

Keseruan pun dimulai saat mereka tetap jalan tanpa sepengetahun keluarga. Ketiga sahabat itu ditemani tokoh penting bernama Endang (TJ Ruth), yang menjadi sopir sekaligus perawat mereka. Dengan mobil VW Combi yang antik, Endang membawa ketiganya melalui perjalanan seru dari Jakarta menuju Surabaya.

Benar, ini adalah road movie keliling Jawa. Dari Jakarta menuju Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Cantiknya pemandangan sepanjang jalan adalah bonus yang membuat film ini tidak memiliki titik bosan. 

Chemistry ketiga sahabat adalah bonus berikutnya. Kita dipaksa untuk memahami kekurangan sebagai bentuk kenormalan bagi disabilitas. Banyak adegan-adegan cerdas yang dihadirkan untuk mempertanyakan kemanusian kita. 

Yang paling kuat hadir salam film ini adalah ikatan keluarga yang saling jaga, saling mendukung. Support system antar keluarga dengan anak berkebutuhan khusus nampak sangat kuat di film ini sehingga mudah sekali menghadirkan rasa haru hingga air mata. 

Lagu-lagu yang dihadirkan juga membuat suasana riang dan sedih silih berganti gampang dicerna. Sayangnya, musik terlalu mendominasi sehingga kadang mengganggu obrolan masing-masing karakter. Niat baik editor untuk memandu emosi penonton, justru membuat tidak nyaman.

Namun, akhir film ini memberi kejutan tak terduga yang membuat kita kembali pada kehangatan keluarga.