Menyoroti Keraguan pada Efektivitas Kereta Cepat Jakarta Bandung
JAKARTA – Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) rencananya akan mulai beroperasi pada medio Agustus 2023. Sekaligus sebagai kado Kemerdekaan Indonesia ke-78. Tahap awal, kata Manager Corporate Communication PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Emir Monti, dilakukan soft launching sekiranya selama satu bulan.
Masyarakat dapat mencoba layanan moda transportasi dengan kecepatan hingga 350 km/jam tersebut sebagai pengenalan dan promosi. Namun, hanya stasiun tertentu saja yang bisa melayani naik-turun penumpang.
Misal dari Halim, Jakarta Timur hingga Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
“Masyarakat juga bisa mencoba integrasi KCJB dengan LRT Jabodebek yang menghubungkan Stasiun KCJB Halim ke semua Stasiun pelayanan LRT Jabodebek serta KA Feeder yang mengintegrasikan Stasiun KCJB Padalarang dengan Stasiun KAI Bandung dan Cimahi," ujar Emir dalam keterangannya kepada VOI pada 8 Juni 2023.
Saat ini, KCIC sebagai pemilik proyek KJCB sedang fokus pada tahap testing dan commissioning menggunakan kereta inspeksi.
“Setelah sebelumnya seluruh aliran listrik pada jalur dimatikan guna penyempurnaan prasarana, pada pertengahan Juni 2023 diharapkan kereta inspeksi sudah mulai diujicobakan dengan kecepatan tertentu. Terus ditambah dari 180 km/jam saat ini, 300 km/jam, hingga mencapai puncak kecepatan teknis mencapai 385 km/jam,” lanjutnya.
Dengan kecepatan tersebut, estimasi waktu tempuh dari Jakarta ke Bandung hanya sekitar 36-25 menit.
Adapun mengenai tarif, apakah berkisar antara Rp150.000 hingga Rp350.000, Emir belum bisa memastikan karena masih dalam pembahasan.
Kementerian Perhubungan sebelumnya merekomendasikan harga tiket KCJB adalah Rp250.000. Namun, sejumlah analis transportasi pesimistis. Bila angka itu yang dipakai, KCJB kemungkinan sepi peminat. Terlebih sudah banyak pilihan transportasi untuk rute Jakarta-Bandung.
Kereta Api Argo Parahyangan saja hanya mematok harga antara Rp95.000 hingga Rp135.000. Bus-bus travel juga mematok harga yang tidak jauh berbeda.
Kalau perbandingannya bisa hampir dua kali lipat, masyarakat cenderung mencari harga yang lebih murah. Kecuali dalam keadaan mendesak. Mereka yang butuh waktu cepat pasti naik KCJB.
Sehingga, kemungkinan kecil KCJB menjadi pilihan harian moda transportasi masyarakat. Apalagi jarak tempuh ke Bandung hanya memakan waktu 2-3 jam. Letak stasiun KJCB juga bukan berada di pusat kota.
“Kereta cepat ini memang cukup unik. Kalau di negara lain, kereta cepat bertujuan mengalihkan pengguna pesawat udara ke kereta. Kalau di Indonesia, sasarannya ke tiga kategori, yakni penumpang kereta yang ada meski jumlahnya tidak banyak, kemudian pengguna jalan tol, lalu penumpang baru, kata Djoko Setijowarno kepada VOI pada 8 Juni 2023.
“Tapi saya rasa, pengelolanya jago lah. Bisa juga nantinya kereta dijadikan transportasi jasa angkut barang yang lebih cepat. Tarif pun bisa dibuat dinamis, tidak flat,” lanjut Joko, yang juga Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu.
Baca juga:
- Penguasa DKI Jakarta, Belajarlah Cara Mengatasi Polusi Udara ke Negeri China
- Kehormatan Bali Harus Dijaga dari Perilaku Jemawa Wisatawan Mancanegara
- Program Layanan Angkutan Umum Perkotaan BTS Perlu Dukungan Pemerintah Daerah
- Penguatan Partai Politik Sangat Penting untuk Menghasilkan Pemilu yang Berkualitas
Tantangan selanjutnya adalah mengenai transportasi penghubung. Di Jakarta, KCJB sudah terhubung dengan LRT dan Transjakarta, tapi di Bandung masih butuh pembenahan.
“Feeder yang ada saat ini baru dari Padalarang ke Stasiun Bandung, bagaimana dengan kawasan-kawasan perumahan di Kabupaten Bandung? Sama halnya di Kabupaten Karawang. Pemda harus bantu juga jangan lepas tangan,” tambah Djoko.
Itu harus menjadi perhatian bersama agar proyek yang pada akhirnya menggunakan pembiayaan APBN tersebut tidak siasia.
Kilas Proyek KCJB
Proyek pembangunan KCJB sebenarnya sudah dimulai sejak 2016. Target awal rampung pada 2018 dan beroperasi pada 2019. Alih-alih sesuai target, proyek justru molor hingga terjadi pembengkakan biaya sebanyak Rp18,02 triliun.
Pembengkakan terjadi akibat sejumlah hal, seperti perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor, pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan, pencurian besi, hingga hambatan geologi dalam pembangunan terowongan.
Agar proyek kerjasama Indonesia-China tetap berjalan, Pemerintah Indonesia menambal sebagian kekurangan menggunakan dana APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dalam Pasal 4 Perpres ini, Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai KCJB.
Sebesar Rp4,3 triliun dari PMN saat ini sudah disuntikkan untuk membiayai porsi ekuitas Indonesia atas pembengkakan biaya. Sisanya, dipenuhi melalui kredit yang didapat dari pihak China Development Bank (CDB). Indonesia mau tak mau harus menambah utang lagi ke China, bahkan dengan permintaan bunga yang jauh dari perkiraan, hingga 3,4 persen per tahun.
Pemerintah kini tengah menegosiasikan pinjaman tersebut dengan harapan besaran bunga bisa ditekan menjadi 2 persen. Adapun pinjaman yang diajukan adalah 560 juta dolar AS.
Seperti diketahui, komposisi pembiayaan proyek KCJB adalah 75 persen berasal dari pinjaman melalui China Development Bank (CDB) dan sisanya merupakan setoran modal dari konsorsium dua negara yaitu Indonesia-China. Konsorsium BUMN Indonesia menyumbang 60 persen dan konsorsium China 40 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menganggap tidak adil bila hanya pemerintah Indonesia yang menanggung pembengkakan biaya proyek KCJB. Sebab, ini berakar dari kesalahan proses perencanaan dan studi kelayakan dari kedua pihak.
“Waktu itu, proses perencanaan proyek overoptimistis dan kreditor menawarkan bunga murah. Tetapi begitu dijalankan, ada biaya bengkak. Apa semua tanggung jawab BUMN dan Pemerintah Indonesia?” kata Bhima saat dikonfirmasi pada 8 Juni 2023.
Bila mengandalkan APBN justru nanti akan menimbulkan efek berantai. Konsumen pada akhirnya ikut terbebani karena harga tiket harus dinaikkan demi melunasi utang.
“Kalau harga tiket naik, jumlah penumpang berisiko tak mencapai proyeksi ideal. Akibatnya, subsidi negara untuk kereta cepat akan semakin berat,” tambahnya.
Skema ideal adalah dengan menukar utang kereta cepat dengan program subsidi tiket yang direncanakan. Jadi, beban utang bisa berkurang, sementara kreditor China akan menyubsidi tiket sebagai bagian dari niat baik terhadap masyarakat Indonesia.
Bhima pun meminta pemerintah lebih waspada terhadap pola jebakan utang kereta cepat. Jangan sampai proyek ini bernasib sama dengan Pelabuhan Hambatonta di Sri Lanka.
Pemerintah Sri Lanka diketahui tak mampu membayar utangnya kepada China yang mencapai hingga 7 miliar dolar AS pada 2017 seperti diberitakan Times of India. Pelabuhan Hambatonta akhirnya jatuh ke tangan China dengan penguasaan selama 99 tahun.