Bagikan:

JAKARTA – Topik penguatan partai politik kembali mengemuka seiring dengan kian meruncingnya perdebatan mengenai penerapan sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 untuk pemilihan legislatif.

Sejumlah kalangan menilai apapun sistem yang akan digunakan dalam Pemilu selama partai politik belum mampu membenahi diri, kualitas Pemilu yang dihasilkan akan tetap sama.

KPU telah menetapkan ada 18 partai politik nasional yang mengikuti Pemilu 2024. Jumlah tersebut di satu sisi memang mencerminkan semangat berdemokrasi namun di sisi lain juga menimbulkan gejala yang mengkhawatirkan.

Sebab, hanya sedikit partai politik yang bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Mayoritas bisa dibilang hanya menjadikan Pemilu sebagai ajang memperoleh dan berbagi kekuasaan.

Alih-alih berdebat mencari solusi bagaimana membangun bangsa, mereka malah sibuk dengan urusan-urusan yang bersifat pragmatis. Contoh nyata bagaimana partai politik saat ini sangat mudah menggadaikan ideologi. Berkoalisi dengan partai lain yang berbeda demi duduk sebagai penguasa seperti yang diutarakan Muhadam Labolo dan Teguh Ilham dalam buku ‘Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis’.

Di pemilihan presiden mereka menjadi rival, di pemilihan kepala daerah mereka malah berkoalisi.

Lemahnya ideologi partai politik di Indonesia dewasa ini merupakan salah satu permasalahan serius. Jika terus terjadi, maka dikhawatirkan peran partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat menjadi terganggu. Tanpa adanya ideologi, politik hanya akan menimbulkan kegagapan bagi kadernya saat memegang kekuasaan.

Partai politik peserta Pemilu 2024. (Istimewa)

Itulah mengapa, penguatan peran divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dalam partai politik menjadi sangat penting. Litbang mempunyai peranan dalam mengelola isu politik, agenda politik, pengembangan politik, dan konsistensi ideologi.

“Jika Litbang sudah mampu menjalankan fungsinya maka secara perlahan-lahan partai politik juga akan mampu mengembalikan fungsinya,” ucapnya.

Permasalahan lain yang kerap menghantui partai politik adalah finansial. Hampir tidak ada partai yang bisa bertahan hidup hanya dengan mengandalkan iuran anggota. Alhasil, partai politik cenderung mencari pemasukan lain dengan merekrut kalangan-kalangan berduit yang ingin menjadi pejabat publik. Asal memiliki uang, mereka yang tidak memiliki kompetensi pun bisa menjadi pejabat. Atau bersandar terhadap pengusaha.

Tentu hal ini berpotensi mengebiri kemandirian partai dalam berpolitik karena dibalik sumbangan besar yang diberikan oleh pemilik modal terselip niat untuk bisa mengendalikan partai dengan cara memengaruhi kebijakan partai politik. Jika terus terjadi maka fungsi partai politik dalam menyambung lidah rakyat bisa hilang dengan sendirinya.

“Maraknya kasus korupsi telah menunjukkan kepada kita bahwa betapa tidak sehatnya kondisi keuangan partai politik di negara ini. Mereka korupsi bukanlah semata-mata karena motif pribadi. Kebutuhan partai politik akan dana besar agar bisa memenangkan Pemilu telah mendorong para politisi untuk berlaku koruptif,” ungkap Muhadam dan Teguh.

Sistem rekrutmen dan pola kaderisasi anggota partai politik juga menjadi perhatian dalam upaya penguatan partai politik. Bagaimanapun, partai politik merupakan bagian dari sistem politik yang paling bertanggung jawab dalam menghasilkan para pemimpin-pemimpin yang berkualitas, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Penguatan Sistem Pemilu

Selain penguatan partai politik, penguatan sistem pemilu juga perlu dilakukan agar kompetisi antar peserta bisa berlangsung jujur dan adil. Muhadam dan Teguh mencatat ada sejumlah permasalahan utama yang saat ini dihadapi oleh sistem pemilu di Indonesia, antara lain masih rendahnya daya kritis masyarakat dalam memilih akibat belum optimalnya pendidikan politik yang mereka terima selama ini.

Tidak hanya partai politik, sejumlah komponen lain seperti lembaga pendidikan, pers, dan masyarakat memiliki peran penting guna mengatasi hal tersebut.

Lalu, pemilu berbiaya tinggi. Mahalnya biaya pemilu tentu tidak hanya dirasakan oleh pemerintah tetapi juga para peserta pemilu. Perubahan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka mengakibatkan para peserta pemilu legislatif saat ini tidak hanya bersaing dengan peserta dari partai lain tetapi juga dengan peserta dari partai yang sama.

Guru besar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk juga menyoroti jumlah partai yang mengikuti Pemilu. Terlalu banyak partai dan calon akan membuat pemilih bingung. Bayangkan, bila satu partai mengirimkan 10 calonnya untuk satu daerah pemilihan berarti ada 180 calon yang harus dipilah.

Kemungkinan sangat kecil pemilih akan memilah satu per satu calon. Pada akhirnya, pemilih tidak melihat kualitas dari calonnya, melainkan lebih melihat ke sosok yang paling populer. Dalam konteks pemilihan, yang paling menonjol umumnya selebritas.

Itulah mengapa, Hamdi menilai sistem Pemilu dengan terlalu banyak partai rasanya sudah tidak relevan. Tiga hingga empat partai politik saja sudah cukup. Dengan begitu, partai akan memilih orang yang tepat dan berkualitas untuk maju di daerah pemilihan tertentu guna bersaing dalam hal gagasan dengan calon dari partai lain.

“Partai akan menyeleksi sejak awal, jadi terjadi proses seleksi, nominasi, kaderisasi yang kuat di partai baru ditawari ke masyarakat. Kalau sekarang dengan proporsional terbuka, kritik saya, partai itu malas. Partai seolah-olah bilang begini, kami tawarkan 10, Anda pikir sendiri ya siapa yang bagus. Saya bilang, masa gw tahu yang bagus siapa,” kata Hamdi seperti dilansir dari YouTube Akbar Faizal Uncensored.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk. (Antara)

Hamdi tak menampik sistem proporsional tertutup di sisi lain memunculkan kekhawatiran munculnya praktik nepotisme dalam pemilihan kader yang akan maju sebagai anggota legislatif. Namun, menurutnya, itu permasalahan lain.

Tentu, bila partai politik sudah memiliki sistem fundraising dan ideologi yang kuat, serta sistem rekrutmen dan kaderisasi yang baik kekhawatiran tersebut dapat diminimalisasi.

Seandainya terjadi, masyarakat pasti akan menghukum partai tersebut di Pemilu selanjutnya.

“Kita semua tentunya sangat merindukan saat-saat di mana dunia politik di negara ini penuh dengan aktivitas-aktivitas yang benar-benar mengarah kepada tujuan dari politik itu sendiri seperti yang dikatakan oleh Plato yaitu untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih baik,” tambah Muhadam dan Teguh.