Program Layanan Angkutan Umum Perkotaan BTS Perlu Dukungan Pemerintah Daerah
Keberadaan transportasi publik sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat saat ini. (Antara/Arif Firmansyah/nym)

Bagikan:

JAKARTA – Program layanan angkutan umum perkotaan dengan skema Buy the Service (BTS) masih belum berjalan maksimal hingga saat ini. Banyak kepala daerah yang tidak merespon positif.

Padahal, menurut Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, keberadaan angkutan umum saat ini sudah menjadi poin penting dalam mengatasi berbagai permasalahan.

“Bahkan, bisa dibilang transportasi telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat selain pendidikan dan kesehatan,” kata Djoko kepada VOI pada 5 Juni 2023.

Tengok kerugian ekonomi akibat kemacetan. Di Jakarta dari hasil analisis bisa mencapai Rp65 triliun per tahun. Lalu, di Kota Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar sudah mencapai Rp12 triliun per tahun melebihi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kotanya.

Tengok pula peningkatan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat penggunaan kendaraan pribadi yang cukup masif. Agar lebih hemat dan subsidi BBM dari APBN berkurang, salah satu cara terbaik adalah dengan memperbanyak layanan transportasi umum di seluruh pelosok negeri.

“Dari total keseluruhan kebutuhan BBM, paling hanya sekitar 3 persen yang dialokasikan untuk transportasi umum. Bayangkan, anak-anak SMP di kota-kota kecil saja sudah naik sepeda motor untuk sekolah. Belum lagi masalah pencemaran udara dan lain sebagainya,” lanjut Djoko.

Wali Kota Bogor Bima Arya menjajal Bus Kita Trans Pakuan. Program Bus Kita di Kota Bogor disubsidi oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). (Antara/HO/Pemkot Bogor)

Skema BTS adalah mekanisme pembelian layanan angkutan massal oleh pemerintah (Kemenhub) ke operator, dengan mekanisme lelang berdasar standar pelayanan minimal yang memenuhi aspek kenyamanan, keamanan, keselamatan, keterjangkauan, kesetaraan, serta memenuhi aspek kesehatan. Skeman ini sesuai Permenhub Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum.

Program itu, menurut Djoko sudah tercetus sejak periode pertama pemerintahan Jokowi dan sudah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Rencana awal diterapkan di 32 kota, minimal di ibu kota setiap provinsi.

Sayangnya, ketika itu belum berjalan. Baru pada 2020 dimulai kembali. Berawal dari 5 kota hingga menjadi 11 kota yang menerima bantuan penyelenggaraan transportasi pada 2022.

Sebanyak 10 kota Program Teman Bus disubsidi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, yakni Medan, Palembang, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan Makassar. Memiliki 48 koridor dengan 741 armada bus dan 111 armada angkutan pengumpan (feeder).

Sedangkan 1 kota lainnya disubsidi oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dengan program Bis Kita untuk Trans Pakuan di Kota Bogor. Memiliki 4 koridor dengan 49 armada bus.

“Karena ada persoalan komitmen politik kepala daerah, anggaran subsidi juga berkurang, program akhirnya tidak bisa berjalan maksimal. Padahal, membangun transportasi publik adalah membangun sistem. Hasilnya tidak bisa terlihat 1 atau 2 periode kepemimpinan. Berbeda dengan membangun fisik. Mungkin itu yang membuat sejumlah pihak tidak berminat,” kata Djoko.

Hasil Evaluasi

Hasil evaluasi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat terhadap program Teman Bus jumlah penumpang memang mengalami tren peningkatan hingga 62 persen.

Namun di sisi lain, kata Djoko, infrastruktur pendukung BTS di daerah masih belum memadai, seperti akses trotoar dan halte. Desain halte belum memberikan kemudahan untuk akses; dan rambu bus stop/penanda pemberhentian bus tidak terlihat/terpasang.

Rute yang dipilih masih belum sesuai demand. Masih ada trayek BTS Teman Bus berhimpitan dengan trayek angkutan umum yang sudah ada, dan konflik dengan operator lain di beberapa kota/provinsi yang dilayani BTS masih terjadi. Saat kondisi puncak jam sibuk sebagian besar rencana headway dan on time performance tidak terpenuhi akibat kemacetan lalu lintas.

Pelaksanaan upaya push and pull oleh pemerintah daerah dalam mendukung layanan Teman Bus belum optimal karena masih sebatas sosialisasi penggunaan angkutan umum.

Selain itu, beberapa kota/provinsi belum memiliki lembaga pengelola angkutan umum. Di beberapa daerah, operator eksisting sebagian besar masih berupa individu (pemilik dan pengemudi), sehingga sulit untuk membentuk konsorsium operator dan diajak bergabung dalam sistem.

Teman Bus sudah ada di Makassar, Sulawesi Selatan sejak 2021. (Antara/HO-Dishub Sulsel)

Evaluasi lainnya soal transfer pengelolaan dan pengoperasian BTS dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemberian subsidi pembelian layanan/BTS ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi pengguna layanan.

“Sayangnya, belum ada kejelasan terkait keberlanjutan program, jangka waktu pendanaan oleh pemerintah daerah di masa depan. Belum ada komitmen anggaran dari Pemerintah Daerah dan DPRD (Provinsi/ Kota/Kabupaten). Dari 10 pemda yang diminta melakukan serah terima (takeover) kelola BTS belum semua kepala daerah merespon,” tutur Djoko.

Berbekal hasil evaluasi tersebut, Djoko memberikan catatan agar program tersebut bisa berjalan maksimal:

Pertama, pemilihan trayek/rute, harus didasarkan pada jumlah penumpang/demand dan kesiapan operator eksisting yang akan diikutsertakan. Program BTS harus sejalan dengan master plan perencanaan dan pengembangan angkutan umum di daerah.

Kedua, kolaborasi dan sinergitas dengan operator lokal. Operator angkutan umum eksisting harus dilibatkan dalam sistem BTS, karena mereka bukan pesaing namun sebagai mitra.

Ketiga, koordinasi antar pemangku kepentingan di daerah (DPRD, Bappeda, Dinas PU, Disdik, Kepolisian, Organda, operator eksisting, swasta dan media) untuk memastikan keberlangsungan program BTS khususnya dalam penerapan kebijakan push & pull dan penyediaan infrastruktur pendukung BTS.

Keempat, komitmen, kesiapan finansial, dan kesiapan kelembagaan pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu menyiapkan tahapan pelaksanaan dan skema pendanaan program BTS, serta bantuan teknis terkait pengembangan transportasi publik perkotaan.

Kelima, perbaikan standar pelayanan minimal (SPM) BTS untuk memastikan tercapainya peningkatan kualitas layanan. Selain itu, operator juga mampu melakukan perbaikan kinerja operasional dan layanan secara proporsional.

Keenam, monitoring, pengawasan dan evaluasi berkelanjutan diperlukan untuk meningkatkan layanan dan untuk menilai efisiensi layanan. Termasuk perbaikan operasional dan teknologi IT yang digunakan untuk sistem BTS.