Tidak Tepat Sasaran, UMKM Tak Perlu Subsidi Kendaraan Listrik

JAKARTA – Kebijakan subsidi program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), menurut Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, merupakan program tidak tepat sasaran.

Yang dibutuhkan pelaku UMKM bukanlah kendaraan listrik, melainkan tambahan modal untuk pengembangan usaha, akses pasar, dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM).

“Saat ini, setiap pelaku UMKM sudah memiliki sepeda motor, bahkan lebih dari satu motor dalam rumah tangganya. Bahkan, orang yang hidup di kolong jembatan pun mungkin sudah memiliki sepeda motor saat ini. Jelas tidak tepat sasaran,” kata Djoko dalam keterangannya kepada VOI pada 28 Mei 2023.

Nantinya, hanya kalangan produsen kendaraan listrik yang diuntungkan. Sementara, tujuan dari pemberian insentif untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dan menekan emisi karbon jauh panggang dari api.

“Yang terjadi justru penambahan konsumsi energi dan makin bertambahnya kendaraan pribadi yang berjejal di jalan,” lanjut Djoko.

Mendorong pengembangan kendaraan listrik harus dimulai dari instansi pemerintahan, dengan menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas. (Antara/Ruth Kanafi)

Terlebih, program bantuan pembelian kendaraan listrik tidak memiliki aturan atau kewajiban bagi pembeli untuk melepas kepemilikan kendaraan berbahan bakar minyak yang mereka miliki. Alih-alih bertambah baik, kondisi lalu lintas malah jadi semrawut.

Mending, kata Djoko, insentif sepeda motor listrik diprioritaskan untuk daerah terluar, tertinggal, terdepan dan pedalaman yang mayoritas berada di luar pulau Jawa. Di daerah ini, jumlah sepeda motor lazimnya masih sedikit. Pasokan bahan bakar minyak juga masih sulit sehingga harga cenderung mahal. Sementara, energi listrik masih bisa diperoleh dengan harga lebih murah.

“Terserah pemerintah mau beli atau bagaimana mekanismenya untuk dibagikan ke daerah terpencil, tertinggal yang BBM-nya terbatas. Berikan untuk guru-guru, tenaga perawat. Sehingga, dampaknya lebih dirasakan bagi masyarakat. Daripada diberikan untuk pelaku UMKM, toh mereka juga belum tentu mau membeli,” tutur Djoko.

Perusahaan Angkutan Umum

Begitupun untuk mobil listrik. Prioritas subsidi juga jangan untuk kendaraan pribadi, tetapi untuk kendaraan dinas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sehingga distribusinya lebih merata.

Lebih tepat lagi kalau diberikan untuk perusahaan-perusahaan angkutan umum. Djoko menilai ada sejumlah keuntungan seandainya subsidi untuk mendorong pengembangan kendaraan listrik diberikan kepada angkutan umum.

Antara lain, pelayanan angkutan umum akan lebih ramah lingkungan, bisa menekan emisi udara dan bisa mereduksi kemacetan. Juga, dapat menurunkan angka kecelakaan dan angka inflasi di daerah.

“Contoh, bus listrik nantinya dapat dioperasikan di dalam Ibu Kota Nusantara (IKN) dan juga dimanfaatkan untuk menghubungkan transportasi umum ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Apalagi porsi angkutan umum di IKN tinggi. Mobil-mobil listrik pun dapat digunakan pejabat di IKN. Biasanya ketika ada percontohan yang sukses, daerah lain bisa mengikuti,” terang Djoko.

Pengamat transportasi dari The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Etsa Amanda pun berpendapat sama. Subsidi kendaraan listrik ada baiknya dimulai dari transportasi publik. Ini bisa menjadi momentum mereformasi transportasi publik secara keseluruhan.

“Pemerintah juga lebih mudah membuat perencanaan matang karena transportasi publik memiliki rute tetap dan jadwal operasional yang reguler. Jadi lebih efektif,” kata Elsa dalam webinar Subsidi Mobil Listrik untuk Pribadi atau Transportasi Publik pada 27 Mei 2023.

Subsidi kendaraan listrik lebih baik untuk transportasi publik. (Istimewa)

Seperti yang tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program KBLBB untuk Transportasi Jalan. Program ini

Didorong sebagai upaya untuk peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, konservasi energi sektor transportasi, serta terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan. Serta untuk mewujudkan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca.

Dengan konversi motor konvensional ke motor listrik bisa menghemat pengeluaran lebih kurang Rp2,77 juta per tahun untuk pengguna. Pemerintah juga bisa menghemat Rp32,7 miliar per tahun dari kompensasi Pertalite.

Kendati begitu, kata Djoko, harus ada indikator keberhasilan dan kemanfaatannya. Institusi mana yang bertanggung jawab mengukurnya?

“Solusi harus terus dicari. Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral harus bersinergi merumuskan kebijakan subsidi ini agar tepat sasaran. Jangan sampai ini hanya dinikmati orang-orang kaya. Mereka yang bisa beli mobil listrik adalah orang-orang kaya, ngapain diberi subsidi?”