Greenpeace yang Menganggap RUU Cipta Kerja Ancaman bagi Masa Depan Lingkungan

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sebagai bagian dari Omnibus Law yang diajukan pemerintah telah diserahkan kepada DPR. Perumusan RUU yang dibahas secara tertutup selama ini semakin ramai dibicarakan dan ditakutkan menjadi ancaman besar tidak hanya bagi hak-hak kaum pekerja dan masa depan perlindungan lingkungan di Indonesia.

Greenpeace Indonesia menyatakan, alih-alih menciptakan lapangan kerja, tampaknya RUU ini malah akan menciptakan lebih banyak masalah lingkungan ke depan. Greenpeace Indonesia menilai materi dan arah Omnibus Law malah akan  memperparah tata kelola sistem yang ada di Indonesia.

"Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya upaya penyederhanaan regulasi yang justru berujung pada pelemahan perlindungan lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," ujar Asep Komaruddin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam keterangan yang dikutip Minggu 16 Februari.

Omnibus Law yang digencarkan pemerintah saat ini, kata dia, bahkan berpotensi menjadi jalan bebas hambatan bagi maraknya korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam.

"Sehingga praktik perusakan lingkungan hidup akhirnya sangat sulit dicegah dan menjadi semakin tidak terkendali," tuturnya.

Di saat masyarakat dunia sedang bergulat melawan bencana banjir dan kekeringan akibat krisis iklim, Indonesia justru semakin mengedepankan dan memberi karpet merah untuk industri kotor demi menggenjot investasi.

"Seperti batu bara yang menjadi penyebab krisis iklim dan melepaskan jaring pengaman terhadap keberlangsungan hutan-hutan di Indonesia yang menjadi solusi bagi krisis iklim," katanya.

Rencana penghapusan pasal yang mengandung prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability dalam RUU Cipta Kerja justru akan mempersulit penegak hukum dalam menjerat korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Presiden Jokowi tampaknya lebih senang mencopot Kapolda atau Pangdam yang gagal mencegah karhutla ketimbang mencabut izin perusahaan yang tersangkut masalah kebakaran," jelasnya.

Pemerintah, kata Asep, masih gagal menangani akar masalah karhutla di mana korporasi yang telah terbukti bersalah saja belum semuanya patuh membayar denda putusan pengadilan.

"Jadi wajar jika masyarakat meragukan keseriusan Jokowi terlebih jika aturannya malah dikebiri,” ungkap.

Greenpeace Indonesia menyesalkan RUU Cipta Kerja yang telah mengkerdilkan peran analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) serta penghapusan Izin Lingkungan. Hal ini berisiko mengabaikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang tidak bisa diprediksi, dipantau dan ditanggulangi.

"Masyarakat harus tetap terlibat dalam pengambilan keputusan sebab jika terjadi kerusakan lingkungan mereka yang pertama terkena dampaknya. Selain itu hilangnya Izin lingkungan akan menghilangkan hak masyarakat dalam mengajukan keberatan dan upaya hukum yang selama ini menjadi alat kontrol ​keputusan-keputusan yang berkaitan dengan lingkungan,” tambah Asep. 

Industri batu bara yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan akan mendapatkan perpanjangan ijin sampai seumur tambang, yang artinya mereka bisa mengeruk batu bara tersebut sampai habis.

“Kepentingan industri batu bara sudah jelas banyak bermain dan diakomodir pemerintah dalam pembentukan rancangan undang-undang ini," ungkap Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Energi Tak Ramah Lingkungan

RUU Cipta Kerja, kata Satrio, juga akan membebaskan keharusan membayarkan royalti untuk industri batu bara yang melakukan peningkatan nilai tambah, bisa berupa proses gasifikasi dan batu bara cair yang digadang-gadang oleh beberapa pihak masuk dalam definisi Energi Baru dalam kerangka Energi Baru Terbarukan yang saat ini oleh Pemerintah dijadikan sebagai salah satu cara menurunkan emisi karbon di sektor energi.

Greenpeace Indonesia menilai ini akan menjadi kebohongan besar komitmen perubahan iklim pemerintahan Jokowi, apabila target EBT 23 persen memasukkan batu bara di dalamnya. Batu bara bukanlah produk ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah.

“Batu bara telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dari hulu ke hilir. Ironis sekali, Omnibus Law justru mendorong hilirisasi batubara dengan memberi semua keistimewaan yang tidak didapatkan oleh energi terbarukan yang sudah jelas bersih," jelas Satrio.

Hilangnya kewenangan pemerintah daerah membuat terbatasnya proses bottom up dalam perencanaan kelistrikan nasional yang dapat memanfaatkan secara maksimal potensi sumber energi terbarukan yang ada di daerah tersebut.

“Kewenangan kelistrikan yang ditarik ke ranah pemerintah pusat juga akan sarat kepentingan elit yang diuntungkan," tambah Satrio

RUU Cipta Kerja juga memberi kemudahan untuk izin usaha ketenaganukliran, yang akan diberikan langsung oleh pemerintah pusat.

“Nuklir bukanlah sumber energi yang murah, undang-undang ini telah dengan salah menerjemahkan apa yang dibutuhkan Indonesia untuk menuju transisi energi yang bersih dan aman. Di saat banyak negara maju seperti Jerman dan Jepang mulai meninggalkannya, Indonesia malah berjalan mundur dengan mendorong pemanfaatan nuklir dan batubara,” tutup Satrio.