KLHK Pastikan RUU Omnibus <i>Law</i> akan Tetap Perhatikan Aspek Lingkungan
Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan (pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Surat Presiden (Surpres) dan draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, telah resmi diserahkan ke DPR. RUU ini tidak hanya berdampak untuk kaum pekerja, tetapi juga terhadap isu lingkungan. 

Salah satu yang dikhawatirkan adalah penghapusan regulasi soal analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menepis isu penghapusan regulasi lingkungan di Omnibus Law RUU Cipta Kerja. 

Menurutnya pada dasarnya, RUU ini tetap mengedepankan kekuatan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Bahkan, standar lingkungan itu mempunyai daya pelaksanaan yang harus dijalankan.

"Standar lingkungan itu mempunyai daya enforce, daya untuk kita mempersoalkan. Dan itu nanti ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Jadi enggak benar kalau dibilang amdalnya dihapus dan lain-lain, itu tidak benar. Amdal tetap," kata Siti, saat ditemui di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 12 Februari.

Di dalam RUU ini, kata Siti, KLHK mengatur dua hal, yakni aspek lingkungan dan pengadaan lahan. Keduanya tetap akan memperhatikan aspek lingkungan.

"Hanya bedanya persyaratan lingkungan itu tidak dibebankan kepada swasta, tetapi dijadikan standar (dari pemerintah). Tidak dibebankan kepada swasta di awal. Tetapi dia menjadi standar. Ketika menjadi standar dan tidak dipenuhi, dia (swasta) kena juga," jelasnya.

Seperti diketahui, draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal yang rencananya akan dibahas di DPR. Nantinya, pembahasan akan melibatkan tujuh komisi.

Terkait pengadaan lahan, bila di ketentuan sekarang diatur mengenai luasan minimum dalam bentuk angka, maka di omnibus law ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria biogeofisik alam. Sehingga, kata Siti, diharapkan seluruh provinsi bisa berkembang secara bersama-sama.

"Jadi kalau dulu disebut angkanya harus berapa persen, nah ini sekarang dalam bentuk proporsional persentase menurut bentuk biogeofisik alamnya. Tapi prinsip menjadi lebih sederhana, memudahkan untuk pembangunan tetapi tetap menjaga lingkungannya. Nanti detailnya disosialisasikan," ucapnya.

Sebelumnya, isu penghapusan IMB-Amdal dalam RUU Cipta Kerja ini menjadi perhatian aktivis lingkungan. Beberapa ketentuan hukum yang dinilai bermasalah dalam RUU tersebut, di antaranya soal kemudahan bagi perusahaan tambang melanjutkan dan meluaskan wilayah pertambangan. RUU ini dinilai berpotensi melonggarkan izin lingkungan dan amdal.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menyatakan aturan sapu jagat yang isinya memberi kemudahan bagi perusahaan tambang ini justru mengancam kehidupan rakyat dan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan.

Merah mengatakan, kelonggaran yang diberikan bagi para perusahaan tambang ini memberi ancaman bagi rakyat, termasuk juga lingkungan di sekitar wilayah konsesi.

Selain itu, kata Merah, akan terjadi pengusiran besar-besaran terhadap rakyat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Menurutnya, ini merupakan konsekuensi atas ketentuan tak ada pembatasan luas wilayah untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi.

Masyarakat adat juga terancam ketika RUU ini benar-benar berlaku. Merah menyebut banyak masyarakat adat yang tinggal di dekat wilayah pertambangan.

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya (Mery Handayani/VOi)

Pemerintah Tetap Tindak tegas Perusak Lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa revisi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam RUU Cipta Kerja, tetap  dalam semangat menindak tegas perusak lingkungan. Hal ini menjadi catatan publik sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak dalam penegakan hukum lingkungan.

"Pada RUU Omnibus Law, penegakan hukum lingkungan tetap dilakukan dan pelaku kejahatan lingkungan tetap dihukum. Penegakan hukum pidana tetap dapat menjerat para pembakar hutan, pencemar dan perusak lingkungan, karena pasal pidana tetap dipertahankan,'' ungkap Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono dalam keterangannya.

Pada RUU ini setiap orang atau badan usaha yang terbukti telah mengakibatkan kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan dapat dijerat dengan sanksi pidana. Dalam hal ini prinsip ultimum remedium yang diterapkan.

Untuk pelanggaran-pelanggaran teknis yang membutuhkan langkah koreksi (corrective action) maka tetap dilakukan penegakan hukum dengan sanksi administratif paksaan pemerintah. Berturut-turut  pembekuan dan pencabutan izin serta selanjutnya denda. 

Sementara untuk perbuatan melawan hukum yang terkait dengan kegiatan menghasilkan limbah B3, menggunakan B3 atau kegiatan yang berdampak besar dan beresiko tinggi, tetap diterapkan pertanggungjawaban mutlak. 

Adapun kalimat dalam RUU yang berbunyi  “...tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” tidak akan menghilangkan makna pertanggung jawaban mutlak, dimana unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan. 

"Sehingga perbuatan melawan hukum terkait dengan limbah B3, B3 atau yang beresiko tinggi yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap dapat dimintai pertanggung jawabannya untuk membayar ganti kerugian lingkungan tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan," tegas Bambang.