JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis teknik soil bioengineering untuk mendukung upaya preventif menstabilkan kelerengan guna menghindari bencana longsor.
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi (KLHK), Budi Hadi Narendra mengatakan, bahwa longsor didefinisikan sebagai gerakan massa tanah atau batuan, maupun kombinasi keduanya menuruni lereng. Gerakan tersebut akibat dari terganggunya kestabilan massa penyusun lereng tersebut.
Budi menjelaskan, kestabilan lereng ini dipengaruhi kondisi morfologi, khususnya kemiringan lereng, kondisi bebatuan atau tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pasa lereng.
Sementara itu, Budi berujar, pemicu longsor berasal dari peningkatan kandungan air dalam lereng karena hujan. Tak hanya itu, getaran saat gempa bumi juga dapat menjadi pemicu. Selain itu, peningkatan beban seperti bangunan atau pohon yang terlalu rimbun sehingga melampaui daya kuat geser tanah.
"Pemotongan kaki lereng yang mengakibatkan menurunnya gaya penyangga, dan susut muka air yang cepat di danau atau waduk yang dapat menurunkan gaya penahan lereng," tutur Budi, di Gedung KLHK, Manggala Wanabakti, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Selasa, 21 Januari.
Jika berkaca pada bencana tanah longsor dan banjir bandang beberapa waktu lalu, terjadi di daerah Desa Lebak Gedong dan sekitarnya, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak dan Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
Berdasarkan peta kemiringan lereng banjir bandang dan tanah longsor Kabupaten Lebak dan Bogor KLHK 2020, diketahui bahwa kedua lokasi bencana tersebut berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung bagian hulu yaitu sub DAS Ciberang, serta di sub DAS Cidurian hulu yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 30 persen.
Sebagai bentuk pencegahan dan penanganan bencana tanah longsor dan banjir yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor dan Banten itu, Menteri LHK Siti Nurbaya memerintahkan agar dilakukan beberapa upaya antara lain yaitu penataan ruang wilayah dan penggunaan secara proporsional, pembuatan bangunan pengendali banjir, revegetasi di lahan pasca tambang, serta penegakan hukum.
Budi menjelaskan, mitigasi menstabilkan lereng untuk penurunan kerawanan bencana longsor dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan rekayasa geogenetik yakni perkuatan tanah dengan konstruksi sipil teknis. Namun, biayanya relatif mahal.
"Kedua, dengan metode soil bioengineering (vegetatif). Di mana tanaman berperan sebagai kompenen struktural utama. Selain itu, metode ini dapat dikombinasikan dengan bangunan atau kontruksi sipil teknis," tuturnya.
Dari kedua metode tersebut, Budi mengatakan, dalam upaya mencegah longsor KLHK akan menggunakan metode soil bioengineering untuk menstabilkan kelerengan.
Budi menuturkan, pada prinsipnya metode ini berusaha menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman, agar akar tanaman dapat meningkatkan kohesi tanah, sebagai suatu sistem konstruksi alami penstabil lereng. Selain itu, akar dapat menyerap air dalam tanah melalui proses transpirasi sehingga dapat menurunkan tegangan air pori.
Menurut Budi, peran akar pohon sebagai pencengkram juga dapat memberikan kestabilan tanah pada lereng, meski tetap bergantung pada faktor lain seperti sistem morfologi, penguatan, distribusi akar, dan interaksi antara akar-tanah.
"Karakteristik sistem perakaran tanaman seperti kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola pencabangan akar, sudut kemiringan akar, dan diameter akar juga akan mempengaruhi proses longsoran. Untuk meningkatkan stabilitas lereng, panjang akar mesti mencukupi supaya akar-tanah dapat berinteraksi dan mencengkeram tanah" jelasnya.
Selain rumput vetiver, berdasarkan hasil penelitian KLHK perakaran tanaman bidara laut juga diketahui sesuai dengan upaya pengendalian longsor.
"Bidara laut termasuk yang cocok untuk ditanam di daerah rawan longsor karena selain perakarannya sesuai, jenis pohon ini ukurannya juga tidak besar sehingga tidak terlalu membebani lereng. Akan lebih bagus dikombinasikan dengan vetiver," tuturnya.
Budi berujar, bidara laut yang dikombinasikan dengan vetiver akan membentuk kanopi berstrata atau bertingkat yaitu tajuk vetiver di lapisan bawah dan bidara di lapisan atas. Tajuk yang berstrata juga akan lebih berperan efektif dalam pengurangan erosi.
"Selain Bidara Laut, tanaman lain yang sebenarnya masyarakat juga sudah familiar seperti Nangka, Rambutan, Kopi. Cuma dalam rancangannya jenis-jenis tanaman yang memiliki batang yang besar tidak banyak ditemukan di lerenga atas, lebih banyak dilereng bawah," ucapnya.
Sementara, Bidara Laut yang memiliki diameter batang hanya sekitar 15 cm dapat ditanam dibagian lereng atas untuk mencega slip surface atau bagian yang paling mudah tergelincir.