JAKARTA - Di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 di mana konsentrasi publik berfokus pada penanganan wabah, pemerintah dan DPR justru memanfaatkan keadaan ini. Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang sejak awal keberadaannya sudah ditentang, pembahasannya justru dilanjutkan.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan, pemerintah dan DPR tidak pernah mendengarkan keluhan masyarakat tentang beberapa poin fatal yang ada dalam RUU Cipta Kerja tersebut.
Merah mengaku, karena hal itu pihaknya bersama beberapa organisasi yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), menempuh langkah hukum dengan menggugat Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke PTUN DKI Jakarta pada Kamis, 30 April.
"Presiden dan DPR tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan untuk pengesahan RUU bermasalah ini. Rencana melanjutkan pembahasan Omnibus Law ini melanggar beberapa aspek," katanya, dalam diskusi virtual bersama wartawan, di Jakarta, Minggu, 3 Mei.
Lebih lanjut, Merah mengungkap, ada lima alasan yang melandasi pihaknya untuk menempuh jalur hukum dan keyakinan bawha RUU Omnibus Law harus dibatalkan. Tidak cukup hanya mengeluarkan klaster Ketenagakerjaan.
1. Cacat Prosedur dan Subtansi
RUU ini disusun dengan mengabaikan prosedur yang telah jelas diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Mulai dari Perencanaan hingga penyusunan presiden tidak menjalankan prinsip transparansi, partisipasi, dan justru mendiskriminasi rakyat dengan hanya melibatkan kelompok pengusaha.
"Sejak awal kelompok kepentingan yang harusnya dilibatkan tidak dilibatkan. Naskahnya juga tidak transparan, kemudian pelibatan publik juga tidak ada. Pembentukan satgas juga mayoritas pengusaha. Sebagian besar pengusaha pertambangan yang menurut kami juga punya konflk kepentingan. Karena pernah jadi tim sukses," katanya.
BACA JUGA:
Kode Inisiatif mencatat, 27 dari 54 Putusan MK yang berkaitan dengan UU yang diubah oleh RUU Cilaka tidak ditaati oleh Pemerintah dalam menyusun substansi RUU Cilaka, antara lain (a) Tidak menindaklanjuti Tafsir Konstitusional dari Putusan MK; (b) Hanya menindaklanjuti sebagian Tafsir Putusan MK; dan (c) Menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.
2. Mengabaikan Dampak Kerusakan Lingkungan
Kemudian, lanjut Merah, Omnibus Law juga memiliki dampak terhadap kerusakan lingkungan. Sebenarnya, dampak kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi sebelum Omnibus Law, namun hal ini tidak menjadi bahan evaluasi dan tidak jadi catatan penting ketika merumuskan RUU tersebut.
"Sebaliknya kami melihat kalau diteruskan, akan melipatgandakan kerusakan lingkungan hidup. Tidak dievaluasi, malah bikin regulasi baru yang bermasalah, yang akan menciptakan lebih banyak kerusakan lingkungan hidup," tuturnya.
Merah mengungkap, jika RUU ini tetap dibiarkan untuk dilanjutkan, dampaknya adalah kerusakan di daratan Indonesia. Sebab, daratan tersebut sudah dikavling-kavling oleh perizinan yang sifatnya eksploitatif. Di Omnibus Law klaster pertambangan, dihapuskan batas waktunya. Di dalam UU Minerba, dia berkaitan dengan mengubah 9 pasal di UU Minerba, menghapus 15 pasal, dan menambahkan 6 pasal baru.
Salah satu perubahannya, kata Merah, masa perizinan yang tidak terbatas, sehingga sampai pertambangan itu habis bagi kegiatan pertambangan yang tidak terintegrasi dengan kegiatan pengolahan atau pemurnian.
Menurut Merah, dalam Omnibus Law pengusaha minerba mendapat keistimewaan jika mempunyai PLTU dan smelter untuk mineral dan logam. Mereka diberikan tambahan pasal yaitu pasal 47 ayat 6, 7, 8 dan pasal 83.
"Memberikan keistimewaan, akan diberikan jangka waktu perizinan yang tidak terbatas. Selama bahan tambang itu ada di dalam tanah, selama itu juga bisa melakukan penambangan," tuturnya.
Berdasarkan catatan JATAM, kata Merah, saat ini 34 persen luas daratan kepulaian Indonesia sudah dikapling izin pertambangan. Ditambah lagi, yaitu perubahan pasal 83 huruf f. Jika di UU Minerba saat ini dibatasi maksimal 100 ribu hektar untuk eksploitasi dan 15 ribu hektar untuk ekplorasi, namun di Omnibus Law ini luas konsesi luas pertambangan tidak akan mengenal batas. Tentu dampaknya kerusakan akan lebih luas. Kerusakan tidak hanya di pulau besar, tapi juga di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
"Celakanya tidak ada pelibatan masyarakat pulau kecil, nelayan, pesisir, maupun korban tambang ketika melakukan pembahasan. Kami memprediksi akan terjadi kerusakan yang sangat besar di pesisir laut dan pulau kecil. RUU ini juga menggunakan kacamata kuda, tidak mau liat kanan kiri. Tumpang tindih juga dengan kawasan rawan bencana," ucapnya.
Menurut Merah, RUU ini tidak peduli dengan kawasan rawan bencana, banyak operasi pertambangan panas bumi berada di kawasan gempa, tsunami, dan banjir. Hal ini akan semakin membuat rentan daya tahan masyarakat di masa pandemi ini.
"Sudah kena ISPA karena PLTU batu bara, bertambah lagi luasan pertambangannya, rawan bencana, terancam lagi oleh bencana hidrometrologi seperti tsunami, gempa dan banjir," jelasnya.
3. Dugaan Omnibus Law Ditunggangi Pengusaha
RUU Cipta Kerja ini, kata Merah, telah merendahkan martabat negara, hanya melayani kepetingan pengusaha dan mengabaikan kepentingan rakyat. Salah satu contohnya, pasal 169 yang dimasukkan dalam RUU ini, yamg ingin memperpanjang atau setuju perusahaan raksasa batu bara memproduksi sekitar 60 persen batu bara nasional.
"Itu ada Kaltim Prima Coal (KPC), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Arutmin Indonesia, perusahaan- perusahaan raksasa ini akan habis masa berlakunya tahun ini. Arutmin akan habis akhir tahun ini. Kami melihat merekalah yang berusaha menunggani Omnibus Law ini. Sehingga Omnibus Law ini justru merendahkan martabat negara," tuturnya.
BACA JUGA:
Menurut Merah, RUU ini juga melanggar konstitusi, di mana meletakkan negara di atas entitas bisnis. Artinya, menjadikan megara di bawah lebih rendah dari entitas bisnis. Salah satu contohnya adalah pasal penghilangan royalti, di mana perusahaan tambang diberikan kemudahan unruk tidak perlu lagi bayar royalti ke negara.
"Tidak perlu lagi membayar iuran jika aktivitas penambangannya menemukan logam atau material lain ketika penambangan dilaksanakan. Jadi didiskon, termasuk peraturan pembebasan tanah diberikan kepada negara atau pemerintah. Ini kan menempatkan pemerintah menjadi centeng levelnya. Padahal di UU yang berlaku sekarang, urusan pembebasan tanah itu urusan perusahaan dan masyarakat," ucapnya.
4. Daerah Tak Memiliki Kewenangan
Merah mengatakan, RUU ini juga membuat sentralisasi kewenangan berlebihan. Di mana seluruh kewenangan pertambangan, bukan hanya batu bara tapi juga Migas, panas bumi, minerba semua ditarik ke pemerintah pusat, daerah tidak punya kewenangan.
"Dengan (melibatkan) pemerintah daerah saja masih berjarak dengan rakyat, apalagi kalau ditarik pemerintah pusat. Tidak ada evaluasi di naskah akademik atau kajian yang sungguh-sungguh soal pelimpahan atau sentralisasi kewenangan ini," jelasnya.
Kemudian, lanjut Merah, sanksi dan penegakan hukum lingkungan tidak lagi independen. Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang berkaitan dengan pengawasan pertambangan itu semuanya dikoordinasikan dengan polisi dan ditarik semua ke sana.
5. Pro Industri Kotor
Tak hanya itu, Merah mengungkap, Omnibus Law juga sangat pro dengan industri energi kotor. Sebab, banyak pasal-pasal yang memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada energi kotor yaitu energi fosil, dan batu bara. Perusahaan batu bara mendapat keuntungan luar biasa dari RUU ini.
"Terminologi izin lingkungan juga dihilangkan. Izin lingkungan tidak ada lagi, yang harusnya rezim usaha setelah izin lingkungan, sekarang izin lingkungan dihilangkan. AMDAL diamputasi hanya bagi kegiatan berisiko tinggi. Dibuatlah kategori risiko rendah, sedang, dan tinggi. Padahal kalau dilihat pertambangan semuanya risiko tinggi, bagaimana membagi-baginya," terangnya.
BACA JUGA:
Menurut Merah, pada pasal 25 dokumen AMDAL hanya dari masyaekat terdampak langsung yangg relevan. Jadi ada upaya untuk mempersempit dan tidak ingin partisipasi rakyat lebih jauh. Padahal kerusaan lingkunan itu mengalir daya rusaknya.
Kemudian, lanjut dia, pelanggaran hukum terhadap perizinan tidak masuk sanksi pidana, tetapi sanksi administrasi. Merah menilai, ini merupakan upaya untuk menunggangi hukum yang berkaitan dengan penegakan lingkungan hidup tidak maksimal. Termasuk penghapusan pasal 165 tentang korupsi izin pertambangan.
"Ganti saja dengan perusahaan, karena bukan lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi negara kesatuan investor Indonesia gitu saja. Karena sudah enggak ada gunanya kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertambangan dan lainnya. Karena kepentingan pengusaha saja yang diakomodir," ucapnya.