Sistem E-Court Dinilai Praktisi Hukum Masih Punya Celah Timbulkan Kerugian

JAKARTA - Sistem e-Court yang harusnya memberi kemudahan pelaksanaan administrasi peradilan dinilai masih banyak celah. Hal ini bisa menimbulkan kerugian bagi pencari keadilan.

"Khususnya pencari keadilan yang memiliki keperluan mengajukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan tingkat pertama via e-Court," kata praktisi hukum, Clara Viriya dalam keterangannya, Senin, 22 Mei.

Salah satu contoh yang disinggung Clara adalah adanya pihak yang pengajuan bandingnya tidak diterima dengan diputus cacat formal atau niet ontvankelijke verklaard (N.O). Putusan ini dijatuhkan karena pendaftararan dianggap dilakukan melampaui batas waktu pengajuan banding.

Belakangan, sambung Clara, putusan ini dianggap melampaui batas karena sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 terdapat frasa 'Pendaftaran perkara secara elektronik yang dilakukan di luar jam yang ditentukan pada angka 13 akan diproses pada hari kerja berikutnya'.

Tak sampai di sana, praktisi hukum ini juga menyinggung fungsi otomatisasi e-Court yang belum matang dan sumber manusia pendukung yang belum siap. Keduanya dinilai menjadi penghambat penerapan sistem digitalisasi tersebut.

"Kolaborasi dari peraturan, sistem, dan sumber daya manusia yang belum cukup baik dalam memenuhi kebutuhan pencari keadilan tersebut merupakan hal yang perlu dibenahi," tegasnya.

"Dalam konteks sistem elektronik, fungsi otomatisasi berdasarkan source code sistem e-Court juga perlu dipastikan memilki kemampuan untuk melakukan inventarisasi perkara secara presisi sesuai dengan sifat dan konteksnya berdasarkan peraturan perundang-undangan," sambung Clara.

Pelatihan bagi sumber daya manusia yang menjalankan sistem ini dianggap Clara harus segera dilakukan. "Seharusnya mereka dapat memberikan input dan revisi yang bersifat real time atas kemungkinan ketidaksempurnaan sistem yang ada, sehingga keduanya berkolaborasi secara harmonis dalam menjalankan fungsi e-Court," ujarnya.

Kemudian, Clara juga menyebut Mahkamah Agung harus bisa mengakui mereka belum maksimal dalam melaksanakan sistem e-Court. Sehingga, perbaikan dan penyempurnaan bisa dilakukan.

"Hal ini urgent untuk dibaharui dan disempurnakan, mengingat hak untuk mengajukan upaya hukum dan mendapatkan keadilan objektif menurut Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), merupakan Hak Asasi Manusia," pungkas Clara.