Mengenal Kitab Kuning, Pedoman yang Diwajibkan Komjen Listyo kepada Seluruh Anggota Polri
JAKARTA - Komjen Listyo Sigit Prabowo mempresentasikan makalah dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) kepada Komisi III DPR RI, Rabu, 20 Januari.
Terdapat strategi menarik yang dipaparkan Komjen Listyo sebagai cara pencegahan aksi terorisme apabila dirinya terpilih menjadi Kapolri, yaitu mewajibkan anggota Polri belajar Kitab Kuning.
"Seperti dulu di Banten saya pernah sampaikan anggota wajib belajar Kitab Kuning karena kami mendapatkan masukan dari ulama yang kami datangi. Untuk mencegah berkembangnya terorisme salah satunya dengan belajar Kitab Kuning," jelas Komjen Listyo.
Setelah Komjen Lisyto memaparkan presentasinya, Kitab Kuning tentu menjadi pertanyaan publik, apa itu? Bagaimana Isinya? Tentu, bagi kalangan pondok pesantren, bukanlah hal baru karena sehari-harinya 'bergaul' dengan isi kitab ini.
Namun, bagi yang di luar pondok atau pemeluk agama lain tentu bertanya-tanya. Nah, redaksi VOI dilansir dari NU Online, akan memberikan sedikit pemahaman tentang asal usul hingga isi dari Kitab Kuning
Baca juga:
Kitab Kuning merupakan penyebutan bagi kitab klasik karya para ulama zaman dahulu (ulama salaf). Kitab Kuning sendiri adalah salah satu rujukan utama pengajaran di pesantren berbasis Nahdlatul Ulama (NU).
Penyebutan Kitab Kuning sendiri merujuk dari wujud fisik kitab-kitab klasik tersebut. Lantaran memang kertas-kertas berbagai kitab klasik tersebut memiliki warna kekuning-kuningan.
Isi dari Kitab Kuning di antaranya ilmu-ilmu mengenai agama Islam di antaranya syarah (kitab yang berisi komentar), hasyiyah (komentar atas komentar), kitab terjemahan, dan kitab saduran.
Aksara yang tertulis dalam Kitab Kuning adalah huruf Arab tanpa harakat. Hal tersebut membuat beberapa masyrakat di Jawa menyebut Kitab Kuning sebagai ”kitab gundul”.
Meskipun menggunakan Aksara Arab, terdapat Kitab Kuning yang berisi komentar, saduran, atau terjemahan ditulis dalam ”Arab Pego/Arab Pegon” yang merujuk pada tulisan dengan Aksara Arab namun berbahasa Jawa.
Perlu diketahui, mayoritas Kitab Kuning berupa nadhom atau syair. Hal tersebut bertujuan agar memudahkan penghafalan. Meskipun demikian, untuk membaca kitab tersebut dibutuhkan keahlian mulai dari ilmu tata bahasa Arab (nahwu dan sharaf) hingga ilmu balaghah khusus kitab dalam bentuk syair.
Martin van Bruinessen mengungkapkan bahwa kitab-kitab yang berisi inti ajaran Islam ini ditulis antara abad 10 hingga abad 15 Masehi. Beberapa kitab ditulis sebelum periode itu dan sejumlah karya juga ditulis setelah masa itu.
Namun, pada akhir abad 15 pemikiran Islam sudah mencapai puncaknya dan tidak ada perkembangan signifikan dalam tradisi penulisan kitab ini.
Dalam tradisi abad pertengahan, semua ilmu dianggap sebagai sistem pengetahuan yang terbatas karena itu penambahan pada pengetahuan yang sudah ada dianggap tidak tepat.
Karena itulah penulisan kitab-kitab ilmu pengetahuan agama Islam bisa dirangkum ke dalam 8 kategori: melengkapi yang belum lengkap, mengoreksi yang salah, menjelaskan yang belum jelas, rangkuman dari karya yang panjang, kumpulan berbagai tulisan yang terpisah namun berkaitan, penyusunan tulisan-tulisan yang tidak teratur, dan ringkasan apa yang sebelumnya belum diringkas, serta terjemahan karya-karya terdahulu.
Pengetahuan yang ditulis dalam kitab kuning adalah sudah tetap. Kalaupun ada karya-karya baru, kitab-kitab itu tetap berada dalam batas-batas yang jelas dan tidak bisa lebih dari sekadar ringkasan, penjelasan, dan komentar dari hal-hal yang sudah ditulis sebelumnya.
Hal inilah yang oleh kaum reformis dan modernis dianggap sebagai sumber kejumudan, meskipun dalam praktiknya tradisi kitab kuning jauh lebih fleksibel dari anggapan tersebut.
Tradisi penulisan kitab ini sungguhlah kaya dan tetap menjadi lentur justru karena tradisi ini tidak mempunyai tendensi untuk menjadi sama atau konsisten.
Di dalam kitab-kitab klasik ini sering dijumpai perbedaan pendapat antara kitab satu dengan kitab yang lain mengenai suatu persoalan. Pengajaran kitab kuning di pesantren berbasis pada transmisi oral (pengajaran lisan).
Teks dalam kitab-kitab tersebut dibaca keras oleh kiai kepada santrinya yang juga memegang kitab yang sama sambil membuat catatan. Kemudian kiai memberi komentar dan menjelaskan makna-maknanya.
Santri kemudian membaca kembali kitab itu sambil diperiksa bacaannya oleh kiai. Sejumlah pesantren sudah mulai mengajarkan kitab secara klasikal dan menerapkan kurikulum yang sudah standar, namun sejumlah pesantren lain tetap menerapkan metode pengajaran kitab seperti disebut di atas.
Setelah santri menuntaskan satu kitab biasanya ia akan mendapat ijazah dari kiainya dan bisa belajar kitab yang lain.