Hari Buruh 1 Mei: Praktik Outsourcing Tak Banyak Berubah Sejak Zaman Belanda

JAKARTA – Ketentuan alih daya (outsourcing) masih menjadi hal yang diperjuangkan oleh para buruh sekiranya dalam 10 tahun terakhir. Mekanisme outsourcing di Indonesia, kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, jelas sangat merugikan buruh.

Sering terjadi pelanggaran dalam pelaksanannya. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 telah membatasi hanya lima jenis pekerjaan saja yang boleh menggunakan tenaga kerja alih daya, yakni cleaning service, catering, security, driver, dan jasa penumpang perminyakan.

Namun realitasnya, banyak perusahaan penyedia jasa outsourcing yang menyediakan pekerjaan di luar ketentuan tersebut, semisal untuk posisi customer serviceteller bank, dan sejumlah posisi lainnya.

Belum lagi, minimnya jaminan sosial dan sulitnya mendapat hak pesangon ketika mengalami pemutusan hubungan kerja. Serta, pelanggaran jam kerja yang kerap terjadi.

“Buruh itu manusia, bukan robot. Butuh upah laik dan perlindungan. Tanpa itu, sama saja dengan modern slavery (perbudakan modern),” ucap Iqbal dalam keterangannya kepada VOI pada 27 April lalu.

Tuntutan buruh dalam peringatan Hari Buruh tak lepas dari persoalan ketentuan outsourcing. (Antara/Yudhi Mahatma)

Alih-alih membaik, kondisinya justru semakin tidak jelas saat ini. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Cipta Kerja memang tetap membatasi jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsource, tetapi pembatasannya diatur melalui Peraturan Pemerintah.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan akan diatur dalam peraturan pemerintah,” seperti yang tertera dalam Pasal 64 ayat 3.

Padahal sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan batasan jenis pekerjaan outsourcing diikat produk hukum setingkat UU, bukan peraturan pemerintah. Jadi makin membingungkan, bahkan merugikan buruh.

“Artinya juga, pemerintah telah memposisikan diri menjadi agen outsourcing,” kata Iqbal.

Itulah mengapa, Iqbal meminta agar pengaturan outsourcing harus pula mengacu ke kesejahteraan buruh, jangan semata untuk kepentingan pengusaha.

“Tetap gunakan aturan yang lama. Outsourcing tidak boleh untuk pekerjaan inti, melainkan hanya pekerjaan penunjang saja. Itu pun hanya 5 jenis sesuai yang tercantum dalam aturan sebelumnya,” imbuhnya.

Sejak Zaman Penjajahan

Praktek outsourcing sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda pernah membuat Peraturan Nomor 138 tentang Koeli Ordonantie ketika menggenjot hasil rempah-rempah di Deli Serdang guna mencukupi kebutuhan pasar internasional.

Sistem pada Koeli Ordonantie menggambarkan konsep outsourcing yang pada dasarnya mengumpulkan tenaga kerja, lalu dipekerjakan di suatu tempat yang membutuhkan. Dengan upah murah, pemerintah Hindia Belanda memberdayakan para buruh hingga berhasil mendorong laju investasi sektor perkebunan tembakau di Deli.

Kendati begitu, praktek tersebut tidak berkembang lebih baik. Pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk lebih menyeimbangkan antara kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha lewat sejumlah aturan.

Namun, kesan yang tercipta tetap sama. Pelaksanaan outsourcing seperti perbudakan dalam polesan hubungan kerja modern karena pengawasannya sangat lemah sehingga masih banyak penyimpangan yang terjadi.

Berbeda dengan negara-negara maju seperti Jerman, Kanada, atau Jepang yang sudah jauh lebih baik. Mereka mampu memberikan upah laik untuk para buruh outsource. Para buruh pun, menurut Triyono dalam jurnal ‘Outsourcing Dalam Perspektif Pekerja dan Pengusaha’, mendapat berbagai jaminan sosial dari pemerintah seandainya terkena PHK.

Selain outsourcing, para buruh dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2023 juga mempersoalkan hal lain seperti upah murah, pesangon rendah, PHK dipermudah, dan tenaga kerja asing. (Antara)

Pada akhirnya, iklim investasi bisa berjalan kondusif, jumlah pengangguran minim, dan kesejahteraan masyarakat meningkat.

Seperti ada ikatan yang saling menguntungkan. Buruh lebih mudah mencari pekerjaan yang cocok. Di sisi lain, perusahaan pun tak perlu repot lagi mencari karyawan yang kompeten dan lebih mudah menggantinya ketika sudah tidak produktif. Sehingga, dapat meminimalisasi risiko operasional perusahaan.

Itulah yang harus dibenahi. Pemerintah Indonesia harus melihat permasalahan ini secara komprehensif agar dapat memberikan solusi yang tepat dan berimbang. Sehingga, buruh dan pengusaha dapat tenang dalam bekerja dan berusaha. Pada akhirnya, iklim investasi akan berkembang dan bersinergi dengan ketenagakerjaan.

“Perlindungan bagi buruh sangat penting. Selain itu, jaminan kestabilan keamaan dan kepastian hukum juga tak kalah penting sebagai perlindungan untuk pengusaha,” kata Triyono seperti disarikan dari jurnalnya di laman LIPI.