Usai Kesepakatan yang Dijembatani China, Presiden Iran Terima Undangan Raja Salman untuk Kunjungi Arab Saudi

JAKARTA - Presiden Iran Ebrahim Raisi menerima undangan dari Raja Salman dari Arab Saudi untuk mengunjungi kerajaan tersebut, menyusul kesepakatan rekonsiliasi antara kedua negara, seorang pejabat Iran mengatakan.

"Dalam sebuah surat kepada Presiden Raisi... Raja Arab Saudi menyambut baik kesepakatan antara kedua negara bersaudara ini (dan) mengundangnya ke Riyadh," tulis Mohammad Jamshidi, wakil kepala staf Presiden Iran untuk urusan politik, yang menambahkan pada pesan Hari Minggu, "Presiden Raisi menyambut baik undangan tersebut," dilansir dari Al Jazeera 20 Maret.

Kedua negara berpengaruh di kawasan ini mengumumkan pada tanggal 10 Maret, kesepakatan untuk memulihkan hubungan tujuh tahun setelah terputus, yang ditengahi oleh China.

Riyadh memutuskan hubungan setelah para pengunjuk rasa Iran menyerang misi diplomatik Arab Saudi pada tahun 2016, menyusul eksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr oleh Saudi, satu dari serangkaian titik api antara dua rival regional yang telah lama berseteru ini.

Kesepakatan ini diharapkan dapat membuat Iran yang mayoritas Syiah dan Arab Saudi yang mayoritas Muslim Sunni, membuka kembali kedutaan besar dan perwakilan mereka dalam waktu dua bulan, mengimplementasikan kesepakatan kerja sama keamanan dan ekonomi yang telah ditandatangani lebih dari 20 tahun yang lalu.

Terpisah, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan pada Hari Minggu, kedua negara telah sepakat untuk mengadakan pertemuan antara para diplomat tinggi mereka. Ia menambahkan, tiga lokasi untuk pembicaraan tersebut telah diusulkan, tanpa menyebutkan secara spesifik di mana.

Penandatanganan pemulihan hubungan Arab Saudi dengan Iran di China. (Twitter/@zhang_heqing)

Amir-Abdollahian menekankan "bahwa kedua negara bertukar tim teknis untuk memeriksa kedutaan besar di Teheran dan Riyadh dan melihat apakah mereka siap untuk kedua misi yang akan dikirim ke sana".

Detente antara Arab Saudi, eksportir minyak terbesar di dunia, dengan Iran, yang sangat berselisih dengan pemerintah-pemerintah Barat terkait aktivitas nuklirnya, memiliki potensi untuk membentuk kembali hubungan di seluruh wilayah yang ditandai dengan pergolakan selama beberapa dekade

Iran dan Arab Saudi mendukung pihak-pihak yang saling berseteru di beberapa zona konflik, termasuk Yaman, di mana pemberontak Houthi bersekutu dengan Teheran dan di mana koalisi militer yang mendukung pemerintah dipimpin oleh Riyadh.

Kedua belah pihak juga bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Suriah, Lebanon, dan Irak.

Diketahui, sejumlah negara Teluk mengikuti langkah Riyadh pada tahun 2016 dan mengurangi hubungan dengan Teheran, meskipun Uni Emirat Arab dan Kuwait baru-baru ini memulihkan hubungan mereka.

Amir-Abdollahian mengatakan, Iran juga berharap akan ada langkah-langkah yang diambil untuk menormalkan hubungannya dengan Bahrain, sekutu dekat Saudi yang mengikuti Riyadh dalam memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada tahun 2016.

Di masa lalu, Bahrain menuduh Iran telah melatih dan mendukung pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok Syiah di kerajaan yang diperintah oleh Sunni ini untuk menggulingkan pemerintah Manama. Teheran membantah hal ini.

"Sebuah kesepakatan telah dicapai dua bulan lalu bagi delegasi teknis Iran dan Bahrain untuk mengunjungi kedutaan besar kedua negara. Kami berharap bahwa beberapa hambatan antara Iran dan Bahrain akan dihilangkan dan kami akan mengambil langkah-langkah dasar untuk membuka kembali kedutaan besar," harap Amir-Abdollahian.

Tidak ada komentar langsung dari Manama. Diketahui, Bahrain, bersama dengan negara-negara Arab Teluk lainnya, menyambut baik kesepakatan antara Riyadh dan Teheran untuk memulihkan hubungan.