Tak Ada yang Istimewa dari Pidato Politik AHY: Retorika, Tanpa Pemikiran Revolusioner
JAKARTA – Secara isi tak ada yang istimewa dari Pidato Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada 14 Maret lalu menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang Hutri Agustino. Kritik yang dilontarkan AHY dalam pidato tersebut sebenarnya hanya pengulangan saja.
Banyak masyarakat, terutama kalangan akademisi sudah cukup memahami permasalahan yang membelit Indonesia saat ini. Seperti masalah hutang yang naik tiga kali lipat dalam delapan tahun terakhir pemerintahan Jokowi.
“Apakah ada Presiden yang tidak pernah utang? Saya rasa tidak ada satupun rezim kekuasaan yang tidak menambah utang atau menambah jumlah rasio utang kepada PDB, semua menambah,” kata Hutri kepada VOI pada 17 Maret 2023.
Contoh saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), total utang pada 2007 Rp1.389,41 triliun, kemudian pada akhir jabatannya pada 2014 meningkat menjadi sekitar Rp2.608,78 triliun.
Sama halnya pada era Jokowi. Namun memang peningkatannya sangat drastis, mencapai Rp7.754,98 triliun pada awal tahun 2023.
Lalu terkait isu perpanjangan masa jabatan presiden dan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Sudah banyak kalangan yang mengkritisi ini.
Perpanjangan masa jabatan presiden menyalahi undang-undang. Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra sampai memberikan catatan berisi pertimbangan dan solusi tekait isu perpanjangan masa jabatan Presiden.
Begitu pula terkait sistem proporsional tertutup. Banyak partai politik lain yang sudah menyatakan penolakannya.
Sehingga, Hutri menilai pidato tersebut hanya cara Partai Demokrat mencari penalaran politik untuk menaikkan elektabilitas partai maupun elektabilitas para kadernya.
“Ini hal yang biasa dilakukan dalam kancah politik jelang pelaksanaan Pemilu. Isu-isu itu krusial untuk dimainkan oleh Partai Demokrat yang saat ini berada di luar kekuasaan atau oposisi,” ucap Hutri.
Namun yang menjadi catatan, kritikan AHY tersebut seolah melanjutkan kembali perseteruan antara kedua partai yang sebenarnya berawal dari masing-masing figur utamanya.
Baca juga:
“Ya semua sudah mengetahui hubungan panas dingin antara SBY dan Megawati. Kedua partai saling kritik. Dulu, zaman SBY, PDIP kritik habis-habisan ketika SBY menaikkan harga BBM. Toh saat PDIP berkuasa hal yang sama juga dilakukan. Sekarang AHY mengkritik, apakah ada jaminan kritikan itu tidak dilakukannya ketika andaikata menang nanti,” ungkapnya.
Itulah mengapa, Hutri berpendapat politik yang ditampilkan para elite saat ini cenderung membosankan, “Tidak ada solusi yang paling revolusioner terhadap ragam persoalan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita alami. Persoalan korupsi saja tidak kunjung beres hingga sekarang.”
Membentuk Manusia
Persoalan paling krusial yang dihadapi Indonesia saat ini bagaimana membentuk manusia yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Upaya ini tentu dapat dicapai lewat kinerja pendidikan. Namun yang harus dipahami, hakikat pendidikan bukan sekadar pemberian ilmu pengetahuan, yang lebih penting adalah pembentukan karakter dan perilaku insan yang bermartabat.
Sehingga, nantinya dapat muncul para tokoh berintegritas yang memiliki pemikiran revolusioner.
Integritas, seperti dilansir dari Gramedia Blog, adalah suatu konsep yang berkaitan dengan perilaku, nilai, metode, sarana, prinsip, harapan, dan keterpaduan berbagai hasil. Orang yang memiliki integritas berarti memiliki kepribadian yang jujur dan kuat.
Kejujuran dalam hal ini bukan hanya omongan, pemanis retorika, tapi juga tindakan. Orang yang berintegritas tidak memiliki kedok tertentu atau tujuan lain selain apa yang diperlihatkan.
Berperilaku sesuai dengan apa yang diucapkan dan memiliki konsistensi antara apa yang diimani dan kelakuannya, serta konsistensi antara nilai hidup yang dianut dan hidup yang dijalankan.
Lazimnya orang yang berintegritas memiliki kepribadian bisa dipercaya dan jujur, memiliki komitmen, bertanggung jawab, menepati ucapannya, setia, menghargai waktu, dan memiliki prinsip pada nilai-nilai hidup.
Sehingga, Hutri menilai, “Infrastruktur penting, tetapi pembangunan manusia lebih penting dan harus diprioritaskan seiring berjalan. Bagaimana mungkin kita akan menatap 2045 generasi emas, berbicara tentang bonus demografi kalau manusianya tidak disiapkan.”
Semoga anggaran besar di sektor pendidikan yang mencapai Rp621,3 triliun atau 20 persen dari APBN pada 2022 bisa memberikan hasil maksimal. Bisa melahirkan sosok-sosok pemimpin masa depan yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju.