Polemik Impor Kereta Rel Listrik Bekas dari Jepang: Perencanaan Peremajaan Armada yang Tidak Matang
JAKARTA – Pembelian Kereta Rel Listrik (KRL) bekas dari Jepang oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menuai polemik. Kementerian Perindustrian tegas menolak. Mengapa harus impor bila ada perusahaan dalam negeri yang mampu memproduksi kereta?
Sejumlah negara seperti Bangladesh, Filipina, Tanzania, dan Zambia mau menggunakan jasa PT Industri Kereta Api (INKA) untuk memenuhi kebutuhan kereta mereka.
Prosesnya memang membutuhkan waktu 2-3 tahun, tetapi ini bukan masalah selama ada perencanaan yang terstruktur sejak beberapa tahun sebelumnya.
“Kalau mendadak memang pasti sukar, seharusnya sudah direncanakan jauh-jauh hari dan memberi kesempatan kepada industri dalam negeri untuk berproduksi,” ucap Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Dody Widodo seperti dilansir dari Antara.
Sehingga, ketika kereta memasuki usia usang, sudah ada kereta baru sebagai penggantinya.
Tidak seperti saat ini, KCI pada 9 Maret 2023 memang telah menandatangani kontrak pembelian 16 trainset Kereta Rel Listrik dari PT INKA. Namun kereta baru rampung sekitar 2-3 tahun, sementara 10 trainset sudah memasuki usia usang tahun ini dan 19 trainset lainnya pada 2024.
Sebagai solusi, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita akan melakukan penambahan teknologi atau fitur baru pada kereta lama atau retrofit.
“Prosesnya masih dalam audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Nanti kita lihat dari hasil audit berapa banyak yang bisa kita retrofit. Kalau kemampuan retrofitnya juga terbatas, maka pilihannya retrofit dan impor. Intinya, kita tetap memprioritaskan untuk retrofit,” kata Agus kepada awak media pada 9 Maret 2023.
Agus sebelumnya juga telah menekankan impor KRL bekas dari Jepang tidak boleh terulang lagi. Perencanaan kebutuhan kereta api seharusnya lebih terstruktur dan sistematis, jangka menengah dan jangka panjang.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja sudah menegaskan agar semua BUMN memperbesar tingkat komponen dalam negeri. Jangan sampai masih memakai barang-barang impor.
Kelebihan dan Kekurangan
Pengajar teknik sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno pun berpendapat memproduksi sendiri sarana perkeretaapian memang mahal di awal, tetapi lebih murah dalam perawatannya. Sebaliknya, harga impor kereta memang lebih murah, tetapi mahal dalam perawatannya.
Harga pembelian 16 trainset baru dari PT INKA hampir Rp4 triliun. Sedangkan harga pembelian 10 trainset KRL bekas dari Jepang hanya Rp150 miliar. Memang, meski bekas, usia pakai kereta masih bisa sampai 15 tahun.
“Tapi, pegawai PT KCI yang setiap hari merawat commuter line pada mengeluh cari suku cadangnya sudah tidak diproduksi di Jepang akhirnya harus melakukan kanibal,” ucap Djoko kepada VOI pada 10 Maret 2023.
Belum lagi mengenai fasilitas penumpang. Tetap butuh penyesuaian. Kereta di Jepang dilengkapi fasilitas penyejuk dan penghangat ruangan, di Indonesia yang dibutuhkan adalah penyejuk ruangan.
“Jadi tetap butuh waktu berbulan-bulan untuk menyesuaikan ulang sebelum kereta beroperasi,” tambahnya.
Yang lebih fundamental adalah sikap cinta Tanah Air. Dengan menggunakan produk buatan Indonesia, memperlihatkan kebanggaan terhadap produk-produk dalam negeri.
“Tandanya kita cinta. Mencintai produk dalam negeri berarti membeli, menggunakan, dan memanfaatkan produk buatan perusahaan atau kelompok usaha lokal Indonesia,” ujarnya.
Djoko memahami pilihannya saat ini tidak mudah. Bila kereta yang usang tidak dioperasikan, akan banyak penumpang KRL commuter line yang terlantar. Bila dioperasikan, keselamatan penumpang bisa terancam.
Dalam sektor transportasi, keselamatan merupakan hal yang utama harus diperhatikan dan tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga, meski terpaksa impor, Djoko berharap ini hanya menjadi solusi sementara.
“Impor yang penting jangan kebablasan, sama saja kurang menghargai produk dalam negeri dan kemampuan bangsa sendiri,” ucapnya.
Sejak Tahun 2000
Indonesia sudah kepincut produk kereta bekas Jepang sejak tahun 2000. Awalnya, Jepang menghibahkan KRL Toei seri 6000 sebanyak 72 unit. Meski sudah beroperasi selama 32 tahun di negara asalnya, kereta ini terbukti masih layak pakai dan dapat bertahan selama 16 tahun.
Sangat berbeda dengan kereta impor asal Jerman dan Belanda yang sudah lebih dulu ada di Indonesia, namun lebih rentan kerusakan.
Lalu, seiring jumlah pengguna kereta yang kian meningkat, Indonesia pada 2004 mengimpor kereta bekas seri 103 yang dibuat sekitar 1966-1967. Selain awet, harga kereta bekas asal Jepang juga jauh lebih murah dibanding harga kereta-kereta bekas asal Eropa.
Harga murah tentu menjadi pertimbangan khusus mengingat tarif moda transportasi kereta yang berlaku di Indonesia ketika itu hanya Rp2.000. Sehingga, bisa menyesuaikan Public Service Obligation (PSO).
Namun kini, setelah PT KCI memutuskan membeli kereta baru, Djoko yakin struktur PSO dan tarif KRL Commuter Line harus dievaluasi karena nilai pembelian yang mencapai Rp4 triliun tentu memberikan dampak finansial terhadap PT KCI.
“Jangan sampai tarif tidak pernah naik, padahal Biaya Operasional (BIOP) kereta api setiap tahun bertambah. Berapa besar subsidi yang harus dikeluarkan,” imbuh Djoko.
Penumpang kereta diproyeksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2022 saja, jumlah pengguna commuter line di Jabodetabek mencapai 215,05 juta orang.
Sementara, tarif commuter line masih mengacu ke Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2016. Tarif perjalanan KRL Jabodetabek 1-25 km pertama Rp3.000/orang dengan tarif PSO Rp3.250 dan tarif operator Rp6.250.
Sedangkan untuk tarif 10 km berikutnya (berlaku kelipatan) Rp1.000 per orang, tarif PSO Rp1.500 dan tarif operator Rp2.500.