Polemik Perubahan Jam Masuk Sekolah di NTT: Cara Ekstrem Mengejar Ketertingalan Kualitas Pendidikan

JAKARTA – Penerapan perubahan jam masuk sekolah dari pukul 07.00 WITA menjadi pukul 05.00 WITA di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menuai polemik. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Yosef Hilarius Timu Pera menilai perubahan itu tentu akan berdampak ke perilaku lainnya.

Terlalu pagi untuk memulai waktu sekolah meski hanya diberlakukan bagi pelajar Sekolah Menengah Umum dan Kejuruan.

“Bila anak masuk pukul 05.00 WITA, berarti orangtua juga harus sudah siap-siap dua jam atau satu setengah jam sebelumnya. Untuk menyiapkan sarapan, camilan, agar saat berangkat perut anak tidak dalam kondisi kosong,” kata Yosef kepada VOI pada 28 Februari 2023.

“Kalau ada asisten rumah tangga mungkin tidak masalah. Namun, kalau tidak, ini tantangan berat bagi orangtua, terlebih untuk orangtua yang bekerja sebagai pegawai,” Yosef melanjutkan.

Belum lagi dengan kondisi anak sebagai peserta didik. Menurut Yosef, jangan disamakan dengan boarding school, seperti pelajar yang ada di seminari atau pesantren

“Kalau boarding school itu memang total institution, anak tinggal di asrama. Tidak terpengaruh dengan pola asuh orangtua, sekolah bisa menerapkan aturan sendiri. Namun kalau sekolah umum, ini berkaitan dengan aktivitas lainnya,” tuturnya.

Simulasi UNBK 2018 di salah satu SMA di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. (Antara/Kornelis Kaha)

Kendati begitu, kata Yosef, bukan berarti menolak, terlebih tujuannya baik untuk mendisiplinkan anak. Namun, ada baiknya penerapan perubahan jam masuk sekolah tersebut disesuaikan kembali.

“Pukul 06.00 menurut saya lebih bisa diterima. Tentunya dengan tahap ujicoba dalam periode waktu tertentu, dan dievaluasi. Kalau pukul 05.00 agak ekstrem,” ucap Yosef.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengungkap hal sama. Perubahan jam masuk sekolah tersebut tentu akan berdampak dengan instrumen lainnya, termasuk juga transportasi dan keamanan anak saat menuju sekolah.

Apakah Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat sudah menyiapkan faktor pendukungnya? Sebab, dari hasil jajak pendapat yang dilakukan FSGI, banyak orangtua dan guru yang mengeluh dan tidak setuju.

“Terutama, menyangkut keamanan anak, transportasi sulit pada pagi hari. Kalau masuk jam 5, setengah jam sebelumnya anak harus sudah siap berangkan. Faktor lain juga mengenai kesiapan orang tua di rumah seperti menyediakan sarapan, dan berbagai pertimbangan kesehatan anak,” ucap Retno dalam keterangan tertulis yang diterima VOI pada 28 Februari 2023.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga meminta Pemprov Nusa Tenggara Timur mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.

Dampak lain yang menjadi kekhawatiran juga mengenai jadwal tidur anak. Tidur merupakan kebutuhan, setara dengan kebutuhan dasar lainnya seperti makan dan bernapas. Saat tidur, tubuh akan memperbaiki diri, baik secara fisik maupun mental, sehingga seseorang merasa segar dan berenergi saat bangun serta siap menjalani aktivitas.

Bila itu terganggu, akan mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhan otak, pada akhirnya mempengaruhi juga prestasi belajar mereka.

Studi membuktikan anak-anak yang kurang istirahat cenderung memiliki mood tidak stabil, mudah marah, sulit konsentrasi ketika melakukan sesuatu dan mengalami penurunan kemampuan belajar ketika di sekolah.

“Tidak hanya untuk saat ini, kemampuan belajarnya bertahun-tahun ke depan juga bisa ikut terpengaruh,” ucap Retno.

Idealnya, anak membutuhkan waktu tidur sekitar 8-10 jam setiap hari. Ini penting bagi tumbuh kembang anak sampai berusia 18 tahun.

“Atas dasar itulah, kami meminta Pemprov NTT mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut karena sangat membahayakan tumbuh kembang anak, sebaiknya dibatalkan karena tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,” Sekjen FSGI, Heru Purnomo menambahkan.

Harapan Gubernur NTT

Viktor Bungtilu Laiskodat berasumsi, kebijakan jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA untuk mengejar ketertinggalan Sumber Daya Manusia di NTT. Hanya fokus ke SMA Negeri 1 Kupang dan SMA Negeri 6 Kupang.

Ternyata, dalam prosesnya ada sepuluh sekolah lain yang siap mengikuti kebijakan tersebut.

“Ya sudah coba saja. Kami juga masih menunggu laporan dari Kepala Dinas terkait kesanggupan para pelajar di sekolah lain yang ikut serta. Namun, kalau untuk SMA 1 dan SMA 6 tetap akan jalan terus,” ucapnya kepada awak media di aula Center Sinode GMIT pada 28 Februari 2023.

Dengan perubahan jam masuk sekolah tersebut, Laiskodat berharap akan lebih banyak lagi lulusan SMA Negeri 1 Kupang dan SMA Negeri 6 Kupang yang mampu masuk ke sejumlah universitas ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, atau bahkan bisa tembus ke Harvard.

“Tentunya, seiring jalan, kami juga akan melakukan evaluasi. Keamanan, kendaraan umum, penerangan jalan akan mendapat perhatian. Kami akan bekerjasama dengan kepolisian untuk terus melanjutkan kebijakan itu,” ujarnya.

Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat. (Antara/ Benny Jahang)

Intinya, Pemprov NTT serius membangun pendidikan demi menciptakan generasi unggul yang mampu menjadi pemimpin masa depan dan membawa Indonesia menjadi negara maju. Terlebih 50 persen APBD NTT dialokasikan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT.

Semua harus bekerja dengan cinta. Tanpa cinta, pendidikan di NTT tidak akan maju.

“Kita sudah terlalu jauh tertinggal dari daerah-daerah lain, jadi kita tidak bisa bekerja dengan cara yang biasa-biasa saja,” ucap Laiskodat ketika kunjungan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT.

“Saya minta kualitas pendidikan diperhatikan dan diawasi betul. Begitu juga dengan hal lainnya, mulai dari dinas pendidikannya, pengelola dan penanggungjawab pada masing-masing bidang pendidikan, terlebih yang berkaitan dengan kualitas dan mutu pendidikan,” lanjut Laiskodat.

Terkait pro dan kontra dari kebijakan perubahan, kata Laiskodat, itu hal biasa, “Tidak ada perubahan di dunia ini tanpa ada pro dan kontra.”

Kualitas Guru

Sejatinya, keberhasilan pendidikan utamanya bergantung kepada kualitas guru atau pengajar. Sarana dan prasarana, seperti kurikulum dan pelaksanaan jam pelajaran hanyalah masalah teknis.

Sehingga, bila tujuannya ingin menghasilkan generasi unggul, hal terpenting tentu memperbaiki kualitas guru. Saat ini, menurut Wangsih Mutiar Fitri Dewi, guru lazimnya selalu sibuk melengkapi diri dengan kemampuan akademik atau hard skills, kadangkala mereka lupa mengembangkan kompetensi kepribadian dan sosialnya atau soft skills.

Tak heran, bila kepribadian para guru rentan terserang beragam penyakit. Seperti THT (tukang hitung transport), hipertensi (hiruk persoalkan tentang sertifikasi), kudis (kurang disiplin), dan dan asma (asal masuk).

Lalu, sembelit (selalu malas membaca literatur), asam urat (asal mengajar, kurang akurat), kusta (kurang strategi), kurap (kurang rapi persiapan), kutil (kurang terampil, mual (mutu amat lemah), dan gaptek (gagap teknologi).

“Kepribadian terkait dengan sikap dan memiliki peran penting dalam konteks mendidik. Di antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap, sikap lah yang menentukan segala-galanya,” tulis Wangsih dalam bukunya ‘Kredo Seorang Guru’.

Orang yang memiliki sikap positif selalu melihat peluang, sedangkan orang yang memiliki sikap negatif selalu melihat kesulitan dalam setiap peristiwa. Begitu pula guru, akan menjadi baik bila senantiasa menggunakan kacamata positif dalam setiap sepak terjangnya, baik dalam menghadapi murid, rekan-rekan guru, maupun tugasnya sebagai pendidik.

Sebab, mendidik bukanlah memaksakan kehendak. Mendidik adalah menciptakan lingkungan yang membuat anak didik merasa dahaga, haus akan ilmu pengetahuan.

Itulah mengapa, tidak hanya akademik, guru juga harus memiliki sikap cekatan, optimis, disiplin, respek, humoris, bersahabat, fleksibel, inspiratif, lembut, responsif, dan empatik.

“Sehingga, guru dapat menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan anak dapat mengembangkan potensinya,” imbuh Wangsih.