Instruksi Mendagri Soal Pelayanan Umat Khonghucu di Catatan Sipil dalam Sejarah Hari Ini, 24 Februari 2006

JAKARTA – Sejarah hari ini, 17 tahun yang lalu, 24 Februari 2006, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mohammad Ma’ruf mengeluarkan instruksi kepada semua jajarannya untuk tulus melayani segala keperluan administrasi umat Khonghucu. Ia ingin semua jajarannya melayani masyarakat tanpa pandang bulu.

Sebelumnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah berkomitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan di Indonesia. Empunya kuasa menganggap tiada tempat bagi mereka yang membenci keberagaman.

Keberagaman kerap dianggap sebagai letak kebesaran bangsa Indonesia. Fakta itu telah hadir sejak dulu kala. Segala macam suku bangsa dan agama dapat hidup berdampingan dalam damai. Namun, kondisi politik beberapa kali mengganggu kedamaian. Era Orde Baru (Orba), misalnya.

Kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap dalang Gerakan 30 September (G30S) 1965 jadi muaranya. Identitas komunis itu diyakini Orba telah diimpor dari China. Alhasil, segala macam laku hidup etnis China dibatasi karena dianggap memiliki keterkaitan dengan komunis. Mereka yang memeluk agama Konghucu, apalagi.

Semua berubah ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, hingga SBY menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia. Nama-nama itu memiliki andil besar dalam mengembalikan fitrah Indonesia sebagai negeri damai.

Salah satu pelayanan pernikahan umat agama Khonghucu di Tegal, Jawa Tengah pada 15 September 2021. (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)

Era SBY, apalagi. Komitmennya menjaga keberagaman telah digelorakannya saat dirinya resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2004. Ia mengucapkan komitmennya untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. Sekalipun ujian memimpin Indonesia semakin besar.

“Bagi bangsa yang besar, semakin berat ujian yang membebaninya akan semakin tinggi ketangguhannya, dan semakin hebat cobaan yang dialaminya akan semakin kokoh imannya. Semakin deras ia diterpa badai akan semakin kokoh rasa kesetiakawanannya. Semakin ditantang rasa kebangsaannya akan semakin kokoh rasa persatuannya. Mari kita buktikan dan bangun kebesaran kita sebagai bangsa.”

“Insya Allah, dengan kebersamaan dan kerja keras kita, kita akan mampu mewujudkan. kondisi Indonesia yang Iebih balk : Iebih aman, Iebih adil, Iebih sejahtera. Saudara sebangsa setanah air, Dengan dada yang lapang dan keyakinan yang bulat, hari ini kita membuka lembaran baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Kinilah masanya kita menyongsong fajar,” ucap SBY dalam pidatonya pelantikannya di Gedung MPR/DPR, 20 Oktober 2004.

Beberapa tahun setelahnya, Komitmen Presiden SBY diadopsi oleh Mendagri Mohammad Ma’ruf dengan membuat sebuah kebijakan bersejarah. Ma’ruf mengeluarkan Instruksi Mendagri bernomor SE 470/336/SJ pada 24 Februari 2006.

Instruksi itu menyatakan komitmen pemerintah menjaga keberagaman antar umat beragama. Ma’ruf lalu mengimbau seluruh Dinas Kependudukan hingga Kantor Catatan Sipil untuk melayani segala macam urusan administrasi umat Konghucu. Semuanya untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa besar. Pun sebagai wujud pemerintah berdiri di atas semua golongan.

Mohammad Ma'ruf saat masih aktif di kemiliteran. Ma'ruf menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri 2004-2007 dalam Kabinet Indonesia Bersatu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum digantikan Mardiyanto karena sakit. (Wikimedia Commons)

“Pada tanggal 24 Februari 2006 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran yang mengatakan memerintahkan seluruh Dinas Kependudukan, Kantor Catatan Sipil, serta yang terletak di bawah koordinasi Depdagri termasuk kantor, kecamatan, kelurahan, bahkan ketua RT/RW untuk melayani warga (agama) Khonghucu yang ingin memiliki kartu keluarga, kartu tanda penduduk, serta mencatatkan pernikahannya.”

“Sejak adanya surat edaran itu, eksistensi agama Khonghucu secara resmi diakui dalam administrasi kependudukan. Baik dalam kartu tanda penduduk, kartu keluarga, maupun pencatatan pernikahan. Kabarnya di beberapa daerah surat edaran ini segera diaplikasikan,” tertulis dalam buku Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-peristiwa Mei 1998 (2010).