Indonesia Ajukan Utang ke China Rp8,3 Triliun untuk Tambal Proyek Kereta Cepat

JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mengajukan pinjaman sebesar 550 juta dolar AS atau setara dengan Rp8,3 triliun (asumsi kurs Rp15.235 per dolar) ke China Depelovment Bank (CDB).

Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa pinjaman ini akan digunakan untuk menambal pembengkakan biaya atau cost overrun proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia-China sudah sepakat mengenai besaran nilai pembengkakan biaya proyek KCJB sebesar 1,2 miliar dolar atau sekitar Rp18,2 triliun.

“Nah nanti porsi loan yang kita butuhkan sekitar 550 juta dolar pinjamannya sedang kita ajukan ke CDB,” katanya di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 13 Februari.

Dari pinjaman tersebut, Tiko sapaan akrab Kartika mengatakan Kementerian BUMN akan membentuk struktur final dan harganya. Di mana, pinjaman akan masuk dalam utang PT KAI (Persero).

“Harusnya dalam 2 minggu ke depan kita akan punya struktur final dan harganya, itu ke KAI nanti loan-nya (pinjaman) dan diturunkan dalam bentuk ekuitas ke KCIC,” ujarnya.

Selain bersumber dari utang, anggaran proyek KCJB akan ditambal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun anggaran 2022. Dari skema yang ditetapkan, 75 persen cost overrun ditutupi dengan pinjaman.

Sementara, sisanya sebesar 25 persen dari total cost overrun berasal dari anggaran konsorsium Indonesia, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium China Railway International Co. Ltd. Salah satunya, PMN senilai Rp3,2 triliun.

Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir meminta semua pihak tak mengaitkan pembengkakan biaya atau cost overrun proyek KCJB dengan dugaan korupsi.

“Tapi gini jangan diputar balikan juga, seakan-akan cost overrun ini ada korupsinya,” katanya.

Erick menjelaskan bahwa pembengkakan biaya proyek KCJB ini juga tak telepas dari dampak pandemi COVID-19.

“Ingat loh apapun yang terjadi pada saat COVID itu kan tetap pembangunan harus dijalankan. Tetapi tidak bisa maksimal karena situasi COVID udah pasti ada cost-nya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Erick mengatakan bahwa pada saat awal COVID-19 lalu, rantai pasok atau supply chain terganggu. Kondisi ini, kata Erick, membuat harga komoditas meningkat.

“Lalu kita lihat juga pada saat COVID supply chain rantai pasok sangat terganggu. Artinya apa? Harga komoditas-komoditas tinggi termasuk besi. Itu ada masuk ke komponen cost overrun. Nah ini yang penting supaya teman-teman berasumsi seakan-akan ada isu korupsi,” katanya.