Memahami Pleidoi Sebagai Hak Ferdy Sambo dan Para Terdakwa untuk Meyakinkan Hakim

JAKARTA – Para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat telah menyampaikan pleidoi atau nota pembelaannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terdakwa Ferdy Sambo, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf pada 24 Januari 2023, sementara terdakwa Richard Eliezer dan Putri Candrawathi pada 25 Januari 2023. Lantas, apa itu pledoi?

Pleidoi, menurut pengamat hukum dari Universitas Mataram, Farizal, merupakan hak terdakwa. Berisi tangkisan atau tanggapan atas tuntutan jaksa penuntut umum.

“Pleidoi dibuat runut mulai dari apa yang disampaikan di persidangan hingga apa yang telah terbukti di persidangan berdasarkan dari uraian fakta yang terungkap. Bermula dari kata-kata pembukaan, seperti kepada yang terhormat majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan lainnya,” kata Farizal kepada VOI, Rabu (25/1)

Isi pleidoi berlanjut ke uraian alasan terdakwa melakukan tindakan pidana dan latar belakang terdakwa melakukan tindakan pidana. Kemudian penjabaran uraian fakta persidangan dan uraian bukti dan saksi. Terakhir, kata Farizal, “Harapan dari terdakwa dan penasihat hukum terhadap tuntutan jaksa penuntut umum.”

Lewat pleidoi menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, terdakwa berupaya meyakinkan hakim terkait tepat atau tidaknya tuntutan hukum yang telah disampaikan jaksa penuntut umum.

Terdakwa Ferdy Sambo bersiap menjalani sidang perdana kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 Oktober 2022. (Rizky Adytia Pramana/VOI)

Semisal di pleidoi Ferdy Sambo yang berjudul Setitik Harapan dalam Ruang Sesak Pengadilan. Dia terus membela diri bahwa perbuatan pidana yang dilakukannya merupakan respon dari perbuatan lain yang dialami sebelumnya, yakni perbuatan yang telah mencederai harkat martabatnya sebagai suami, laki-laki, dan pimpinan.

“Pada tanggal 8 Juli 2022 istri saya yang terkasih Putri Candrawati tiba dari Magelang dan menyampaikan bahwa dirinya telah diperkosa oleh almarhum Yosua sehari sebelumnya di rumah kami di Magelang. Istri saya Putri Candrawati terus menangis sambil menceritakan bagaimana kejadian yang telah dialaminya tersebut. Tidak ada kata-kata yang dapat saya ungkapkan saat itu dunia serasa berhenti berputar, dan rasa yang mendidih hati saya bergejolak otak saya kusut membayangkan semua cerita itu,” penggalan isi pleidoi Ferdy Sambo.

Kendati penuh rasa marah, Ferdy Sambo menyangkal telah memberikan instruksi kepada ajudannya, terdakwa Richard Eliezer untuk membunuh Yosua. Rekayasa menutupi kasus juga dilakukan hanya untuk melindungi Richard.

Namun yang terjadi justru masyarakat seolah memposisikannya sebagai penjahat terbesar sepanjang sejarah manusia. Dituding pula sebagai bandar narkoba, judi, dan lainnya.

Ferdy Sambo, di alur penutup nota pembelaannya, kemudian menunjukkan jejak rekamnya sebagai anggota Polri yang tidak pernah melakukan pelanggaran pidana, disiplin, maupun kode etik. Bahkan, dia membeberkan sederet penghargaan yang telah diterima mulai dari bintang Bhayangkara Pratama dari Presiden dan 6 pin emas Kapolri atas pengungkapan berbagai kasus penting di kepolisian.

“Ya, poinnya untuk meyakinkan hakim agar dia dapat keringanan hukuman, dari human penjara seumur hidup tuntutan jaksa. Memang itu fungsi pleidoi. Adapun judul pleidoi, itu hanya kembang-kembangnya saja. Tidak substantif,” kata Fickar kepada VOI, Rabu (25/1).

Terdakwa Putri Candrawathi (tengah) saat menjalani persidangan. (VOI/Irfan Meidianto)

Begitupun isi pleidoi Putri Candrawathi yang berjudul, Jika Tuhan Mengizinkan, Saya Ingin Kembali Memeluk Putra-Putri Kami. Dari judulnya saja terlihat jelas pembelaan Putri. Seolah menjadi harapan kepada hakim agar mempertimbangkan perannya sebagai ibu yang memiliki 4 anak.

“Saya dan suami memiliki empat orang anak. Semuanya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang orangtua, apalagi dari seorang ibu. Anak bungsu kami masih berusia 1 tahun 10 bulan, dan kakak-kakaknya masih sekolah. Mereka tentu memerlukan kehadiran seorang Ibu di samping mereka,” penggalan isi pleidoi Putri Candrawathi.

Putri, dalam isi pleidoinya, juga tersirat meminta hakim melepaskannya dari tuntutan pidana. Putri tetap teguh menyatakan sebagai korban kekerasan seksual dan penganiayaan yang dilakukan oleh Yosua. Dia pun mengaku tidak pernah sedikitpun menginginkan, menghendaki, merencanakan, ataupun melakukan perbuatan bersama-sama untuk menghilangkan nyawa Yosua.

Hak Prerogatif

Bagaimanapun, hakim memiliki hak prerogatif untuk memvonis seorang terdakwa bersalah atau tidak, termasuk juga pengenaan hukuman berdasarkan keyakinannya. Tentu, kata Fickar, dengan melihat dan menganalisis fakta-fakta persidangan.

Pada akhirnya, hakim boleh mengambil tiga alternatif putusan. Menerima seluruh pleidoi terdakwa (dan menghukum ringan terdakwa), menerima sebagian pleidoi terdakwa (mempertimbangkan dan mengurangi jumlah hukuman yg akan dijatuhkan), menolak seluruh pleidoi itu (tidak mempertimbangkan dan mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum seluruhnya, dan menghukum terdakwa.

Dasarnya adalah Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang RI No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Menggali Fakta

Dalam praktik persidangan, menurut hakim Binsar M. Gultom, ada kalanya tidak satu pun alat bukti primer (saksi mata) yang melihat langsung peristiwa pidana. Namun, bukan berarti hakim menyerah begitu saja lalu membebaskan terdakwa dari jeratan hukum. Hakim harus terus menggali fakta yang terjadi di persidangan dari berbagai sudut pandang sesuai keyakinan hakim melalui petunjuk dan pengamatan, serta aturan hukum yang berkembang dan berlaku.

Dari rangkaian penggalian fakta hukum, juga ada kalanya terdakwa berdalih bukan dirinya sebagai pelaku peristiwa pidana. Menurut Binsar, hakim harus bisa memprediksi bahwa kualitas nilai pembuktian kesaksian terdakwa lebih rendah daripada alat-alat bukti lain, seperti keterangan saksi, keterangan ahli dan surat pentunjuk.

“Mengapa demikian? Karena menurut Pasal 189 ayat 3 KUHAP keterangan terdakwa hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Walau terdakwa acap kali menyangkal dirinya sebagai pelaku peristiwa pidana atau mungkin mengakui perbuatan itu, tetapi hakim tidak boleh begitu saja percaya atas pengakuan terdakwa,” menurut Binsar dalam buku ‘Pandangan Kritis Seorang Hakim’.

Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso memimpin sidang pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Antara/Muhammad Adimaja)

Hakim harus mempertimbangkan dan menganalisis keterangan itu secara komprehensif serta menghubungkannya dengan alat-alat bukti dan barang bukti yang ada.

“Ketika menurut hakim terdakwa adalah bohong, hal itu adalah hak terdakwa, hakim pun tidak boleh sama sekali memaksa terdakwa supaya mengakui perbuatannya. Biarkan saja ia berbicara apa adanya. Namun, suara perasaan hakim harus bisa berbicara melalui petunjuk dan pengamatan selama dalam persidangan,” menurut Binsar, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta dalam bukunya tersebut.