Bagikan:

JAKARTA – Prevalensi stunting Balita Indonesia, berdasar hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, mencapai 24,4 persen pada 2021. Artinya, hampir 1 dari 4 Balita mengalami stunting. Memang jumlah ini menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, tetapi menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, belum memuaskan.

“Masih jauh dari target sebesar 14 persen sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” ucapnya dalam Seminar Media IDAI bertema ‘Peranan Protein Hewani dalam Mencegah Stunting di Indonesia’ secara daring, Selasa (24/1).

Di beberapa provinsi, prevalensi stunting Balita, seperti di Aceh, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat bahkan masih di atas 30 persen.

Ini bukanlah masalah sepele, mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia ke depannya. Terlebih, pada 2045, 70 persen penduduk Indonesia adalah usia produktif berkisar dari 16-65 tahun. Siapkah Indonesia memanfaatkan bonus demografi ini?

Stunting adalah perawakan pendek akibat kekurangan gizi kronis pada Balita. Ketua Satgas Stunting IDAI Damayanti Rusli Sjarif mengatakan anak dengan kekurangan gizi cenderung mengalami kenaikan berat badan yang tidak sesuai usia, atau bisa juga mengalami penurunan berat badan bila tidak ditangani dengan baik.

Ketua Satgas Stunting IDAI, Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif SpA(K) (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)

Kondisi itu tentu akan mempengaruhi banyak hal dalam tumbuh kembang anak. Antara lain penurunan daya tahan tubuh. Anak mudah terkena infeksi, susah makan, hingga mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Pada akhirnya, mempengaruhi hormon pertumbuhan.

“Sehingga, waktu hormon pertumbuhannya berkurang, maka pertumbuhan tingginya juga berhenti, kalau tidak diatasi sampailah dia ke yang kita sebut sebagai stunting,” kata Damayanti dalam kesempatan sama.

Juga, menghambat perkembangan otak. Menurunkan tingkat kecerdasan anak. Berdasar hasil penelitian, anak yang mengalami kenaikan berat badan tidak sesuai usia pada 2 bulan pertama kehidupan, 8 tahun kemudian akan memiliki tingkat Intellegence Quotients (IQ) lebih rendah dibanding anak kondisi standar gizi

“Hasil penelitian Profesor Waber juga menyebut, anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk pada usia 1 tahun pertama kehidupannya, 65 persen IQ anak hanya di bawah 90, artinya dia hanya mampu sekolah sampai SMP,” kata Damayanti.

Namun, orangtua tak perlu patah semangat. Mengatasinya bisa dengan memberikan tambahan terapi nutrisi dan stimulasi bermain. Yang lebih penting lagi, lanjut Damayanti, “Segeralah berkonsultasi ke dokter anak. Bila permasalahan kenaikan berat badan dapat teratasi sejak dini, maka kita akan bisa mencegah stunting.”

Berat badan ideal anak dalam usia 1 tahun pertama menurut WHO yakni:

1   bulan: perempuan 3,2 kg, laki-laki 3,3 kg

2   bulan: perempuan 4,2 kg, laki-laki 4,5 kg

3   bulan: perempuan 5,1 kg, laki-laki 5,6 kg

4   bulan: perempuan 5,8 kg, laki-laki 6,4 kg

5   bulan: perempuan 6,4 kg, laki-laki 7 kg

6   bulan: perempuan 7,3 kg, laki-laki 7,9 kg

7   bulan: perempuan 7,6 kg, laki-laki 8,3 kg

8   bulan: perempuan 7,9 kg, laki-laki 8,6 kg

9   bulan: perempuan 8,2 kg, laki-laki 8,9 kg

10 bulan: perempuan 8,5 kg, laki-laki 9,2 kg

11 bulan: perempuan 8,7 kg, laki-laki 9,4 kg

12 bulan: perempuan 8,9 kg, laki-laki 9,6 kg

Itu merupakan angka rata-rata. Berlaku standar deviasi. Artinya, bayi dengan berat badan kurang atau lebih 1-2 kg dari angka di atas, maka masih dikategorikan normal.

Adapun tinggi badan ideal balita adalah:

Anak laki-laki

Usia 1 tahun: 72–78 sentimeter

Usia 2 tahun: 82–92 sentimeter

Usia 3 tahun: 83–95 sentimeter

Usia 4 tahun: 84–97 sentimeter

Usia 5 tahun: 85–98 sentimeter

Anak perempuan

Usia 1 tahun: 70–78 sentimeter

Usia 2 tahun: 80–92 sentimeter

Usia 3 tahun: 82–95 sentimeter

Usia 4 tahun: 83–96 sentimeter

Usia 5 tahun: 84–97 sentimeter

Kendati begitu, tak hanya gizi kurang dan gizi buruk, stunting juga bisa disebabkan akibat faktor-faktor lainnya, seperti kelahiran prematur, tata cara pemberian ASI yang tidak tepat, dan banyak karena pengaruh dari makanan pendamping ASI yang tidak sesuai karena anak tidak mendapat asupan protein hewani yang cukup.

Asupan Protein Hewani

Fungsi asupan protein hewani pada balita, kata Piprim, sangat penting. Di dalam tubuh anak terdapat saklar pertumbuhan yang disebut dengan mTORC. Kalau saklar ini dihidupkan, maka tulang, otot, saraf, usus, juga akan bertumbuh dengan baik.

mTORC sangat sensitif dengan kadar asam amino esensial. Kalau kadarnya rendah mTORC tidak akan aktif, sebaliknya kalau tinggi saklar pertumbuhan akan menyala dan memicu pertumbuhan, termasuk pertumbuhan linear secara tinggi badan, pertumbuhan otak, pertumbuhan usus, sistem imun, dan lainnya.

“Jadi, semua sangat tergantung dari kecukupan kadar asam amino esensial di tubuh anak. Kadar ini hanya diperoleh dari protein hewani, bukan nabati,” ucapnya.

Protein hewani berasal dari susu, telur, ikan, ayam, dan sebagainya. Porsinya harus tepat disesuaikan dengan usia anak. Misal, tambah Damayanti, usia 6-8 bulan, 70 persen sumber energi masih dari ASI, sisanya dari makanan pendamping ASI.

“Minimal 15 gram atau 30 persen protein. Cukup satu butir telur ayam atau protein hewani lainnya setiap hari,” ucapnya.

Ilustrasi – Asupan protein hewani untuk anak sangat baik untuk mencegah stunting. (Sehatq)

Ketika anak berusia 9-11 bulan, bisa menambahkan lagi dengan setengah ati ayam. Selanjutnya, usia 12-24 bulan peran ASI mulai berkurang sehingga asupan protein hewani harus ditingkatkan menjadi 20 gram per hari. Jadi, satu butir telur ayam ditambah 30 gram ikan kembung, dan satu susu Ultra High Temperature (UHT).

Saat anak berusia 24-60 bulan, tingkatkan lagi, 25 gram protein per hari sehingga orang tua dapat memberikan dua butir telur, satu hati ayam atau 30 gram daging merah, dua susu UHT atau 30 gram teri nasi.

“Berdasar penelitian, balita yang mengonsumsi protein hewani lebih dari satu jenis, misalnya tiga jenis dalam satu hari maka risiko stunting menjadi berkurang sekitar 6,1 persen,” imbuhnya.