PRT Jangan Lagi Disebut Pembantu Rumah Tangga, tapi Pekerja Rumah Tangga
A domestic worker at one of the distributors of domestic workers in Jakarta. (Antara/Galih Pradipta)

Bagikan:

JAKARTA – Meski sudah ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015, PRT nyatanya masih saja dianggap sebagai ‘Pembantu Rumah Tangga’ belum sebagai ‘Pekerja Rumah Tangga’. Sebab, di aturan yang lebih tinggi yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PRT belum masuk ke kategori sebagai pekerjaan formal.

Sehingga, menurut Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini, keberadaan PRT seolah hanya sebagai pelengkap tanpa ada perlindungan apapun. Kerap dianggap sebagai warga kelas dua.

Tidak ada waktu kerja yang jelas. Bahkan, ada PRT yang bekerja full selama 16 jam per hari. Mereka harus stand by kapanpun ketika majikan membutuhkan.

“Semua terserah majikan. Bila majikannya bijak ya bagus, tapi bila tidak, PRT sudah seperti kerja paksa. Bahkan, rentan mengalami penghinaan dan pelecehan, setidaknya perbuatan semena-mena dari majikannya atau penyalurnya,” tuturnya kepada VOI, Kamis (19/1).

Jala PRT mencatat ada 2.637 kasus kekerasan, baik fisik maupun psikis yang dialami PRT selama periode 2017-2022. Seperti pelecehan seksual, penghinaan, caci maki, pemotongan upah karena sakit, upah tidak dibayar selama berbulan-bulan, upah yang dipotong semena-mena oleh penyalur, tidak bayar THR, dan lainnya.

Sejak 2017, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT sudah mendesak pemerintah agar mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi Undang-Undang. (Antara/Yusran Uccang)

Itulah mengapa, kata Lita, pihaknya terus mendesak pemerintah membuat payung hukum sebagai perlindungan untuk PRT. Bagaimanapun, PRT adalah pekerja yang memiliki peran penting dalam membantu keberlangsung hidup manusia mulai dari level keluarga hingga negara.

PRT menjadi bagian fundamental pergerakan aktivitas jutaan rumah tangga seiring meningkatnya permintaan kebutuhan keluarga-keluarga di perkotaan dan di pedesaan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dalam perawatan dan pemeliharaan serta layanan rumah tangga.

Satu yang terbesar untuk merawat anak-anak. Kerja PRT menyebabkan anggota rumah tangga bisa melangsungkan berbagai aktivitasnya di berbagai bidang ekonomi, hukum, budaya, politik dimana pun, memungkinkan anggota rumah tangga pemberi kerja bisa  memiliki karir, keahlian dan serta akses-akses lainnya.

“Kalau enggak ada PRT, mungkin kita juga enggak akan bisa aktivitas dengan fokus. Anak Pak Presiden juga enggak akan ada yang bisa kerja kalau gak ada yang bantu-bantu di rumah. Jadi, peran mereka di keluarga memang sangat penting,” ucapnya.

Sejumlah PRT yang menjadi pekerja migran di luar negeri seperti Malaysia, Arab Saudi, Singapura sudah diakui sebagai pekerja di sektor formal. Mereka bangga dengan profesinya. Sedangkan di negerinya sendiri, kata Lita, “PRT masih dianggap profesi rendahan dan cenderung dianggap sebelah mata.”

Butuh Perjuangan

Berdasar Survey ILO dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT di Indonesia mencapai lebih dari 4 juta orang. Lebih dari 70 persen adalah adalah perempuan berusia 20-35 orang. Estimasi pada 2022, menurut Lita, mencapai 5 juta orang.

“Sehingga, demi kemanusiaan dan inklusivitas, segera wujudkan Undang-Undang Perlindungan Rumah Tangga, ratifikasi konvensi ILO 189 dan 190,” tutur Lita.

Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 pada 16 Juni 2011 telah menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip mendasar, dan mengharuskan negara mengambil serangkaian langkah dengan tujuan menjadikan kerja layak sebagai realitas bagi pekerja rumah tangga.

Sementara ILO 190 pada 10 Juni 2019 menghasilkan kesepakatan tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Itu sebagai jalan terbaik dalam upaya membangun budaya kerja yang sehat, budaya kerja yang saling menghormati, dan membangun martabat kemanusiaan para pekerja yang berkeadilan gender.

Hingga 2022, sebanyak 35 negara sudah meratifikasi konvensi ILO, antara lain Uruguay, Argentina, Portugal, Panama, Jerman, Italia, dan Filipina.

PRT berhak mendapat pengakuan dan perlakuan sebagai pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. (Antara/Ismar Patrizki)

Sedangkan di Indonesia, menurut Koordinator Koalisi Sipil UU PPRT Eva Kusuma Sundari, prosesnya masih butuh perjuangan. Sudah banyak organisasi mendukung agar RUU PPRT segera disahkan menjadi UU sehingga aturannya bisa lebih mengikat, tak sebatas peraturan menteri.

Kantor Staf Kepresidenan (KSP), pada Agustus 2022, juga sudah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT yang terdiri dari lintas kementerian untuk persiapan pembahasan RUU PPRT bersama DPR.

Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 18 Januari 2023 sudah menyatakan akan mendorong agar penetapan UU PPRT segera dipercepat. Presiden telah memerintahkan Menkumham dan Menaker segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dan semua stakeholder.

Eva mengapresiasi, “Paling tidak sudah ada titik terang. Sudah ada pernyataan langsung dari Presiden.”

Dia berharap pimpinan DPR juga memberi respon baik. Sebab, menurut Eva, sejak periode 2014-2019, draf RUU PRT sebenarnya sudah masuk dalam daftar Prolegnas. Bahkan, masuk dalam RUU prioritas 2020, 2021, dan 2022.

“Sudah diketok di Pleno Baleg pada 1 Juli 2020 untuk dibawa ke paripurna DPR RI sebagai RUU Inisiatif DPR. Tetapi, hingga saat ini, Bamus dan Pimpinan DPR masih menahan,” kata Eva kepada VOI, Kamis (19/1).

Ruang Lingkup PRT

Dalam draf RUU PPRT, lingkup pekerjaan PRT meliputi:

  1. Kelompok pekerjaan memasak;
  2. Kelompok pekerjaan mencuci pakaian;
  3. Kelompok pekerjaan membersihkan rumah;
  4. Kelompok pekerjaan membersihkan halaman dan/atau kebun tempat tinggal Pemberi Kerja;
  5. Kelompok pekerjaan merawat anak;
  6. Kelompok pekerjaan menjaga orang sakit, dan/atau orang yang berkebutuhan khusus;
  7. Kelompok pekerjaan mengemudi;
  8. Kelompok pekerjaan menjaga rumah; dan/atau
  9. Kelompok pekerjaan mengurus binatang peliharaan

Secara keseluruhan, RUU PPRT mengatur berbagai hal, mulai dari jenis perekrutan, waktu kerja, hubungan kerja, pendidikan dan pelatihan, penyelesaian perselisihan hubungan kerja, hingga hak dan kewajiban, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja rumah tangga.

PRT yang menjadi buruh migran sudah diakui sebagai pekerja formal, sedangkan di negerinya sendiri, PRT masih dianggap profesi rendahan dan cenderung dianggap sebelah mata. (Antara/Rosa Panggabean)

Pasal 11 draf UU PPRT menyebut, PRT berhak:

  1. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
  2. Bekerja pada jam kerja yang manusiawi;
  3. Mendapatkan Cuti sesuai dengan kesepakatan PRT dan Pemberi Kerja;
  4. Mendapatkan Upah dan tunjangan hari raya sesuai kesepakatan dengan Pemberi Kerja;
  5. Mendapatkan jaminan sosial kesehatan sebagai penerima bantuan iuran;
  6. Mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja; dan
  7. Mengakhiri Hubungan Kerja apabila terjadi pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja.

Adapun terkait upah, RUU PPRT menyerahkan pengaturan besaran nilai upah kepada pemberi kerja. Jadi, berdasar kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja, tidak mengacu ke upah minimum regional-provinsi,

“Versi awal kita adopsi dari ILO 189 tentang domestic workers. Jadi ada upah minimum, minimum jam kerja, sekarang kita turunin semua berbasis negosiasi. Itu versi perubahan ke-78, yang penting ada pengakuan terlebih dahulu,” kata mantan anggota DPR RI periode 2014-2019 ini.

Sejatinya, PRT berhak mendapat pengakuan dan perlakuan sebagai pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk perlindungan dan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar pekerja rumah tangga, dan mencegah terjadinya diskriminasi dan kekerasan.

Koordinator Jala PRT, Lita pun berharap, “Sudah saatnya semua berubah, negara dan kita harus lebih menghargai PRT bukan lagi sebagai pembantu atau asisten rumah tangga, melainkan pekerja.”

“Cukup cuciannya saja yang diperas, jangan PRT-nya,” kata Lita menandaskan.