Rencana Jalan Berbayar Elektronik, ERP yang Tak Kunjung Diterapkan di Era Jokowi - Ahok

JAKARTA - Masalah kemacetan lalu-lintas kian merundung Jakarta. Tak imbangnya luas ruas jalan dan pertambahan kendaraan bermotor ada di baliknya. Apalagi kemacetan membuat seisi Jakarta merugi. Dari rugi waktu hingga uang.

Pemerintah DKI Jakarta tak tinggal diam. Pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok, misalnya. Mereka ingin menerapkan Jalan Berbayar Elektronik (ERP) sebagai solusi. Nyatanya ERP tak kunjung terealisasi. Ngototnya Ahok meminta pemerintah tak melulu memikirkan keuntungan jadi musabab.

Kemacetan adalah masalah klasik yang melanda ibu kota. Masalah itu bahkan telah dirasakan sejak era 1960-an. Penyebabnya macam-macam. Ketidakmampuan pemerintah menyediakan solusi mengurai kemacetan, salah satunya.

Satu sisi pemerintah DKI Jakarta tak mampu menghadirkan transportasi umum yang layak. Lain sisi, pemerintah urung menelurkan kebijakan yang tepat guna untuk mengurangi warga Jakarta menggunakan kendaraan pribadi.

Akibatnya, jalanan Jakarta dipenuhi kendaraan pribadi. Sedang ruas jalan tak cukup lagi menampung banyak kendaraan dalam satu waktu. alasan itu buat kemacetan saban hari mendera segenap ruas jalanan di Jakarta.

Saat memimpin DKI Jakarta, Jokowi dan Ahok berencana menerapkan sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) untuk mengatasi kemacetan namun urung dilaksanakan. (Antara/Yudhi Mahatma)

Pemerintah Jakarta tak tinggal diam. Berbagai macam kebijakan telah dilakukan sejak masa Ali Sadikin jadi orang nomor satu Jakarta, sekalipun jauh  dari harapan. Pemerintahan Jokowi-Ahok juga tak mau kalah.

Mereka yang baru terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2012 ingin mengeluarkan jurus baru melawan kemacetan jalanan. Jalan Berbayar Elektronik namanya. Ajian itu dianggap sebagai opsi paling masuk akal untuk mengurai kemacetan Jakarta.

ERP dianggap dapat membuat warga Jakarta beralih ke transportasi umum. Empunya kuasa pun mempersiapkan segala macam fasilitas dan memilah sistem ERP terbaik. Pada pertengahan 2014, sudah ada dua perusahaan yang melakukan uji coba, yakni Kapsch dari Swedia dan Q-free dari Norwegia.   

 “Selain Swedia, Ahok mengungkapkan, beberapa negara menawarkan teknologi ERP ke Jakarta, antara lain Jepang. Pilihan lalu dijatuhkan antara lain dengan menetapkan syarat, yakni sistem yang ada harus terbuka. Artinya, kalau orang masuk dari semua daerah, tetap bisa.”

“Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Ewa Polano, memastikan teknologi sistem ERP yang dibawa negaranya merupakan yang terbaik di seluruh dunia. Dengan sistem tersebut, menurut dia, arus lalu lintas akan lebih lancar dan menghasilkan pendapatan untuk solusi kolektif transportasi, seperti bus, dan kereta api. Ewa mengungkap ini win-win solution," ujar Sutji Decilya dalam laporannya di Koran Tempo berjudul Ahok Minati Teknologi ERP dari Swedia (2013).

Tak Kunjung Diterapkan

Rencana ERP pun digodok secara serius oleh pemerintahan Jokowi-Ahok. Rencana itu bahkan terus digulirkan kala Jokowi – karena jadi Presiden Indonesia - menyerahkan jabatannya pria yang bernama asli Basuki Tjahaja Purnama pada 2014. ERP pun jadi salah satu proyek yang akan digarap serius.

Uji cobanya berjalan lancar. Namun, masalah muncul ketika ERP ingin dioperasikan pada 2015. Pemerintah DKI Jakarta dengan dinas-dinas terkait –terutama perpajakan-- tak menemui titik temu untuk realisasi ERP. Perihal besaran tarif utamanya.

Ahok menyebut pemerintah tak harus mengambil untung dari ERP. Baginya, ERP hanya alat untuk mengendalikan jumlah mobil. Alias ‘senjata’ pemerintah supaya masyarakat beramai-ramai memilih moda transportasi umum untuk aktivitas sehari-hari.

Keinginan itu membuat Ahok menginginkan tarif ERP dapat diatur naik-turun kapan saja. Selama jumlah mobil meningkat, maka tarif akan naik. Sebaliknya, jika mobil sedikit tarif ERP akan diturunkan. Ia bahkan berkali-kali menyebutkan bahwa ERP bukan jalan tol.

Papan penunjuk Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat akhirnya dimatikan karena sistem tersebut urung diterapkan. (Antara)

Sebab, jalan tol dibangun bukan untuk mengurangi angka kendaraan pribadi. Pemerintah DKI Jakarta akhirnya tak jadi menerapkan sistem ERP di Jakarta. Keputusan itu diambil karena empunya kuasa menyadari fasilitas dan infrastruktur penunjang ERP belum siap. Sebagai gantinya, pemerintah DKI Jakarta memilih menjalankan kebijakan Ganjil-Genap sebagai ajian.

“Ketika memimpin, Ahok tidak sungkan melakukan pengaturan pada kendaraan roda empat maupun roda dua. Untuk mengatasi kemacetan di jalanan umum DKI Jakarta, Ahok memiliki gagasan untuk menggunakan Electronic Road Pricing (ERP) yang tarifnya dapat turun dan naik kapan saja. Baginya ERP hanya instrumen untuk mengontrol jumlah kendaraan yang melintas di jalan.”

“Tarif ERP akan turun apabila lalu lalang kendaraan yang lewat tidaklah banyak, dan akan naik ketika lalu lalang kendaraan yang melintas cukup banyak. Kebijakan ini urung dilaksanakan. Bagi dinas pendapatan, tidak konsistennya tarif ERP akan menimbulkan persoalan pada proyeksi penerimaan pajak yang dilakukan tahunan,” ungkap Rafif Pamenang Imawan dalam buku Sudah Senja di Jakarta (2020).