Menyoal Kebijakan ERP di Jakarta, Pengamat: Aturannya Harus Dikaji Lebih Mendalam

JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menerapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar elektronik demi mengurangi kemacetan di ibu kota.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menilai, kebijakan ERP tidak sepenuhnya efektif untuk mengurai kemacetan.

Menurut dia, kebijakan tersebut akan berjalan efektif apabila didukung dengan integrasi sistem transportasi lainnya.

"Contohnya begini, kalau dipilih 25 ruas jalan yang akan diterapkan (ERP), apakah di 25 jalan ruas itu angkutan publiknya yang sebagai pilihan pengganti sudah tersedia atau tidak. Kalau di Thamrin-Sudirman itu bisa dikatakan sudah ada MRT dan menjadi pusat dari tujuan perjalanan di Jabodetabek. Jadi, bisa dikatakan perjalanan di Jabodetabek itu terkonsentrasi di dua kawasan, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat," kata Yayat saat dihubungi VOI, Rabu, 11 Januari.

"Jadi, kalau Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat yang menjadi fokus dari ERP, kemudian sudah ada MRT, itu sebetulnya lebih bagus. Jadi, jangan dulu di 25 (ruas jalan), tetapi diterapkan dulu masa percobaannya pada ruas jalan utama. Kalau nanti MRT sudah sampai ke Jakarta Kota, barulah bisa melintasi di Gajah Mada, Harmoni, sampai ke wilayah Utara," tambahnya.

Dengan adanya percobaan tersebut, kata Yayat, masyarakat bisa mempertimbangkan untuk membawa kendaraan pribadi yang dikenai biaya ERP atau menumpang transportasi umum tanpa harus dibebani biaya tambahan.

"Jadi, orang bisa membandingkan murah mana bayar pakai ERP atau naik MRT. Nah, jadi ada pilihan," ujarnya.

Terkait penerapan kebijakan tersebut, Yayat menilai akan ada masyarakat yang merasa khawatir apabila dikenakan biaya tambahan, khususnya di sejumlah kawasan yang padat penduduk.

Menurut Yayat, kebijakan ERP ini akan sulit diimplementasikan di daerah tersebut lantaran adanya pemikiran masyarakat mengenai pertimbangan waktu yang akan ditempuh untuk sampai di tempat tujuan masing-masing.

"Untuk di jalan yang belum ada publik transportasinya itu memang agak sulit. Mengandalkan TransJakarta itu punya problem, karena waktu kedatangan TransJakarta lebih lama waktu tunggunya, halte-haltenya lebih padat," ucap dia.

"Jadi, kalau naik kereta api, LRT atau MRT itu lebih pasti setiap 10 menit. Jadi, kalau orang mau bayar naik MRT itu lebih untung dari segi waktunya, kemudian juga ke kantornya lebih mudah, tetapi kalau misalnya mengandalkan TransJakarta itu nanti waktu tunggunya akan lebih lama," jelasnya.

Oleh karena itu, Yayat menyarankan agar pemerintah DKI Jakarta bisa mengkaji secara mendalam mengenai peraturan ERP tersebut sebelum nantinya benar-benar diterapkan di ibu kota.

"Kalau saran saya dalam menerapkan peraturan itu, bukan hanya pada aspek teknisnya, bukan pada aspek sekadar mengatur, tetapi perhatikan aspek sosiologis, karena hambatan ERP di Indonesia itu biasanya adalah masalah kultur atau budaya," ungkapnya.

"Jadi, membuat aturannya harus dikaji lebih mendalam, mempersiapakan pelaksanaannya juga lebih detail, uji coba dulu pada tempat yang sudah tersedia publik transportasi handal, seperti di koridor MRT, barulah disitu bisa dinyatakan ERP layak untuk dilakukan," pungkasnya.