Bagikan:

JAKARTA - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai ada empat faktor yang menyebabkan pengaturan angkutan umum di kawasan Jabodetabek terus berujung masalah.

Pertama, Agus menyebut persoalan awal kerumitan sistem transportasi adalah gagalnya pemerintah dalam mengendalikan program keluarga berencana (KB). Agus menganggap, program KB melemah pascareformasi.

"BKKBN memang masih ada, tapi tidak berfungsi seperti dulu. Pertumbuhan manusia saat ini sangat tinggi, apalagi ditambah COVID-19, kehamilan sangat tinggi sekali. Belum lagi urbanisasi," kata Agus dalam diskusi webinar, Rabu, 12 Agustus.

Faktor kedua adalah gagalnya negara mengatur tata ruang yang sesuai dengan perencanaan dalam peraturan perundang-undangan. Agus menganggap pemerintah tidak tertib dalam mengatur tata ruang.

Kata dia, ada daerah yang tidak jelas peruntukannya. Misalnya, kawasan Kemang, Kebayoran, Depok, dan BSD, yang awalnya diperuntukkan perumahan, menjadi banyak kawasan hiburan.

"Kita tidak pernah tertib mengikuti undang-undang tata ruang atas yang sudah disepakati di Jabodetabek. Sehingga, pemerintah pusat maupun daerah susah mengembangkan sistem transportasinya," ungkap Agus.

Faktor ketiga adalah pengembangan transportasi umum perkotaan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kemampuan pemerintah membangun daerah, tetapi lebih pada menjalankan proyek yang terkadang tidak ada dalam peta jalan yang dibuat oleh negara. 

"Tiba-tiba muncul ide bangun hyperloop (kereta cepat), atau o-Bahn. Jadi, perubahan kebijakan itu tidak dikaji ulang dan bukan mengikuti kebijakan yang ada, tetapi keluar karena ada lobi atau desakan investor," tegasnya.

Faktor keempat adalah implementasi kebijakan yang dikembangkan tidak komprehensif ke lintas sektor. Banyak aturan transpotasi yang tumpang tindih dan lemah dalam penegakan. "Aturannya sudah banyak sekarang. Cuma, aturan satu dengan dengan lainnya selalu ambigu. Sanksinya juga banyak yang tidak jalan," lanjutnya.

Jalan keluar

Dari masalah-masalah tersebut, Agus memiliki sejumlah masukan untuk membenahi rumitnya pengaturan sistem transportasi. Pertama, lakukan moratorium atau pembekuan perizinan lahan di luar tata ruang yang disepakati.

Kedua, revisi program transportasi massal di Jabodetabek dan kembangkan cetak biru (blue print) angkutan umum yakni Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.

"Hindari membangun transportasi umum yang baru di luar yang sudah tertuang dalam RITJ desain yang sudah disepakati. Kemudian, lakukan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi. Misalnya, ERP yang mandek ini mau diapakan," jelas dia.

Selain itu, pembangunan angkutan umum di Jabodetabek tak boleh berdasarkan usulan investor. Kemudian, lakukan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi melalui pajak progresif, setelah angkutan umum benar-benar terintegrasi.