Kebudayaan Indis dan Busana Kebaya Masa Penjajahan Belanda
JAKARTA - Penjajahan Belanda berlangsung amat lama di Nusantara. Orang Eropa –utamanya orang Belanda-- yang awalnya menjunjung tinggi cara hidup Benua Biru mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Mereka mulai mengadopsi kebudayaan kaum bumiputra. Kebaya, salah satunya.
Pakaian khas Jawa jadi pilihan sehari-hari wanita Eropa di Hindia Belanda. Apalagi saat di rumah. Sekalipun kebaya tak digunakan dalam hajatan penting. Semua itu karena kebaya nyaman digunakan di daerah tropis.
Jasa maskapai dagang Belanda VOC membuka migrasi orang Eropa ke Nusantara tiada dua. Mereka ingin membangun negeri koloni dengan tujuan memperoleh keuntungan melimpah. Namun, tak semua pejabat Kompeni, apalagi yang level rendah dapat membawa serta keluarganya.
Mereka yang dapat membawa istri dan anaknya terbatas kepada mereka yang memiliki jabatan tinggi. Sisanya, pegawai rendahan harus melanggengkan hidup melajang di negeri koloni. Satu-satunya harapan mereka dapat berkumpul kembali bersama keluarga ketika masa tugas di Nusantara berakhir.
Kebanyakan pejabat Belanda ogah hidup melajang. Kebutuhan berahi yang tak tertahankan ada di baliknya. Ajian memperistri warga setempat, termasuk memelihara gundik jadi satu-satunya opsi paling masuk akal. Sebab, opsi mendatangi pelacuran dianggap dapat membawa penyakit.
Pejabat Belanda kemudian hidup bersama dalam satu atap. Kebiasaan itu berlangsung hingga masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Fakta itu membuat dua budaya yang berbeda –budaya Eropa dan bumiputra-- melebur jadi satu.
Orang Eropa mengadopsi budaya setempat. Begitu pula sebaliknya. Bahkan, peleburan itu memunculkan budaya baru. Kebudayaan Indis, namanya. Kebudayaan itu berkembang dalam segala lini kehidupan. Dari cara berpakaian hingga kesenian.
“Dari para biroktrat pemerintah kolonial, berkembanglah kebudayaan Indis yang merupakan kebudayaan hasil jalinan erat antara dua budaya, yaitu budaya Jawa dan Belanda. Oleh sejarawan Rob Nieuwenhuys, jalinan yang erat semacam ini digambarkan seolah-olah terdapat osmose dan pertukaran mental di antara orang Jawa dan Belanda, yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan sebaliknya.”
“Kesejahteraan dan peningkatan status seorang menuntut perubahan gaya hidup, tampak dalam hal penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat perabot rumah tangga, mata pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan/agama, dan sikap lebih menghargai waktu,” ungkap Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2014).
Wanita Eropa Kepincut Kebaya
Peleburan budaya jadi cara hidup baru pejabat Hindia Belanda di Nusantara. Mereka saling mengadopsi budaya masing-masing. Wanita Eropa yang kepincut menggunakan kebaya, salah satunya. Bentuk pakaian berkain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran dianggap cocok iklim tropis khas Hindia Belanda.
Kebaya digunakan dalam kehidupan sehari-hari wanita Eropa. Sejarawan Belanda, Jean Gelmon Taylor menyebut kegemaran orang Eropa terhadap kebaya dikarenanya busana itu diasosiakan sebagai wujud ketentraman, ketenangan, dan keteraturan sosial.
Semua itu karena pakaian Eropa dianggap tak cocok digunakan dalam iklim tropis. Pakaian Eropa hanya digunakan pada waktu tertentu. Alias ketika wanita-wanita Eropa memasuki tempat-tempat yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Selebihnya, ketika di rumah dan bercengkrama dengan sekitar mereka kembali menggunakan kebaya.
Kepopuleran kebaya makin bertambah karena mengikuti selera zaman. Varian-varian dari kain kebaya makin berkembang. Bahkan, kebaya mampu mengadopsi gaya terusan Barat dan Arab. Karenanya, kehadiran kebaya kala itu mampu menembus strata sosial. Kebaya dianggap busana semua golongan: kaum bumiputra, orang Eropa, dan Indo-Belanda.
Kebaya pun tak hanya kesohor di Hindia Belanda belaka. Di Belanda, kebaya cukup populer. Mereka yang ingin mencoba peruntungan dan berlibur ke Hindia Belanda merasa wajib membeli kebaya untuk persiapan hidup di Hindia Belanda. Lagi pula, kebaya telah dijual di mana-mana di Belanda.
“Pada akhir abad ke-19 para perempuan Belanda yang akan berangkat ke Hindia membeli pakaian mereka di Belanda, di toko-toko yang dikhususkan diri pada pakaian tropis seperti Gerzon’s dan De Bijenkorf. Bahkan sarung dan kebaya dapat dibeli di Belanda, meskipun lebih disarankan untuk membelinya di Hindia.”
“Kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia. Pada tahun 1908 Catenius-van der Meijen mengingatkan para perempuan untuk tidak membawa pakaian terlalu banyak karena Anda akan menemukan semuanya, semurah, jika tidak lebih murah daripada, di ibu negeri (Belanda),” ujar Jean Gelmon Taylor dalam buku Outward Appearances (2005).
Baca juga:
- Bung Karno Ucapkan Selamat Natal Lewat Surat Kepada Istrinya, Yurike Sanger
- Buya Hamka Keluarkan Fatwa Haram Umat Islam Hadiri Ibadah Natal
- Bung Hatta Sebut Jepang Ancaman Bagi Kemerdekaan Indonesia dalam Sejarah Hari Ini, 23 Desember 1941
- Wolly Sutinah dan Aminah Cendrakasih: Kiprah Ibu dan Anak di Dunia Hiburan Indonesia