Apple Diduga Tunduk Pada Hong Kong dan Rusia Agar Tak Kehilangan Pasarnya
JAKARTA - Apple diduga tunduk pada dua negara sebagai pasar terbesarnya, Hong Kong, China dan Rusia dengan memilih keuntungan daripada hak asasi manusia.
Raksasa teknologi ini, diklaim telah menyensor aplikasi VPN dan LGBTQ+ di masing-masing negara itu, untuk memastikan bahwa Apple masih memiliki akses ke pasar tersebut. Menandakan, Apple sangat tunduk dengan tuntutan sensor otoriter.
Laporan tersebut berasal dari Apps at Risk: Apple's Censorship and Compromises di Hong Kong dan United Apple: Apple's Censorship and Compromises di Russia, yang dirilis oleh grup advokasi kebebasan berbicara GreatFire.
Proyek itu menyimpulkan, perusahaan gagal menegakkan hak penggunanya untuk mengakses informasi secara bebas dan mengekspresikan pandangan mereka secara online.
"Atas nama keuntungan, Apple menyensor jutaan pengguna dari semua aspek masyarakat, mulai dari aktivis dan tokoh politik hingga anggota minoritas yang rentan seperti komunitas LGBTQ+ di Rusia atau agama dan etnis minoritas di China," ungkap direktur dari proyek Apple Censorship, Benjamin Ismail.
“Penarikan sementara Apple dari Rusia setelah dimulainya perang di Ukraina, dan keputusan Apple untuk memindahkan sebagian produksinya keluar dari China, belum memberikan bukti nyata adanya perbaikan situasi di App Store sejauh ini. Sejauh yang kami tahu, Apple masih mau berkolaborasi dengan rezim yang represif," imbuhnya.
Ismail mengharapkan laporan tersebut akan digunakan untuk mencoba meyakinkan anggota parlemen agar meloloskan undang-undang antimonopoli, yang bertujuan mengurangi kekuatan penjaga gerbang App Store.
Sementara, laporan Apps at Risk yang berfokus di Hong Kong berpendapat 50 persen pangsa pasar ponsel cerdas Apple menjadikannya sebagai tombol pemutus de facto Partai Komunis China untuk konten yang menantang secara politik.
Tercatat, App Store Hong Kong pada November 2022 kehilangan 2.370 aplikasi. Di App Store China sendiri, 10.837 aplikasi hilang dan di App Store Rusia, sebanyak 2.754 aplikasi hilang.
Didapati banyak aplikasi VPN menghilang dari App Store Hong Kong. Selama dua tahun terakhir, diklaim banyak aplikasi media dan informasi telah dihapus secara global, meningkatkan kemungkinan Apple terlibat dalam penyensoran diri di seluruh dunia atau melakukannya atas nama pihak berwenang.
"Apple mengetahui tentang preferensi otoriter Beijing selama beberapa dekade. Tanggapan Apple sejalan dengan strategi bisnis globalnya, dengan prioritas utama menenangkan pemerintah China untuk melindungi rantai pasokan, saluran distribusi, dan pendapatan Apple," ujar laporan Apps at Risk.
Dengan adanya laporan itu, Apple diharapkan bisa secara terbuka menegaskan dukungannya terhadap hak asasi warga Hong Kong atas informasi dan kebebasan berekspresi.
Lebih lanjut melansir Forbes, Jumat, 23 Desember, di bagian laporan Rusia, terdapat eksplorasi perbedaan cara otoritas Rusia dan China menegakkan tuntutan sensor, tetapi mencapai kesimpulan serupa tentang cara Apple beroperasi. Dinyatakan, dari 2018 hingga 2022, Apple tampaknya lebih mudah mematuhi permintaan sensor dari Kremlin.
Baca juga:
- Pengemudi Tesla yang Sebabkan Tabrakan Beruntun Mengaku Fitur Full Self Driving Mobilnya Tak Berfungsi
- TikTok Lakukan Upaya Keterbukaan untuk Yakinkan Pemerintah AS Mereka Tak Dikontrol dari China
- Pencipta Ethereum Vitalik Buterin: Masyarakat Dunia Butuh Kripto untuk Transaksi
- Pendiri Kripto WAVES Usulkan Bursa Kripto Hapus Perdagangan Futures, Ini Alasannya!
"Penindasan Rusia yang inovatif dan ekstensif juga telah menyebabkan penyensoran dalam perangkat lunak (tampilan jam LGTQ+), aksesori (tali jam tangan LGTQ+), kartografi berbasis perangkat lunak (Krimea), protokol (Relai Pribadi), dan bahkan desain iOS (iOS Rusia)," ungkap laporan App at Risk.
Ismail memperingatkan, pengaruh otoritas di China dan Rusia atas Apple akan tetap ada. Menurutnya, hubungan antara rezim tersebut dan Apple masih asimetris.
"(Apple) sangat mendukung pemerintah negara di mana Apple ingin mempertahankan aksesnya ke pasar, membangun dan menjual produknya," tutur Ismail.
"Mungkin sudah waktunya bagi Apple untuk mempertimbangkan kemungkinan lebih berbahaya dengan hadir di China daripada tidak berada di sana," tambahnya.