UU KUHP Baru: AwasI Penghinaan Terhadap Presiden, Unjuk Rasa, dan Perzinaan Dapat Dipidana
JAKARTA - Gelombang penolakan pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimulai sejak 2019. Sejumlah elemen masyarakat mulai dari mahasiswa hingga akademisi terus menyuarakan agar pasal-pasal tersebut dihilangkan atau diganti.
Tahun ini pun tak berbeda, seruan penolakan masih nyaring terdengar. Rupanya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seolah ‘tutup telinga’ dan tetap mengesahkan RUU KUHP menjadi UU KUHP pada 6 Desember 2022.
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengklaim pembahasan terhadap draf UU KUHP telah berlangsung cukup komprehensif dan mendalam. Berbagai upaya menggali seluruh aspirasi masyarakat, seperti diskusi terarah, sosialisasi, dan pengayaan materi telah dilakukan.
UU KUHP pada prinsipnya merupakan upaya ‘Rekodifikasi Terbuka’ terhadap seluruh ketentuan pidana yang ada di Indonesia dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini.
“Dengan begitu, UU KUHP tidak sepenuhnya mengurangi keberlakuan undang-undang di luar UU KUHP (lex specialis), sepanjang asas dan prinsip pemidanaannya mengikuti UU KUHP (lex generali),” kata pria yang akrab disapa Bambang Pacul saat konferensi pers usai Rapat Paripurna DPR RI ke-11 pada 6 Desember 2022.
UU KUHP menjadi langkah modernisasi Hukum Pidana Nasional sesuai perkembangan masyarakat dengan sasaran tujuan antara lain untuk menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan, menciptakan proses pemidanaan yang tidak menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Penghinaan Presiden
Ada sejumlah pasal yang kerap menjadi perdebatan. Seperti pasal tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Ayat (2), “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Begitupun pasal tentang Penghinaan terhadap Pemerintah. Pasal 240 menyatakan, “Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Terkait itu, menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, penghinaan terhadap pemerintah dalam pasal tersebut terbatas pada lembaga kepresidenan, sedangkan penghinaan terhadap lembaga negara hanya terbatas pada lembaga legislatif yaitu DPR, MPR, dan DPD, serta lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
“Baik dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerahan harkat dan martabat Presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” kata pria yang akrab disapa Eddy usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta pada 28 November lalu.
Namun, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, pasal tersebut berlebihan. Bagaimanapun, presiden, wakil presiden, pejabat DPR, MPR, dan DPD adalah figur yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilu.
“Jadi, kalau menerima kritik, pendapat, bahkan penghinaan adalah konsekuensi jabatan,” kata Fickar kepada VOI, Selasa (6/12).
Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam paparannya pun menilai pasal tersebut sangat bertentangan dengan hak setiap orang dalam menyampaikan pendapat dan ekspresinya.
“Setiap kritik yang ditujukan kepada presiden sebagai pemerintah sangat mungkin dipidana dengan dalih menyerang harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden yang seringkali subjektif. Pasal ini berbahaya karena sangat berpotensi membungkam suara-suara yang kritis terhadap pemerintah,” tulis Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Di Indonesia, presiden tidak hanya menjabat sebagai kepala negara tetapi juga kepala pemerintahan. Kepala negara hanya sebagai simbol negara sedangkan kepala pemerintahan adalah yang bertanggung jawab dalam melaksanakan penyelenggaraan negara, sehingga ketika masyarakat mengkritik atau mempertanyakan kinerja pemerintahan menjadi suatu hal yang wajar dan harus.
Menurut beberapa kalangan, menjadi tidak cocok ketika delik penghinaan ini diterapkan di indonesia karena dua fungsi presiden sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan.
Pidana Pengunjuk Rasa
Demikian pula pasal terkait pemidanaan terhadap pengunjuk rasa. Pasal 256 menyatakan,
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
“Itu bertentangan dengan demokrasi. Sebab, seharusnya cukup pemidanaan terhadap keonarannya saja, tidak ditekankan kepada unjuk rasanya yang justru menjadi hak demokrasi. Artinya, meskipun unjuk rasa itu tidak menimbulkan keonaran, tetapi karena tanpa izi maka tetap dibubarkan juga,” jelas Fickar.
Pasal Zina
Juga, pemidanaan terhadap kohabitasi atau persetubuhan di luar perkawinan. Harus dilihat dalam konteks seluruh rakyat Indobesia, karena begitu banyak perkawinan-perkawinan adat atau perkawinan yang karena faktor ekonomi tidak didaftarkan akan terjerat pidana.
“Sebab itu, harus ada kejelasan pengertian zina yang dapat dipidanakan,” imbuh Fickar.
Dalam draf RUU KUHP, pasal zina dan kumpul kebo tercantum di Pasal 411 dan 412 yakni:
Pasal 411 ayat (1) menyatakan, “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Sedangkan Pasal 412 menyatakan, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Dalam kedua pasal tersebut, itu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Adapun besaran denda yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, yakni:
- Kategori I, Rp1 juta
b. Kategori II, Rp10 juta
c. Kategori III, Rp50 juta
d. Kategori IV, Rp200 juta
e. Kategori V, Rp500 juta
f. Kategori VI, Rp2 miliar
g. Kategori VII, Rp5 miliar
h. Kategori VIII, Rp50 miliar
UU KUHP mulai berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Bambang Pacul mempersilakan masyarakat yang belum menerima muatan undang-undang tersebut mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
"Jadi kalau ada yang merasa terganggu, kami persilakan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo," ujar Bambang Pacul menandaskan.
Baca juga:
- Kontroversi Acara Relawan Jokowi di Stadion GBK dalam Media Sosial Menurut Pantauan Netray
- Lanjutan Sidang Ferdy Sambo: Perjuangan Richard Eliezer untuk Meyakinkan Hakim
- HUT ke-77 PGRI: Peningkatan Kualitas Pendidikan adalah Modal Mencetak SDM Unggul Menuju Revolusi Industri 4.0
- Tantangan Laksamana Yudo Margono, Panglima TNI yang Baru: Memperkuat Pertahanan Jadi Persoalan yang Paling Mendesak