Sejarah Volksraad: DPR Era Kolonial yang Jadi Corong Perjuangan Bangsa Indonesia
JAKARTA - Volksraad adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) era kolonial. Perjuangan para pendahulu bangsa di lembaga ini tak bisa dianggap sepele. Lewat Volksraad, para anggotanya bisa menggugah pejabat Belanda untuk peduli dengan hajat hidup kaum bumiputra, juga membuat bahasa melayu (Indonesia) naik kelas. Marwah itu kemudian menjadikan Volksraad sebagai mimbar utama perjuangan kaum bumiputra.
Dalam sejarahnya, Volksraad terbentuk atas desakan dari pemimpin pergerakan di Indonesia dan orang-orang Belanda yang peduli dengan nasib kaum bumiputra. Kala itu, mereka menginginkan adanya sebuah wadah yang dapat meningkatkan peran serta kaum bumiputra dalam pemerintahan. Alhasil, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johan Paul van Limburg Stirum (1916 –1921) menyetujui hadirnya lembaga parlemen yang bernama Dewan Kolonial.
Perlahan-lahan, nama Dewan Kolonial kemudian berubah menjadi Volksraad. Dikutip dari Joko Darmawan dalam Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara (2017), Volksraad lalu dibentuk secara resmi lewat keputusan Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie, Pasal 53 sampai Pasal 80 bagian Kedua tanggal 16 Desember 1916. Tak hanya itu, kehadiran Volksraad turut diumumkan dalam Staatsblat No. 114 tahun 1916.
Keputusan itu berlaku pada 1 Agustus 1917, yang berisikan hal-hal yang berkenaan dengan Volksraad sebagai dewan legislatif. Sehingga lahirlah sebuah parlemen untuk urusan bumiputra, yang seluruh hak-haknya dijamin oleh hukum Belanda. Dalam artian, Volkstraad menjadi panggung perjuangan resmi bangsa Indonesia untuk menyuarakan keinginan. Sedangkan, Soekarno, Ernest Douwes Dekker dan lainnya berjuang lewat jalur tidak resmi.
Akan tetapi, Kompeni sempat menganggap bahwa Volksraad tak ubahnya “pemanis” dalam politik etis Belanda. Sebentuk agenda tersembunyi Belanda hadir dalam badan Volksraad. Sebuah agenda yang ingin meredam tumbuhnya kesadaran kebangsaan masyarakat Hindia yang dipelopori oleh kelompok-kelompok pergerakan seperti Sarekat Islam (SI), pimpinan dari Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Kenyataan itu ditambah dengan Volksraad yang tak punya wewenang layaknya badan legislatif untuk membuat undang-undang. Peranannya sebagai lembaga dengan satu majelis hanya mempunyai wewenang menasehati, namun tetap saja bila menyangkut masalah keuangan, harus dikonsultasikan dengan Gubernur Jenderal. Dengan kata lain, Belanda boleh mengaibaikan usulan.
“Meski fungsi Volksraad yang sesungguhnya bukanlah dimaksudkan sebagai parlemen dengan tanggung jawab membentuk undang-undang negara. Namun demikian pembentukan Volksraad dianggap oleh sebagian besar orang Belanda sebagai langkah maju dalam perjuangan untuk mendapatkan otonomi Hindia Belanda,” ujar Gamal Komandoko dalam buku Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa (2008).
Jauh dari ekspektasi Belanda, Volksraad menjelma sebagai rahim yang memunculkan banyak tokoh pergerakan penting Indonesia. Volksraad yang awalnya hanya dianggap “boneka pemerintah,” menjelma menjadi corong perjuangan. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya sederet nama besar seperti M.H. Thamrin, Abdoel Moeis, Otto Iskandar di Nata, dan lain sebagainya.
Susunan anggota Volksraad
Semula lembaga ini terdiri atas 19 orang anggota yang dipilih langsung oleh rakyat Hindia-Belanda, dengan 10 dari 19 merupakan kaum bumiputra. Sementara 19 orang anggota lainnya ditunjuk langsung oleh petinggi Hindia-Belanda. 5 di antaranya berasal dari kaum bumiputra. Kendati demikian, lembaga yang berhak memilih terdiri atas dewan-dewan lokal yang konservatif dan didominasi oleh kaum pegawai.
“Orang-orang Indonesia yang lebih radikal dapat menjadi anggota Volksraad hanya apabila Gubernur Jenderal mengangkat mereka. Orang Indonesia yang menjadi anggotanya semula berjumlah sekitar 39 persen, yang naik menjadi 40 persen ketika anggota Volksraad ditambah menjadi 49 orang pada tahun 1921," tulis Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005).
"Jumlahnya terus meningkat enam tahun kemudian menjadi 42 persen ketika jumlah anggota lembaga tersebut ditambah menjadi 60. Lalu pada 1931, perbandingan antara anggota-anggotanya yang berkebangsaan Eropa, Indonesia, dan bangsa lain (terutama Cina) menjadi 50 persen,” menurut Ricklefs.
Samakin berkembang lagi, anggota Volksraad yang dipilih langsung mulai melebihi jumlah anggota yang ditunjuk. Pada tahun 1939, dari sekitar 70 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia pada saat itu. mereka dewan lokal yang berhak memilih anggota Volksraad hanya berjumlah 2.228 jiwa. Seiring bertambahnya tahun, kecaman kepada pemerintah kolonial semakin deras. Untuk itu, Kompeni mengeluarkan staatsinrichting (konstitusi) baru untuk pada tahun 1925.
Isinya yakni menurunkan fungsi Dewan Hindia menjadi badan penasihat. Sedangkan, Volksraad mulai diberikan wewenang-wewenang legislatif yang terbatas. Seperti menentukan Anggaran belanja dan pembuatan peraturan dalam negeri lainnya. Bahkan Volksraad dapat mengajukan perundang-undangan.
Awal mula bahasa Indonesia
Salah satu anggota Volksraad yang bernyali adalah Agus Salim. Pada 1922, ia tiba-tiba tampil beda dalam suatu sidang. Agus tampil menembus batas karena ia langsung maju ke podium dan berpidato menggunakan bahasa Melayu. Puluhan anggota Dewan, yang sebagian orang Eropa tercengang karena aturan secara tak tertulis mengharuskan hanya bahasa Belanda sebagai satu-satunya bahasa yang digunakan di Volksraad.
“Tingkah Salim membuat geger peserta sidang. Maklum, Volksraad sesungguhnya lembaga yang dibentuk untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Ada semacam aturan tak tertulis yang mewajibkan semua anggota berbicara bahasa Belanda,” ungkap laporan majalah Tempo yang berjudul "Politik ZigZag Pendukung Volksraad" (2013).
Keberanian Salim tak terbendung. Ia beralasan, sebagai anggota Dewan punya hak berbicara dalam bahasa Melayu. Langkah Salim kemudian diikuti oleh “macan parlemen” M.H. Thamrin. Pada tahun 1938, Thamrin untuk pertama kalinya berpidato di Volksraad menggunakan bahasa Melayu, yang kemudian dikenal sebagai bahasa Indonesia.
Baca juga:
Bahasa Melayu dianggap penting bagi kaum bumiputra. Thamrin menyadari hal itu. Ia lalu menjadikan bahasa tersebut sebagai alat perjuangan kaum pro kemerdekaan.
Thamrin bahkan mengecam tindakan-tindakan yang dianggap mengerdilkan bahasa melayu. Atas kegigihannya, penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) dalam sidang Volksraad diperbolehkan. Pada akhirnya, peran Thamrin berhasil membuka jalan bagi bahasa Indonesia diakui oleh dunia, sampai sekarang.