Sejarah Hari Ini, 6 Desember 1965: Pidato di Sidang Pimpinan MPRS, Presiden Soekarno Janji Bubarkan PKI Jika Terbukti Memecah Belah Indonesia

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 6 Desember 1965, Presiden Soekarno mengungkap akan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) jika terbukti memecah belah Indonesia. Penyataan itu diungkapnya pada Pembukaan Sidang Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) ke-10 di Istana Negara.

Sebelumnya, mahasiswa telah mendesak Soekarno untuk membubarkan PKI. Mereka menganggap PKI adalah aktor yang bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Apalagi Bung Karno terkesan melindungi sepak terjang PKI.

Peristiwa G30S adalah peristiwa penting dalam sejarah panjang Indonesia. G30S membawa luka yang amat dalam bagi rakyat Indonesia. Semua karena kekejaman agenda penculikan dan pembunuhan sederet jenderal TNI Angkatan Darat (AD).

PKI pun dianggap sebagai dalang utama dari peristiwa tahun 1965. Rakyat pun berang. Mahasiswa terutama. Mereka ingin supaya Presiden Soekarno segara ambil tindakan membubarkan PKI. Opsi turun ke jalan dilakukan untuk menuntut PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya segera diturunkan dari pemerintahan.

Sikap Bung Karno sebaliknya. Tuntutan mahasiswa tak pernah dianggap serius. Pun tindak-tanduk Bung Karno kerap memperlihatkan ia terlalu lembek jika berhubungan dengan PKI. Padahal, Bung Karno adalah pemimpin tertinggi bangsa Indonesia.

Presiden Soekarno dan Ketua PKI, D.N. Aidit dalam perayaan HUT PKI di Stadion Utama Senayan pada 23 Mei 1965. (Perpusnas)

Namun, pembubaran PKI tak kunjung dilakukan. Mahasiswa yang berang melanggengkan demo berjilid-jilid. Tujuannya meminta pemerintah segera ambil sikap dengan menambah berbagai macam tuntutan lain untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.  

“Peristiwa pengkhianatan G30S PKI menjadikan suhu politik Indonesia melonjak amat panas. Rakyat yang dulunya tidurnya nyenyak dan telah dibangunkan oleh Bung Karno serta teman-temannya para pemimpin pergerakan dan diajak bersama-sama mengusir penjajah, dan selanjutnya dididik dan dibimbing untuk merasa menjadi rakyat dan bangsa yang terhormat, kini telah sadar betul akan kedudukannya, sadar akan hak dan kewajibannya.”

“Rakyat menuntut agar PKI yang sudah berkhianat itu dibubarkan serta penanganan politik dan ekonomi ditata kembali. Itulah hari-hari yang teramat berat bagi Bung Karno. Benar-benar memeras seluruh tenaga, semangat, dan batinnya,” ungkap ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (2010).

Demo mahasiswa yang berjilid-jilid akhirnya menyita perhatian Bung Karno. Ia mulai menyadari situasi takkan normal jika terus menghindari tuntutan rakyat. Ia pun mencari momentum yang tepat. Momentum itu adalah Sidang Pembukaan Pimpinan MPRS ke-10 di Istana Negara pada 6 Desember 1965.

Aksi Mahasiswa dan Pelajar protes terhadap pemerintahan Soekarno awal tahun 1966. (Co Renmeester)

Bung Karno dalam kesempatan itu berjanji akan membubarkan segala organisasi politik atau partai politik yang terbukti memecah belah Indonesia. PKI utamanya. Ia janji membubarkan PKI, asalkan partai itu terbukti dalam memecah belah Nusantara.  

“Nah, itu yang saya lihat di Indonesia, saudara-saudara, sesudah 30 September. Kita gontok-gontokan satu sama lain, bakar-membakar semangat satu sama lain, sampai saya mengancam pada waktu itu di Bogor, Sidang Paripurna Kabinet, hayo, kalau ada golongan yang membakar-bakar semangat, saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sebagai apa, sebagai Pemimpin Rakyat Indonesia ini, Pemimpin Bangsa Indonesia ini, yang merasa bertanggung jawab atas kesatuan bangsa Indonesia, golongan yang membakar semangat akan saya bubarkan.”

“PNI, kalau membakar semangat, saya bubarkan! Partindo, kalau membakar semangat, yaitu mengajak gontok-gontokan, saya bubarkan! PKI apalagi, kalau umpamanya membakar semangat, saya bubarkan! IPKI, saya bubarkan! PNI lagi saya bubarkan! IPKI, saya bubarkan! Semua partai-partai yang mengajak gontok-gontokan, against ourselves saudara-saudara, antara bangsa kita dengan bangsa kita, saya bubarkan,” ungkap Soekarno dalam amanatnya sebagaimana disusun Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam buku Revolusi Belum Usai (2014).