Bagikan:

JAKARTA - Menjelang pelantikan presiden baru dan akhir masa jabatan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI periode 2019-2024, membuat gebrakan penting dengan mencabut 3 putusan perundang-undangan tentang Ketetapan (TAP) MPR terhadap tiga mantan presiden RI yaitu Ir Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid.

Khusus Tap MPR XXXIII/MPRS/1967 tentang Presiden Soekarno, merupakan salah satu TAP MPRS yang dikeluarkan pada era peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Berdasarkan TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003, TAP MPRS 33/1967 termasuk dalam kelompok ketetapan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan tindak hukum lebih lanjut.

Pencabutan ketetapan MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 atau Tap MPRS 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Menjadi bukti Soekarno tidak pernah mengkhianati negara dan melindungi PKI, seperti yang tertuang dalam pertimbangan ketetapan MPRS itu.

Keputusan itu tentu disambut keluarga Soekarno, Menurut Guntur Soekarno Putra, anak pertama presiden Soekarno, keluarganya telah menunggu selama 57 tahun adanya keputusan itu, katanya dalam sambutan saat menerima surat pencabutan TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967 kepada Keluarga Besar Bung Karno, 9 September 2024.

Tap MPRS 33/1967 terbit sebagai bentuk respons politik pasca situasi krisis peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Dalam peristiwa tersebut, Presiden Soekarno dianggap tidak mampu mengendalikan situasi, dan adanya tekanan politik yang kuat dari militer, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.

Sehingga MPRS di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada 22 Juni 1966 meminta pertanggungjawaban presiden Soekarno selaku mandataris MPRS. Soekarno menjawab dengan pidatonya yang dikenal dengan 'Nawaksara'.

Namun pidato tersebut dirasakan belum menjawab permasalah. Sehingga pada 12 Maret 1967, mereka menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.

Penolakan pidato presiden itu mengakhiri kekuasaan Soekarno saat itu. Dan menandai landasan legal bagi naiknya Soeharto sebagai pemimpin de facto dan kemudian menjadi presiden definitif pada 1968. Presiden soekarno sendiri akhirnya menjalani tahanan rumah sampai akhirnya meninggal pada Juni 1970.

Kontroversi juga terus muncul dari pihak yang mengalami trauma kekejaman PKI. Sehingga Tap 33/1967 tersebut tetap bercokol hingga 57 tahun. Sejak itu upaya mengembalikan nama baik Soekarno tak kunjung dipulihkan, kendati jaman berganti. Berbagai buku sejarah telah mencatatkan peran Soekarno sebagai proklamator, pejuang dan peran diplomasi sebagai pemimpin bangsa di awal-awal kemerdekaan dan setelahnya.

Upaya memulihkan nama baik Soekarno sebagai proklamator bangsa. Pada tahun 1986, Presiden Soeharto memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Soekarno bersama Mohammad Hatta melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 81 Tahun 1986.

Kemudian, tahun 2012, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83/TK/Tahun 2012, Soekarno dianugerahkan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gelar pahlawan nasional diberikan 7 November 2012, diterima keluarga Soekarno, Guntur Soekarnoputra

Sampai akhirnya ada ketetapan No 1/2003 yang menyatakan ketetapan MPRS tidak berlaku. Status pencabutan Tap MPRS itu Resmi dikukuhkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) setelah pemerintahan Prabowo-Gibran terbentuk. Bamsoet mengambil langkah mencabut Tap 33/1967 sekaligus untuk menjawab surat Menkumham, Supratman Andi Agtas, tertanggal 13 Agustus 2024 perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.

Alasan di Balik Pencabutan Tap MPRS XXXIII/1967

Pencabutan Tap MPRS XXXIII/1967 didorong keinginan untuk melakukan rekonsiliasi nasional, khususnya dalam konteks rehabilitasi nama baik Presiden Soekarno. Sejak masa reformasi, suara-suara yang menuntut penghapusan Tap ini semakin menguat. Soekarno dianggap sebagai tokoh proklamator yang berjasa besar bagi bangsa, dan Tap ini dilihat sebagai bentuk pelabelan negatif terhadapnya. Proses pencabutan digagas masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Namun, pencabutan Tap ini bukan hanya soal rehabilitasi nama Soekarno. Ada juga unsur pragmatisme politik yang terlibat. Pemerintah ingin menunjukkan mereka mendukung upaya-upaya memulihkan martabat tokoh bangsa yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, pencabutan ini juga terkait dengan upaya memperbaiki citra politik pemerintahan dengan merangkul pendukungan Soekarno.

Secara hukum, pencabutan Tap MPRS 33/1967 dilakukan oleh MPR pada Sidang Tahunan 2003 melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR dari Tahun 1960 hingga 2002. Ketetapan ini meninjau berbagai produk hukum MPRS dan MPR sebelumnya dan mencabut beberapa ketetapan yang dianggap tidak relevan, termasuk Tap MPRS XXXIII/1967. Dengan pencabutan tersebut, Tap MPRS ini tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Pencabutan ini sekaligus memulihkan status hukum dan moral Presiden Soekarno, yang secara resmi tidak lagi diberi stigma negatif seperti tertuang dalam Tap MPRS XXXIII/1967.

Upaya Merengkuh Megawati ke Koalisi

Dalam konteks politik terkini, pencabutan Tap ini memiliki implikasi strategis. Secara simbolik, langkah ini menjadi bagian dari upaya untuk merekonstruksi narasi sejarah nasional yang lebih inklusif dan memperkuat legitimasi politik tokoh-tokoh nasional dari berbagai latar belakang. Pencabutan Tap ini dilihat sebagai upaya untuk meredakan ketegangan ideologis antar kelompok.

Pencabutan Tap MPR 33/1967, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, problem nya bukan hanya soal dicabut ketetapannya itu tetapi bagaimana soal pengungkapan kebenaran.Jadi kesahan yang direfleksi dengan menuliskan kembali sejarah tentang Soekarno.

Malah dia curiga ini bentuk komunikasi di tingkat elit saja dan tidak berdampak pada upaya pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah, ilmu pengetahuan dan pendidikan.Bahwa negara ini suatu masa pernah melakukan kesalahan, kekeliruan yang telah terjadi ada pembantaian massal tahun 66/67 kemudian Presidennya di kudeta secara tidak jelas melalui Supersemar.

"Karena ini momen politik jangan sampai ini hanya jadi kompromi antar elit untuk bagi kursi," ujar Isnur, kepada Voi, 30 September.

Langkah ini juga dinilai sebagai upaya presiden terpilih Prabowo yang ingin mendapatkan dukungan dari banyak pihak selama masa pemerintahannya. Selain kesepakatan tidak akan mengotak-atik UU MD3 (MPR, DPR dan DPD) dimana partai pemenang pemilu legislatif berhak ketua DPR dan kini dengan pencabutan Tap MPRS 33/1967. Barangkali ini bagian dari 'membujuk' Megawati dan PDIP bergabung koalisi.