Gus Dur Minta Jaksa Agung Usut Kasus Korupsi Soeharto dalam Sejarah Hari Ini, 1 November 1999
JAKARTA – Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 1 November 1999, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meminta kasus korupsi Soeharto kembali diusut. Permintaan itu secara langsung di utarakan Gus Dur kepada Jaksa Agung, Marzuki Darusman.
Sebelumnya, Soeharto diduga mengelapkan aliran uang negara. Uang negara itu kemudian diyakini mengucur deras kepada tujuh yayasan yang dimiliknya. Tiada yang berani mengulas masalah itu. Namun, tidak bagi Gus Dur.
Pengaruh Presiden Soeharto sulit untuk diredupkan. Ia mampu mengontrol segalanya. Dari hukum hingga media massa. Tiada yang mampu menggoyang kuasanya. Barang siapa yang mengganggu, niscaya akan dikenakan hukuman.
Sebab, Soeharto dengan kekuatan militernya begitu kuat. Soeharto dapat bergerak bebas. Karenanya, ia dan keluarganya bebas berbisnis apa saja di Indonesia. Bahkan, anak-menantunya dapat menguasai berbagai macam proyek stategis nasional. Antara lain mobil nasional, KTP, dan lain sebagai.
Hidup serba mudah keluarga Soeharto pun dimulai. Pinjaman bank mampu didapat, akses segala macam izin, apalagi. Bahasa mudahnya: bawa nama Soeharto, segala macam urusan beres. Restu Soeharto kemudian bernilai luar biasa. Namun, bukan berarti tanpa celah.
Banyak indikasi aliran dana yang seharusnya milik pemerintah dialihkan untuk kepentingan pribadi. Segenap rakyat Indonesia banyak yang mengetahuinya. Sudah jadi rahasia umum pula. Lagi-lagi tiada yang berani mengusutnya.
“Sepertinya tak ada yang tak mungkin bagi Soeharto. Bahkan, ia bukan hanya mengangkat menteri, tetapi juga mengangkat seluruh jajaran eksekutif seperti gubernur, wali kota, bupati. Gubernur Bank Sentral, bahkan sebagian anggota parlemen yang tidak dipilih langsung. Pengangkatan Hakim Agung dan Ketua Mahkamah Agung tergantung kepada Soeharto.”
“Dalam bidang bisnis, ia juga memilih Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) apalagi yang sangat vital seperti Pertamina, kebijakan yang penting dari BUMN tersebut juga menunggu persetujuan dia. Pemilihan itu bukan dari rakyat, melainkan presiden. Soeharto mulai memberi ruang kepada keluarganya yang lazim dikenal Keluarga Cendana untuk mulai berbisnis,” ungkap Femi Adi Soempono dalam buku Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru (2008).
Pengaruh Soeharto masih sedemikian besar ketika Habibie menjadi Presiden Indonesia. Kepemimpinan Habibie dianggap tak memiliki keberanian mengusut indikasi korupsi yang dilakukan Soeharto. Indikasi pembiaran pun bergulir.
Kondisi itu tak berlangsung lama. Kala Gus Dur menjadi orang nomor satu Indonesia semua berubah. Ia meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk kembali mengusut dugaan korupsi Soeharto pada 1 November 1999.
Kala itu, Soeharto dituduh melakukan penggelapan uang lewat tujuh yayasannya. Lima yayasan yang paling besar antara lain Dakab, Dharmais, Supersemar, Tritura, dan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
“Meski dalam berbagai kesempatan Gus Dur menyatakan keinginannya untuk memberi ampunan ke Soeharto asalkan menyerahkan kepada negara sebagian harta yang diduga hasil KKN. Dalam surat dakwaan dikatakan hanya berkaitan dengan pengelolaan dan yayasan maka mengakibatkan kerugian negara Rp1,4 triliun rupiah dan 419 juta dolar Amerika.”
“Namun, pada 31 Maret 2000, tim penyidik kejagung menetapkan Soeharto sebagai tersangka dalam kasus KKN tujuh yayasan. Pada 15 April 2000, Jaksa Agung mengumumkan status hukum Soeharto naik menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar negeri. Kemudian, dilanjutkan 29 Mei 2000 status tahanan kota menjadi tahanan rumah,” ungkap Virdika Rizky Utama dalam buku Menjerat Gus Dur (2020).
Baca juga:
- Presiden Jokowi Resmikan Kongres Wanita Katolik Republik Indonesia XX, 30 Oktober 2018
- Sejarah Hari Ini, 31 Oktober 1958: Ajakan Wapres Mohammad Hatta Agar Rakyat Indonesia Menjaga Lingkungan Hidup
- Pesta Kostum pada Masa Penjajahan Belanda Tak Melulu Perayaan Halloween
- Megawati Soekarnoputri Sebut Indonesia Korban Utama Terorisme dalam KTT APEC di Los Cabos, Meksiko 26 Oktober 2002