Tragedi Stadion Kanjuruhan: Kesaksian Korban Hingga Kesimpulan TGIPF yang Menyarankan Ketum dan Exco PSSI Mundur

JAKARTA - Seorang penonton yang selamat dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Dimas Bayu tentu tidak akan bisa melupakan apa yang dialaminya pada 1 Oktober 2022 atau pasca berakhirnya pertandingan antara Arema FC Malang vs Persebaya Surabaya.

Ketika suasana di lapangan sudah tidak kondusif, aparat keamanan menembakkan gas air mata. Tidak hanya kepada para penonton yang turun ke lapangan, melainkan juga ke arah tribun hingga membuat mereka berlarian mencari selamat.

Dimas yang berada di Gate 13 Stadion Kanjuruhan juga ikut berlarian mencari pintu keluar.

“Banyak orang kalut dan panik. Belum lagi ngerasain perih dan sesak akibat asap gas. Sangat kacau kondisinya saat itu,” kata Dimas usai doa bersama di Gate 13 Stadion Kanjuruhan pada 4 Oktober 2022.

“Posisi saya itu sudah sesak tidak bisa bernafas dan pasrah saja, sementara orang di belakang disuruh mundur-mundur itu sudah tidak memungkinkan,“ imbuhnya dilansir dari Kompas.com.

Penonton berdesak-desakan dari tribun sampai keluar stadion. Hanya mengikuti arus karena ruang gerak yang sangat terbatas. Dia berhasil selamat karena pagar pengaman di sisi sebelum pintu keluar ambruk.

“Jaket teman saya, saya pegang terus ke arah pintu sini. Jadi supaya keluarnya bareng. Satu kali terjatuh, bangun lagi sampai bisa keluar,” ujar pemuda yang berprofesi sebagai pegawai swasta itu.

Suporter Arema berduka. Tragedi Stadion Kanjuruhan mengakibatkan 132 orang meninggal dunia dan 96 lainnya mengalami luka berat. (Instagram/@shintaeyong7777)

Penonton lain yang berada di Gate 14, Chandra Dirawan pun mengakui suasana ketika itu sangat kacau. Di tempatnya berada sudah penuh asap gas air mata.

"Anak kecil menangis, perempuan pingsan, jeritan di mana-mana, semua berbondong-bondong keluar, tapi pintu 13 ditutup, pintu 14 dibuka, cuma satu pintu," kata Chandra dilansir dari BBC News Indonesia.

"Di kamar mandi dekat pintu 13, saya lihat dua orang laki-laki tergeletak, mungkin kekurangan oksigen, berdesak-desakan dan juga gas air mata. Saya lihat ibu-ibu gendong anaknya yang balita sambil berteriak. Keluar air dari hidung dan mata, sedih sekali," lanjut Chandra.

Menyaksikan kondisi yang sudah sangat mencekam, Chandra memutuskan melompat ke dalam lapangan, kemudian berlari ke arah pintu lapangan yang terbuka.

Namun, polisi berpendapat gas air mata bukanlah penyebab utama kematian dalam tragedi Stadion Kanjuruhan.

Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetio, ada tiga jenis gas air mata yang digunakan saat tragedi Stadion Kanjuruhan: gas air mata asap putih atau smoke, gas air mata yang bersifat sedang yang digunakan untuk mengurai klaster dari jumlah kecil, dan gas air mata tabung merah untuk mengurai massa dalam jumlah cukup besar.

Bila melihat kandungan dari ketiga jenis itu, tidak ada racun dalam gas air mata yang bisa mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Memang bisa menyebabkan mata mengalami iritasi seperti ketika terkena sabun. Namun, itu hanya terjadi beberapa saat dan tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal.

Itu merujuk dari keterangan sejumlah ahli, antara lain Made Agus Gelgel, guru besar Universitas Udayana sekaligus ahli bidang oksiologi.

“Beliau menyebut gas air mata dalam skala tinggi pun tidak mematikan. Sekali lagi, saya bukan expert, saya hanya bisa mengutip keterangan para pakar,” kata Dedi kepada wartawan pada 10 Oktober 2022.

TGIPF Membantah

Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Stadion Kanjuruhan, Mahfud MD juga sudah meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memeriksa kandungan racun dalam gas air mata.

Namun apapun hasilnya, Mahfud menegaskan tidak akan mengubah kesimpulan TGIPF bahwa penyebab kematian dalam tragedi Stadion Kanjuruhan adalah gas air mata.

Sebab, bila melihat rekaman 32 CCTV yang dimiliki aparat, kejadiannya sangat luar biasa.

“Lebih mengerikan dari sekadar semprot mati. Ada yang saling gandengan untuk keluar bersama, satu bisa keluar, satu tertinggal, yang di luar balik lagi nolong temannya, terinjak-injak mati,” kata Mahfud dalam konferensi pers, Jumat (14/10).

Ada pula korban tewas akibat tembakan gas air mata saat sedang memberi bantuan napas kepada temannya.

"Fakta yang kami temukan, proses jatuhnya korban itu jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi maupun di medsos karena kami merekonstruksi dari 32 CCTV yang dimiliki oleh aparat," ucap Mahfud.

Hasil kesimpulan TGIPF, ada 712 orang yang menjadi korban insiden tragis di Stadion Kanjuruhan, 132 meninggal dunia, 96 mengalami luka berat, dan 484 orang luka sedang maupun ringan.

Menko Polhukam Mahfud MD yang juga diperintahkan sebagai ketua TGIPF Tragedi Kanjuruhan menyarankan agar Ketum PSSI dan para Exco mundur sebagai bentuk etika dan moral. (Antara/Humas Setkab-Jay).

Selain itu, TGIPF juga meminta PSSI segera melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menyelamatkan citra persepakbolaan nasional. Paling tidak, untuk mencari kepemimpinan dan kepengurusan PSSI yang berintegritas, profesional, bertanggung jawab, dan bebas dari konflik kepentingan.

“Meski secara normatif pemerintah tidak bisa mengintervensi organisasi PSSI, tetapi dalam negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban sebanyak 712 orang,” tutur Mahfud.

Sejauh ini, TGIPF pun menyimpulkan izin kompetisi tidak akan diberikan sampai terjadi perubahan dan kesiapan dari PSSI dalam mengelola dan menjalankan kompetisi.

“Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 belum bisa berjalan hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sementara, pertandingan sepakbola di luar liga itu, tetap boleh berlangsung, tentu dengan memprioritaskan aspek ketertiban umum dan berkoordinasi dengan aparat keamanan,” Mahfud menandaskan.

Presiden Jokowi sebelumnya pun tak menampik, tata kelola persepakbolaan Indonesia memang harus diperbaiki secara keseluruhan.

“Saya kira kita memang perlu evaluasi total semuanya, baik manajemen pertandingan, manajemen stadion, manajemen penonton, manajemen waktu, manajemen pengamanan. Semuanya harus dievaluasi total agar peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan ini tidak terjadi lagi,” tegasnya.