KPK: Tingginya Biaya Politik Jadi Pemicu Terjadinya Korupsi
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan tingginya biaya dalam proses politik menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak pidana korupsi.
"Sayangnya, demokrasi di Indonesia yang sampai saat ini biayanya masih sangat tinggi mengakibatkan proses politik yang mestinya secara hati nurani kemudian menjadi transaksi bisnis," kata Ghufron dalam webinar "Cegah Korupsi, Bantuan Parpol Jadi Solusi", dikutip dari Antara, Sabtu 17 September.
Ia mencontohkan calon yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) membutuhkan modal yang banyak.
"Versi Kemendagri modalnya adalah untuk kabupaten/kota yang pinggiran itu Rp30 miliar sampai Rp50 miliar. Di atas itu, yang menengah Rp50 (miliar) sampai Rp100 (miliar), untuk yang metro tentu sudah di atas Rp150 (miliar)," ungkap Ghufron.
Dengan biaya tinggi tersebut, lanjut Ghufron, menjadi pemicu kepala daerah melakukan korupsi guna mengembalikan modal dari pembiayaan saat pencalonan tersebut.
"Modal segitu, sementara gajinya kepala daerah kita tahu gajinya masih relatif tidak proporsional dengan bebannya. Alhasil, sekali lagi ini mengakibatkan mau tidak mau proses pengembalian modal itu dengan cara korup," kata dia.
Ia mengungkapkan berdasarkan data KPK, ada ratusan kader partai politik (parpol) yang ditangkap KPK, padahal KPK sesungguhnya tidak ingin penangkapan tersebut terus terjadi.
"Ketika korup maka kemudian 'berkucing-kucingan' dengan KPK, melahirkan sudah 300 kader parpol yang duduk di legislatif, yang duduk di kepala daerah sekitar 144. KPK pun sesungguhnya tidak ingin melanjutkan ini semua tetapi ini tidak akan selesai dengan hanya di tingkat penindakan ditangkap dan ditangkap," ucapnya.
Baca juga:
Oleh karena itu, KPK pun mengharapkan dapat tercipta sistem politik yang lebih berintegritas.
"Maka mari kita bangun sistem politik ke depan yang lebih berintegritas. Itu semua awalnya dari kebijakan pembentukan Undang-Undang Parpol baik tentang penggunaan anggaran, bantuannya bahkan sampai tentang sistem politiknya seperti apa. Apakah terbuka, proporsional, atau apapun. Itu semua kan sistem politik pasti ada konsekuensi-konsekuensinya," ujat Ghufron.
"Ini yang sama-sama kita creat agar sistem politik ke depan bukan hanya kemudian melahirkan pemenang-pemenang tetapi proses politik jangan sampai kemudian viktimisasi pada kader parpol. Sudah harus berbiaya tinggi kemudian setelah menang, 'kucing-kucingan' dengan KPK. Ini kan semua proses yang sebenarnya bisa ditentukan partai politik sendiri," kata dia menambahkan.