Suap Ekspor Benur Antarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Jadi Penghuni Rutan KPK
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo harus menelan pil pahit pulang dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Musababnya, setelah tiba di Tanah Air, dia bukannya kembali ke rumahnya tapi justru dicokok oleh tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama belasan orang lainnya sebelum akhirnya ditetapkan menjadi salah satu tersangka dalam kasus dugaan suap terkait ekspor benur.
Kabar Menteri Edhy ditangkap oleh tim satgas KPK ini mulai ramai sejak Rabu, 25 November pada pagi hari. Orang kepercayaan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ini disebut-sebut ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang setibanya dia dari luar negeri. Isu simpang siur ini tak lama kemudian mendapatkan titik terang setelah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membenarkan adanya penangkapan tersebut.
"Benar (ada penangkapan, red) pukul 01.23 WIB di Soetta. Ada beberapa dari KKP dan keluarga yang bersangkutan," kata Ghufron saat dikonfirmasi wartawan, Rabu, 25 November pagi.
Tak berselang lama, Ketua KPK Firli Bahuri melalui pesan tertulisnya menegaskan jika anak buahnya, yang salah satu tim satuan tugasnya dipimpin oleh penyidik senior Novel Baswedan telah berhasil menangkap Edhy Prabowo.
"Tadi malam Menteri KPK diamankan di KPK di Bandara (Terminal, red) 3 Soekarno-Hatta saat kembali dari Honolulu," ungkapnya.
Setelah dilakukan penangkapan, eks Deputi Penindakan ini mengatakan tim satuan tugas langsung membawa Edhy bersama 16 orang lainnya ke Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.
Usai dilakukan pemeriksaan intensif, KPK lantas menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya dan secara resmi menggunakan rompi oranye dan borgol ketika diumumkan ke publik pada Rabu, 25 November malam.
Dalam konferensi pers penetapan tersangka, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, sebelum operasi senyap dilakukan, KPK mengaku mendapat informasi adanya dugaan terjadinya penerimaan uang oleh Penyelenggara Negara.
"KPK menerima informasi adanya dugaan terjadinya penerimaan uang oleh Penyelenggara Negara. Selanjutnya pada tanggal 21 November 2020 sampai dengan 23 November 2020, KPK kembali menerima informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana," kata Wakil Ketua Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih Kuningan Persada, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 26 November dini hari.
Dari rekening itulah, KPK mengendus adanya penggunaan uang oleh penyelenggara negara untuk melakukan membeli sejumlah barang mewah di luar negeri dan akhirnya melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah tempat seperti Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang; Jakarta; Tangerang Selatan; Depok; dan Bekasi.
Adapun pihak yang ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta adalah Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo beserta istrinya, Iis Rosyati Dewi; Stafsus Menteri KP Safri; Dirjen Tangkap Ikan KP Zaini; Ajudan Menteri KP Yudha; Protokoler Menteri KP Yeni; Humas Kementerian KP Desri; dan Dirjen Budi Daya KKP Selamet.
Sedangkan yang ditangkap di rumah masing-masing adalah Direktur PT DPP Suharjati; pengurus dan pengendali PT ACK Siswadi beserta istri Nety dan Deden Deni; pengendali PT PLI Dipo; Staf Menteri KP Chusni Mubarok dan Syaihul Anam; staf istri Menteri KP Ainul Faqih; dan Staf PT Gardatama Security Mulyanto.
Dari 17 orang ini, setelah KPK melakukan pemeriksaan secara intensif selama belasan jam, akhirnya ditetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap ekspor benur ini yang terdiri dari enam orang penerima suap yaitu Menteri KP Edhy Prabowo, stafsus Menteri KP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); staf istri Menteri KP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).
Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).
Pemufakatan jahat bermula di lantai 16 Gedung KKP
Setelah membacakan nama tersangka yang tersangkut dalam kasus ini, Nawawi kemudian menjelaskan dugaan korupsi ekspor benur ini berawal pada Mei lalu ketika Edhy menerbitkan surat keputusan nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dengan menunjuk Andreau Pribadi Misata yang juga staf khusus Menteri selaku Ketua Pelaksana Uji Tuntas dan Safri sebagai Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.
Tim ini, kata Nawawi, memiliki tugas untuk memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.
Selanjutnya, di awal Oktober, Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito yang belakangan menjadi pemberi suap mendatangi kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan menemui stafsus Edhy, Safri di lantai 16.
"Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp1.800/ekor yang merupakan kesepakatan antara AM (Amiril Mukminin) dengan APS dan SWD," kata Nawawi.
Dari sinilah kemudian diduga terjadi kesepakatan pemberian uang. Karena, perusahaan milik Suharjito lantas disebut melakukan transfer ke rekening PT Aero Citra Kargo dengan total sebesar Rp731.573.564.
Kemudian, berdasarkan arahan Edhy Prabowo melalui timnya, PT Dua Putra Perkasa memperoleh penetapan kegiatan ekspor benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT Aero Citra Kargo. Adapun berdasarkan pengusutan KPK, pemegang PT Aero Citra Kargo ini adalah Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga nominee dari pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.
Selanjutnya, uang yang masuk ke rekening PT Aero Citra Kargo yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, kemudian ditarik dan masuk ke rekening milik pribadi Amri dan Ahmad dengan total masing-masing Rp9,8 Miliar.
Selain penerimaan ini, pada Mei, KPK juga menduga Edhy menerima uang sebesar 100.000 dolar Amerika dari Direktur PT DPP Suharjito lewat Amiril Mukminin dan stafsusnya, Safri. Kemudian penerimaan uang juga terjadi pada Agustus lalu sebanyak Rp436 juta dari staf istri Edhy Prabowo, Ainul Faqih.
Baca juga:
Untuk belanja barang mewah
Setelah uang diterima di rekening Ahmad Bahtiar, si pemilik rekening tersebut melakukan transfer sebesar Rp3,4 miliar kepada staf istri Edhy. Uang yang ditransfer ini kemudian dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi. Tak hanya itu, uang ini juga digunakan oleh dua stafsus Edhy yaitu Safri dan Andreau Pribadi Misata.
Bahkan, uang ini jugalah yang dipergunakan oleh Edhy dan istrinya untuk membeli barang mewah saat lawatan ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat sebelum mereka dicokok KPK. "Untuk belanja barang mewah oleh EP (Edhy Prabowo) dan IRW (Iis Rosyati Dewi) di Honolulu, AS di tanggal 21 sampai 23 November (dipergunakan uang, red) sejumlah Rp750 juta di antaranya berupa jam Rolex, tas Tumi dan LV, dan baju Old Navy," ungkap Nawawi.
Atas perbuatannya, Edhy dan sejumlah pejabat di kementeriannya yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berikutnya setelah ditetapkan sebagai tersangka, Edhy bersama pihak lain akan ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih KPK selama 20 hari ke depan terhitung sejak tanggal 25 November hingga 14 Desember.
Sedangkan untuk tersangka Andreau Pribadi Misata yang merupakan stafsus Edhy dan seseorang bernama Amiril Mukminin belum ditahan. Sebab, keduanya belum diketahui keberadaannya. "KPK mengimbau kepada dua tersangka yaitu APM dan AM untuk dapat segera menyerahkan diri," tegas Nawawi.
Meminta maaf pada Jokowi dan Prabowo Subianto
Usai dinyatakan sebagai tersangka, Edhy Prabowo kemudian angkat bicara dan menyampaikan permintaan maafnya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju. Dalam pernyataannya itu, dia mengaku siap bertanggungjawab dalam kasus dugaan korupsi benih lobster atau benur yang menjeratnya.
"Pertama saya minta maaf kepada bapak presiden saya telah mengkhianati kepercayaan beliau. Minta maaf ke Prabowo Subianto yang sudah mengajarkan banyak hal,” kata Edhy usai konferensi pers pada Kamis, 26 November dini hari.
Selain itu, dirinya juga menyatakan pengunduran dirinya dari partainya. "Saya juga mohon maaf kepada seluruh keluarga besar partai saya. Saya dengan ini akan mengundurkan diri sebagai wakil ketua umum juga nanti saya akan mohon diri untuk tidak lagi menjabat sebagai menteri dan saya yakin prosesnya sedang berjalan. Saya bertanggungjawab penuh dan saya akan hadapi dengan jiwa besar," ungkapnya.
Tak cukup sampai di situ, dia juga menyampaikan permohonan maafnya kepada ibunya dan mengatakan dirinya akan tetap kuat menjalani dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya.
Terakhir, Edhy yang jadi menteri pertama di Kabinet Indonesia Maju yang terjaring operasi senyap KPK ini juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat. "Saya juga mohon maaf kepada seluruh masyarakat seolah-olah saya pencitraan di depan umum, itu tidak. Itu semangat. Ini adalah kecelakaan yang terjadi dan saya bertanggung jawab atas ini semua, saya tidak lari dan saya akan beberkan apa yang menjadi yang saya lakukan," pungkasnya.