Pembangunan Gereja di Masa Kesultanan Banten

JAKARTA - Tiada yang meragukan Banten sebagai salah satu bandar lada terbesar di Nusantara. Citra itu membuat pedagang dari berbagai bangsa di dunia datang ke Banten. Dari China, Inggris, hingga Belanda. Keterbukaan Kesultanan Banten ada di baliknya.

Gerbang kesultanan selalu terbuka untuk semua pedagang. Tanpa pandang bulu. Apalagi setelah Banten mulai melanggengkan perjanjian damai dengan maskapai dagang VOC. Kesultanan Banten bahkan tak melarang orang Belanda membangun gereja.

Daya tarik lada Banten tiada dua. Komoditas itu jadi andalan Kesultanan Banten menjelma sebagai kerajaan besar di Nusantara. Pedagang dari seluruh penjuru dunia pun tertarik. Asia dan Eropa apalagi. Kapal-kapal mereka kerap hilir-mudik di Banten. Kesultanan Banten menyambut mereka dengan tangan terbuka. Tanpa pandang bulu. Apalagi agama.

Keuntungan perdagangan lada yang besar jadi muaranya. Pun lada kerap digunakan sebagai ajian untuk diplomasi Kesultanan. Demi membangun persahabatan, pikirnya. Karenanya, Kesultanan Banten kesohor sebagai kerajaaan yang bijaksana.

Sebagai bentuk kebaikan, Kesultanan Banten banyak melakukan kerjasama dengan pedagang yang datang. Mereka acap kali disambut dengan meriah. Kadang kala juga, pedagang diberikan sebidang tanah untuk membangun rumah atau gudang.

Interior sebuah gereja di Nusantara pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Maskapai dagang Belanda, VOC menyadari hal itu. Niatan memonopoli perdagangan lada di Banten sempat dihadir. Namun, risiko yang akan dihadapi oleh VOC cukup besar. VOC pun bersiasat. Mereka kemudian memilih Jayakarta untuk dijadikan negeri koloni dan berhasil.

Setelahnya, mereka memainkan siasat Devide et Impera (politik adu domba) untuk memonopoli perdagangan Banten. Kompeni memilih memihak kepada Sultan Haji saat melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

“Dalam masalah politik kenegaraan, ia dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke dalam kekuasaan Banten adalah cita-cita utama, dan karenanya ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada tahun 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.”

“Pada tahun 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Pada tahun 1657 Belanda menawarkan perjanjian damai, namun perjanjian itu hanya menguntungkan Belanda, sehingga ditolak oleh sultan. Pada tahun 1580 mulailah perang besar (Belanda berada dipihak Sultan Haji). Perang ini berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata,” ungkap Tri Hatmadji dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2007).

Pembangunan Gereja

Perjanjian kerjasama itu membuka banyak ruang bagi orang Belanda di tanah Banten. Sebagai rasa terima kasih, Sultan Haji mengizinkan VOC menempati sebuah benteng. Benteng Speelwijk, namanya. Di dalam Benteng itu, Belanda diberikan izin untuk mendirikan tempat ibadah: gereja.

Empunya kuasa juga memberikan wewenang kepada Belanda untuk mengatur perdagangan lada di wilayah tertentu. Belanda pun sempat diberikan wewenang mengatur perdagangan lada di Lampung. Wewenang itu sebagai bukti bahwa hubungan VOC dan Banten semakin harmonis.

Keduanya –Banten dan VOC-- juga kerap saling berkirim hadiah. Kesultanan Banten acap kali memberikan hadiah lada yang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, Belanda juga memberikan hadiah bercita rasa Eropa untuk orang nomor satu di Banten.

Hubungan harmonis itu berlanjut hingga Pemerintahan VOC digantikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Orang Belanda semakin memiliki wewenang mengatur Banten. Bahkan, wewenang mendirikan gereja jadi tanggung jawab penuh pemerintah kolonial. Bukan kesultanan lagi.

Lukisan pelaksanaan ibadah dalam sebuah gereja di Nusantara pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Kehadiran Gereja Negara di dekat alun-alun Kota Serang jadi buktinya. Gereja itu didirikan pada 1846. Semuanya – dari biaya hingga gaji pegawai—ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Apalagi orang Belanda yang tinggal di Banten makin hari makin meningkat.   

“Ketika status kekuasaan Belanda di Banten berpindah dari VOC ke Pemerintah Kolonial, pembangunan gereja, baik sebagai sebuah bangunan rempat ibadah kaum Kristen maupun sebagai sebuah institusi, selanjutnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kolonial. Tapak pertama dari pusat pemerintahan Hindia Belanda dibangun di Kota Serang yang ditandai dengan berdirinya kantor Residentie van Bantam.”

“Atas inisiatif Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) yang bermarkas di Batavia, pada 1846 didirikanlah sebuah ‘gereja negara’ di dekat alun-alun Kota Serang. Pengurus ‘gereja negara’ diangkat dan digaji oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pembangunan gereja di Kota Serang bukanlah tanpa alasan, sebab lebih dari 200 penduduk Eropa (terutama Belanda). Ketika itu tinggal di ibu kota. Sebagian besar dari mereka adalah penganut Protestan yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan rohaniah dari Pemerintah Kolonial,” terang Mufti Ali dalam buku Misionarisme di Banten (2021).