Sukses Akhiri Perang Dingin Tanpa Pertumpahan Darah, Mikhail Gorbachev Tak Kuasa Cegah Keruntuhan Uni Soviet
JAKARTA - Presiden terakhir Uni Soviet yang mengakhiri Perang Dingin tanpa pertumpahan darah, tetapi gagal mencegah negara itu runtuh Mikhail Gorbachev meninggal dalam usia 91 tahun pada Hari Selasa, kata pejabat rumah sakit di Moskow.
"Mikhail Gorbachev meninggal malam ini setelah penyakit yang serius dan berkepanjangan," kata Rumah Sakit Klinis Pusat Rusia dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 31 Agustus.
Dipuji di Barat sebagai orang yang membantu meruntuhkan Tembok Berlin dan mengakhiri Perang Dingin tanpa pertumpahan darah, Mikhail Gorbachev secara luas 'dikritik' di dalam negeri sebagai 'penggali kubur' Uni Soviet.
Gorbachev berniat untuk merevitalisasi sistem Komunis sklerotik melalui reformasi demokrasi dan ekonomi, tidak pernah berniat untuk menghapusnya.
Tapi dia melepaskan kekuatan di luar kendalinya, dan mendapati dirinya menempati jalan tengah yang menyusut antara orang-orang yang berniat mempertahankan kekuasaan terpusat dan separatis yang ingin membongkarnya.
Pada Bulan Agustus 1991 ia selamat dari kudeta shambolic oleh garis keras yang runtuh setelah tiga hari, tetapi otoritasnya telah dirusak secara fatal. Empat bulan kemudian saingan besarnya, Presiden Rusia Boris Yeltsin, merancang pecahnya Uni Soviet dan Gorbachev 'kehilangan kekuasaan'.
"Dalam hal ini, saya merasa bahwa Gorbachev adalah sosok yang tragis, mirip dalam banyak hal dengan Raja Lear karya Shakespeare," kata Valery Solovei, salah satu orang di lingkaran dalam Gorbachev pada tahun 1980-an dan setelah kejatuhannya.
"Ini adalah orang yang memerintah negara adidaya, tetapi pada akhir pemerintahannya, negara telah menghilang."
Setelah beberapa dekade ketegangan dan konfrontasi Perang Dingin, Gorbachev mencapai kesepakatan senjata nuklir dengan Amerika Serikat. Ia membawa Uni Soviet lebih dekat ke Barat daripada titik mana pun sejak Perang Dunia Kedua.
Barat dengan cepat menyambut Gorbachev. PM Inggris ketika itu Margaret Thatcher, menyebutnya sebagai "seorang pria yang bisa kita ajak berbisnis".
Gorbachev menjalin hubungan pribadi yang hangat dengan Ronald Reagan, Presiden AS yang telah menyebut Uni Soviet "kekaisaran jahat", dan dengan dia merundingkan kesepakatan penting pada tahun 1987 untuk menghapus rudal nuklir jarak menengah.
Pada tahun 1989, ia menarik pasukan Soviet keluar dari Afghanistan, mengakhiri perang yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan memperburuk hubungan dengan Washington.
Belakangan tahun itu, ketika protes pro-demokrasi melanda negara-negara Komunis Polandia, Hungaria, Jerman Timur, Cekoslowakia, Bulgaria dan Rumania, dunia menahan napas. Ia menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatan, tidak seperti para pemimpin Kremlin sebelumnya yang telah mengirim tank untuk menghancurkan pemberontakan di Hongaria pada tahun 1956 dan Cekoslowakia pada tahun 1968.
Tetapi protes tersebut memicu aspirasi untuk otonomi di 15 republik Uni Soviet, yang hancur selama dua tahun ke depan dengan cara yang kacau balau.
Berkaca pada tahun-tahun kemudian, Gorbachev mengatakan biaya untuk mencegah runtuhnya Tembok Berlin akan terlalu tinggi.
"Jika Uni Soviet menginginkannya, tidak akan ada hal semacam itu dan tidak ada penyatuan Jerman. Tapi apa yang akan terjadi? Sebuah malapetaka atau Perang Dunia Ketiga."
Tapi, dia melihat warisan itu hancur di bulan-bulan terakhir hidupnya yang panjang, ketika invasi Presiden Vladimir Putin ke Ukraina membawa sanksi Barat jatuh terhadap Moskow.
Sementara, politisi di Rusia dan Barat mulai berbicara secara terbuka tentang Perang Dingin baru, hingga risiko Perang Dunia Ketiga dengan nuklir.
Tetapi, reformasi internalnya yang luas membantu melemahkan Uni Soviet sampai pada titik di mana ia runtuh, momen yang oleh Presiden Vladimir Putin disebut sebagai "bencana geopolitik terbesar" abad kedua puluh.
"Kebijakan saya terbuka dan tulus, kebijakan yang ditujukan untuk menggunakan demokrasi dan tidak menumpahkan darah," katanya kepada Reuters pada 2009. "Tapi ini sangat merugikan saya, saya dapat memberitahu Anda itu."
Kebijakannya tentang "glasnost" (kebebasan berbicara) dan "perestroika" (restrukturisasi) memicu gelombang debat publik yang bisa dibilang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Rusia.
Pemilihan umum yang bebas, pers yang bebas, legislatif yang representatif dan sistem multi-partai semuanya telah menjadi kenyataan di bawah pengawasannya, katanya.
"Kami membuka diri kepada dunia, menolak campur tangan dalam urusan negara lain dan penggunaan pasukan di luar perbatasan kami, dan disambut dengan kepercayaan, solidaritas, dan rasa hormat," katanya.
Pada Bulan Maret 1991, sebuah referendum menghasilkan mayoritas besar untuk mempertahankan Uni Soviet sebagai "federasi republik berdaulat yang sama" yang diperbarui, tetapi enam dari 15 republik memboikot pemungutan suara.
Baca juga:
- Presiden Terakhir Uni Soviet Mikhail Gorbachev Wafat pada Usia 91 Tahun
- Jepang Tingkatkan Anggaran Pertahanan, Kemlu China: Ancaman Keamanan dan Perdamaian di Asia Pasifik
- Jumlah Kasus Menurun dan Melambat, WHO Percaya Cacar Monyet Bisa Dihilangkan di Eropa
- Serbu Kantor Polisi untuk Buru Terduga Pembunuhan dan Penculikan Anak: 19 Orang Tewas, 21 Luka-luka
Singkatnya, bertempat di sebuah rumah pedesaan terpencil pada akhir tahun 1991, Boris Yeltsin dari Rusia dan para pemimpin republik Ukraina dan Belarusia menandatangani perjanjian yang menghapuskan Uni Soviet, menggantinya dengan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka.
Pada 25 Desember 1991, bendera merah diturunkan di atas Kremlin untuk terakhir kalinya. Gorbachev muncul di televisi nasional untuk mengumumkan pengunduran dirinya.