Resensi Buku Ketoprak Jakarta – Pengaruh Bahasa Betawi Hingga Pesta Gila Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
JAKARTA - Ibu Kota Jakarta adalah tempat penting bagi bangsa Indonesia. Rangkaian peristiwa sejarah besar terjadi di kota ini. Tonggak awal kolonialisme Belanda hingga kemerdekaan Indonesia, misalnya. Akan tetapi, Jakarta tak cuma itu saja. Sebungkus kisah lain terkait kehidupan masa lampau orang yang mendiami Jakarta juga menarik diperinbincangkan. Ada cerita lucu dan juga tragis. Gambaran itu hadir dalam buku Ketorpak Jakarta (2001).
Buku itu adalah kumpulan artikel yang pernah terbit dalam Majalah Intisari sedari 1968. Selaku kurator, Majalah Intisari memilih 23 tulisan terkait Jakarta dari penulis kesohor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tentu saja, dengan kapasitasnya masing-masing. Beberapa ada nama Budayawan Betawi Ridwan Saidi, Penulis asal Belanda Justus van Maurik, Penulis buku Kamus Betawi Abdul Chaer, Augusta de Wit, dan nama-nama lainnya.
Untuk itu, hasil racikan Majalah Intisari begitu renyah. Yang mana, seperti layaknya sajian ketoprak dengan isi cukup beragam. Ada cerita Jakarta tempo dulu yang ringan, serta ada pula yang berbobot. Ada yang unik, dan ada yang membuat kagum. Oleh sebab itu, seluruh artikel yang tersaji dapat memperkaya pengetahuan para pembaca.
Mulai dari pengaruh bahasa Betawi bagi bahasa Indonesia, ruwetnya trasportasi trem uap zaman dulu, pesta mewah ala Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, hingga Jakarta yang kehilangan banyak monumen bermutu. Semuanya dihadirkan agar para pembaca dapat mengetahui bahwa sejarah Jakarta tak cuma hitam ataupun putih. Melainkan, sejarah itu penuh warna.
Dalam artian, masa lalu Indonesia tak cuma memuat perkara penindasan Belanda kepada kaum bumiputra. Tetapi, banyak hal lain yang dapat dipelajari. Termasuk, pengaruh timbal balik antara penjajah dan kita. Apalagi, perkara perkembangan Jakarta dari masa ke masa yang menarik untuk dipelajari.
Baca juga:
Pengaruh bahasa Betawi
Sumbangsih bahasa Betawi dalam bahasa Indonesia cukup besar. sampai-sampai, seorang pakar bahasa Indonesia sempat mengungkap bahwa bahasa Betawi akan mengganti kedudukan bahasa Indonesia pada abad 21. Kepopuleran itu bukan tanpa sengaja. Sebab, Jakarta yang sejati menjadi pusat segala perjuangan bangsa, telah mendaulat bahasa Betawi menjadi bahasa populer.
Ridwan Saidi dalam tulisan berjudul Setan Cantik Si Ancol itu Bukan Mariam. Babe Ridwan (sapaan akrabnya) mencatat bahasa Betawi mulai menggebrak media cetak berkat kelincahan pena sastrawan, Firman Muntaco. Kala itu, Firman yang aktif menulis kolom “Gambang Jakarte” di Koran Berita Minggu sejak 1957-1965, begitu disukai pembaca. Hal itu karena gaya bahasa Betawi yang diadopsi oleh Firman di masukkan ke dalam penulisan.
Karena itu, Firman mampu menerobos pangsa pasar di luar Betawi, sehingga dialek Betawi mulai dikenal agak luas di Nusantara. Setelah Firman, legenda seni peran Betawi, Benyamin Sueb yang membawa tongkat estafet dialek Betawi dikenal di seantero Nusantara.
“Tanpa sungkan ia mengungkap segala ekspresi Betawi dalam lagunya, mulai dari masalah nginjek gituan, sampai dengan kisah lagi mare ditabrak aje. Tidak ada yang tabu di mata Bentamin, semua didobrak. Orang lantas merasa dibebaskan, sehingga pendukung bahasa Betawi semakin luas,” tertulis di halaman 3.
Kereta setan (Trem uap)
Kehadiran trem uap di Jakarta sekitar tahun 1882 sempat menjadi tonggak kemajuan transportasi di Nusantara. Uniknya, gelar tersebut hanya bertahan sebentar saja. Sebab, trem uap bahkan dianggap sebagai alat angkutan umum paling modern sekaligus paling mematikan di masanya.
Pada masa itu, angka kecelakaan akibat trem uap di Batavia menempati angka paling tinggi. Tak main-main. Trem uap dijuluki sebagai pembunuh terbesar yang berkeliaran di Kota Betawi. Lebih lengkapnya pernah kami ulas dalam tulisan “Tak Ada Transportasi Lebih Mematikan dari Trem Uap di Batavia.”
“Soalnya, suatu saat pernah ia (trem uap) menelan korban selang empat jam sekali. Orang Betawi senang bergurau lantas memakai inisial NITM untuk berolok-oloknya: Naik Ini Tentu Mati,” hadir di halaman 124.
Kritik terkait ugal-ugalannya trem uap di jalan sering disuarakan oleh warga Batavia. Salah satu kritik paling kesohor datang dari bekas Inspektur Keuangan Batavia L.W.J. Olivier (1887-1890). Menurutnya tidak ada perusahaan lain di Hindia-Belanda yang begitu banyak mencucurkan darah manusia. Orang-orang di Batavia pun menjulukinya sebagai “kereta setan.”
Pesta Mewah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
Perilaku pemukim Belanda di Batavia dapat dikatakan cukup unik. Jika di negeri asalnya rakyat Belanda umumnya pandai berhemat, di Tanah Koloni tak demikian. Orang Belanda di Nusantara sering kali hidup di atas kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu tumbuh lewat sikap para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta.
Gambaran itu sempat ditulis oleh Justus van Maurik yang sempat mengunjungi Batavia. Sebagai tamu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Carel Herman Aart van der Wijck (1893-1899), Justus diajak untuk mengikuti pesta dansa di Societeit Harmonie.
Karena itu, Justus senang bukan main karena yang mengundangnya adalah orang nomor satu di Batavia. Sepatutnya, Justus pun bersiap-siap untuk menyiapkan segala sesuatunya agar sempurna dalam mengikuti pesta dansa. Lengkapnya kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.”
“Di muka istana yang terang benderang, kereta besar-kecil menurunkan penumpangnya sebelum meluncur ke tempat parkir di belakang. Ketika kami masuk, ruang resepsi sudah penuh tamu. Ruang dalam disinari lampu gas berbentuk mahkota dan lilin-lilin dari lilin gantung. Tamannya dipenuhi lampion warna-warni. Andaikan suhu udara tak begitu panas, kita serasa berada di ruang dansa di Paris, dengan wanita-wanita cantik yang mengenakan pakaian brokat, satin, sutera, dan perhiasan gemerlapan,” tertulis di halaman 58.
Hilangnya monumen bermutu di Jakarta
Bongkar paksa monumen bernilai sejarah sudah terjadi sedari dulu di Jakarta. Tindakan perusakan itu sedikitnya telah merusak sejarah Jakarta sendiri. Disinyalir, tindakan itu adalah bentuk dari reaksi manusia yang tak berpikir panjang ke depan. Apalagi, perihal monumen bukan cuma masalah besar-kecil atau indahnya monumen, melainkan makna sejarah yang dikandungnya.
Perusakan banyak monumen bersejarah di Jakarta terjadi pada saat perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada 1942. Reaksi Jepang yang mulai menancapkan kuasanya di Nusantara ditandai dengan perusakan satu demi satu monumen bersajarah.
“Yang paling banyak menjadi korban adalah monumen zaman kolonial Belanda. Ketika balatentara Jepang menduduki Betawi, patung Dewa Mars dan Minerva yang keduanya terbuat dari kayu diturunkan dari gerbang Kota Intan untuk dibakar,” tertulis di Halaman 142.
Kiranya, itulah yang menarik dari buku Ketoprak Jakarta. Tak hanya uraian di atas, ada pula cerita lainnya seputar Jakarta tempo dulu, seperti saat Batavia dijuluki kota tahi, pasar Tanah Abang, budak belian di Batavia, dan lain sebagainya. Keunggulan lain dari buku ialah niscaya dengan membaca buku ini, para pembaca dapat bernostalgia ke masa lalu. Setidaknya, untuk mengetahui sejarah ataupun tempat populer di Jakarta tempo dulu.
Detail
Judul Buku: Ketoprak Jakarta
Penulis: Ridwan Saidi, Abdul Chaer, Justus van Maurik, Augusta de Wit, dkk.
Terbit Pertama Kali: 2001
Penerbit: Intisari Mediatama
Jumlah Halaman: 180