Catatan Ringan dari RDP Kapolri dan Komisi III DPR RI Soal Kasus Pembunuhan Brigadir J
JAKARTA - Rapat Dengar Pendapat (RDP) anggota Komisi III DPR RI dengan agenda penjelasan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tentang peristiwa pembunuhan Brigadir J pada Rabu (24/8) sempat ricuh.
Dua anggota komisi III DPR sempat adu mulut terkait tata tertib di luar substansi agenda rapat. Bermula ketika Dipo Nusantara memaparkan latar belakang pertanyaannya terkait kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dipo menyoroti ‘nyanyian’ kuasa hukum Brigadir J di media terkait dengan jumlah personel Polri yang terlibat dalam obstruction of justice. Jumlah yang dinyatakan terlibat dalam kasus tersebut, menurut kuasa hukum, hanya 10 persennya. Menurut Dipo, kuasa hukum tidak mungkin menyampaikan itu tanpa pasokan data. Ada kemungkinan pasokan data tersebut berasal dari internal Polri.
Dinilai terlalu menghabiskan waktu dan bertele-tele, Ahmad Sahroni sebagai pimpinan rapat menggantikan Bambang Wuryanto mengingatkan Dipo agar lebih ke inti pertanyaan.
“Pak Dipo, lebih baik pertanyaannya secara umum, jangan dibacakan satu persatu, takutnya nanti menyalah-artikan kepada orang-orang yang ada di depan sini, secara umum saja Pak Dipo,” Sahroni mengingatkan untuk kedua kalinya.
Saat bersamaan, Wakil Ketua Komisi III DPR RI/FP Golkar Adies Kadir juga menyalakan mikroponnya, “Sebaiknya, sebagai anggota komisi III kita berbicara berdasarkan data dan fakta, bukan berdasar hal yang hoax.”
Belum selesai Adies berbicara, Cucun Ahmad Syamsurijal, Ketua Fraksi PKB di DPR 2017-2024 yang juga anggota Komisi III DPR RI menyelak, “Interupsi pimpinan, interupsi pimpinan.”
“Saya masih interupsi, Anda tidak boleh memotong saya, saya masih interupsi. Saya interuspsi ko dipotong, gimana toh,” sahut Adies.
Keduanya beradu suara, saling selak berinterupsi.
“Kalau saya lagi interupsi tidak boleh dipotong. Anda kan anggota DPR kok enggak ngerti tatib,” kata Adies.
“Bapak juga memotong orang, dengarkan dulu,” timpal Cucun.
“Enggak bisa saya lagi interupsi, baca tatib,” Adies balas menimpali dengan nada meninggi.
Dia melanjutkan argumennya, “Jadi saya sarankan sampaikan hal-hal yang sesuai data dan fakta karena kita bicara harus berdasar data dan fakta. Kalau ada hal-hal yang beredar, sampaikan saja hal-hal yang beredar di media apakah itu betul atau tidak. Jadi, tidak usah menyebut nama. Begitu maksud saya.”
“Kita ini orang hukum, bicara tentang hukum, kalau potong masalah pembicaraan, baca tatib, boleh nggak interuspi, boleh nggak mau ngomong, jadi begitu pimpinan,” ucap Adies.
“Ya saya lanjutkan ketua, saya juga orang hukum ketua,” sahut Dipo.
“Sudah doktor belum?” cibir Adies.
“Bukan begitu ketua,” jawab Dipo sambil melanjutkan uraian pertanyaannya.
Cucun tak terima, “Sebentar Pak, saya minta tertib juga. Saya itu sama dengan bapak juga menduduki pimpinan, tidak pernah saya diktaktor anggota di bawah pimpinan, tolong juga hargai anggota pak. Ini anggota fraksi saya, bapak jangan potong. Kalau waktu habis ingatkan waktu, biarkan anggota saya ngomong pak. Gak boleh, saya juga sama pimpinan di luar komisi ini saya juga menghargai.”
“Jangan bilang Pak Dipo bukan doktor, Pak Adies doktor. Harus dikomparasikan begitu? Enggak boleh pak. Apakah jadi standar doktor itu?” ucap Cucun dengan nada yang juga meninggi.
Merasa namanya disinggung, Adies Kadier langsung menimpali, “Saya tidak senang kalau saya diomong diktaktor, siapa yang diktaktor di sini?”
“Sebentar-sebentar,” Sahroni memotong pembicaraan. Dia mengingatkan para anggota untuk menjaga etika.
“Teman-teman, ini ditonton oleh puluhan juta orang. Kalau etika komisi III tidak bisa memberikan kepada publik dengan jelas, rusak ini kita. Lebih baik kita pelan-pelan, sabar dulu,” ucapnya.
“Terkait dengan Pak Adies, mungkin masalah doktor atau segala macam, kita semua pasti punya gelar. Tapi kiranya, yuk kita sama-sama dinginkan kepala kasihan Pak Kapolri sudah stres ini dia. Lebih baik kita mengedepankan kepentingan persaudaraan pada saat ini,” tegas Sahroni.
Kritikan Fahri Hamzah
Cekcok hingga adu mulut, mencibir, menyindir sesama anggota DPR, baik dalam persidangan maupun di luar persidangan bukan kali pertama terjadi. Tujuh tahun silam, Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019, Fahri Hamzah bahkan sampai menyebut wakil rakyat yang duduk di Senayan kurang cerdas.
Itu diungkapkan dalam suatu diskusi bersama Direktur Eksekutif Lingkar Madani soal 7 proyek baru DPR di salah satu TV Swasta Tanah Air pada 2015.
Menurut dia, anggota DPR terlalu sering memperdebatkan persoalan yang tidak substantif. Sebab, mereka dipilih bukan karena cerdas, tapi karena disukai rakyat.
“Makanya, kadang-kadang banyak orang juga datang ke DPR ini tidak cerdas, kadang-kadang mungkin, kita bilang rada-rada bloon begitu,” kata Fahri amzah.
Namun, sebagai negara demokrasi, setiap pilihan rakyat harus dihargai.
“Karena itulah kita memberikan kekuatan kepada otak dari orang-orang yang datang ke gedung ini dengan memberikan mereka staf, dengan memberikan mereka sistem pendukung, pusat kajian, ilmuwan, peneliti dan lain-lain dan lain-lainnya. Itulah cara kerja dari lembaga demokrasi,” lanjut Fahri Hamzah.
Atas ucapannya itu, Fahri sampai mendapat sanksi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dia juga dipecat dari partainya karena dianggap kerap berseberangan dengan sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Modal Rp5 Miliar
Tak dapat dipungkiri, sistem yang terbangun saat ini kurang mampu untuk menemukan wakil-wakil rakyat yang memiliki kapabilitas dan kualitas baik. Sebab, hanya bermodal kepandaian tidak akan cukup mengantarkan seseorang duduk sebagai wakil rakyat di Senayan. Yang terpenting adalah modal materi.
Bayangkan, kata Anggota Komisi IX DPR RI Irma Chaniago, untuk bisa bertarung menjadi anggota legislatif butuh modal tidak sedikit.
“DPR RI misalnya. Minimal Rp5 miliar. Baru bisa bergerak, kalau enggak, enggak bakalan menang deh. Sekarang tuh wani pironya gila-gilaan. Masyarakat sekarang enggak peduli apakah dia berkualitas atau tidak yang penting duit. Buktinya bisa dilihat, banyak koruptor yang bisa masuk lagi di parlemen. Banyak juga orang yang cacat secara hukum bisa terpilih lagi,” papar Irma kepada VOI.
Di sisi lain, partai politik juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tersandung parlementary threshold.
“Mereka juga tidak mau tahu. Entah dari mana yang penting bisa bawa kursi, mau nanti di parlemen cuma jadi vote getter, cuma jadi follower, enggak ada urusan, yang penting mereka bawa kursi,” tandas Irma.
Baca juga:
- Rangkuman Penjelasan Kapolri kepada Komisi III DPR RI Soal Kasus Pembunuhan Brigadir J
- Kronologi Pembunuhan Brigadir J: Mulai Pembentukan Timsus Sampai Mutasi 24 Personel Polri
- Wisuda Brigadir J di Universitas Terbuka: Cita-Cita Menjadi Perwira Kandas Secara Tragis
- Safari Politik Puan Maharani: Kiat PDIP Mencari Simpati, Menjaring Koalisi