Tak Ada Lagi Sekat dan Pengotakan Genre, Biarkan Musik yang Bicara di Jazz Gunung
JAKARTA - Salah satu 'masalah' yang kerap kali muncul dalam festival musik jazz di negeri ini, adalah nama-nama artis/band non-jazz yang nyempil dalam barisan line-up nya. Pertanyaan selalu meletup, kenapa harus dipaksakan? Namun, Jazz Gunung menjawabnya dengan cara elegan. Ya, hanya event berusia 14 tahun ini yang mampu menyatukan semua genre musik. Bukan cuma saling tempel, tapi melebur satu sama lain.
Dihelat di Amfiteater, Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, Jawa Timur selama dua hari, 22-23 Juli, Jazz Gunung Bromo bukan sekadar gelaran hiburan semata. Melainkan sebuah sensasi baru menikmati musik jazz dalam ruangan terbuka di ketinggian dua ribu meter di atas permukaan laut.
Dingin? Sudah pasti. Suhu di Bromo saat musim kemarau mencapai 10 derajat celsius. Siang atau malam, nyaris tidak pernah berubah suhunya. Dinginnya menusuk tulang dan membuat kulit kebas. Bagi para penampil yang terbiasa dengan udara panas seperti di Jakarta, tentu ini jadi masalah besar. Salah satunya, Blue Fire Project yang menggaet dua musisi kawakan; Achmad Albar dan Ian Antono.
Tapi, ternyata, dua rocker legendaris ini tidak punya tips khusus untuk mengantisipasi 'musuh baru' mereka. Achmad Albar cukup mengenakan jaket, tidak dikancingkan pula bagian depannya. Sementara itu, Ian Antono, malah hanya menggunakan sweater hitam bergambar artwork salah satu grup band.
Baca juga:
- Jogjarockarta Berganti Tema: Pindah Venue dan Ada Tambahan Penampil
- 30 Tahun Edane Berdiri, Kenali Lebih Dalam Sosok Spesial Bernama Eet Sjahranie
- 10 Band Indonesia yang Dihuni Kakak Beradik, Paling Buncit Terkenal di Eropa
- Bless The Knights Gaet Gitaris Brasil Ed Garcia, Tebar Pesona ke Mancanegara Lewat Parallel Universe
Dari sisi repertoar, mereka didaulat membawakan barisan lagu yang sudah disulap jadi jazzy dengan baluran musik etnik. Dan ternyata, lagu-lagu inilah yang mereka jadikan penangkal dinginnya udara Bromo. Bukan baju tebal berlabis-lapis atau minuman berakohol bergelas-gelas.
Membuka penampilan dengan Panggung Sandiwara, Iyek - sapaan Achmad Albar - yang muncul dari kerumunan penonton sudah bikin suasana hangat sejak awal. Mengejutkan sekaligus intim! Menyapa setiap penonton lewat senyum dan lambaian tangannya.
Lagu kedua, Kehidupan - dilanjutkan dengan Semut Hitam - bikin lebih hangat lagi. Penonton - tua dan muda - bukan cuma ikut bernyanyi melainkan juga berjoget dan melompat tipis. Bahkan, tampak dua bapak berusia lanjut berjoget ekspresif sambil menginjak bangku yang semula mereka duduki. Intinya, Jazz Gunung Bromo benar-benar menyatukan perbedaan.
"Lagu ini belum pernah dibawakan sama sekali oleh God Bless. Kami bawakan pertama kali, spesial untuk Jazz Gunung. Semoga saya tidak lupa menyanyikannya," lontar Iyek sesaat sebelum membawakan Zakia, lagu dangdut dari album solo Iyek yang dirilis puluhan tahun silam.
Sebagai penutup. Iyek dan Ian membawakan lagu sejuta umat, Rumah Kita, yang disambut kur tanpa komando dari jemaah Al-Jazziah atau penikmat Jazz Gunung Bromo yang memenuhi venue. Dinginnya suasana Bromo jadi terasa hangat diselimuti lagu-lagu yang diaransemen ulang oleh Bintang Indrianto ini.
Lantas, di mana sisi jazz-nya? Oke, secara mutlak, lima lagu yang dibawakan dua rocker gaek ini tidak kehilangan roh musik berdistorsinya sama sekali - kecuali Zakia. Tapi, ada nada-nada 'miring' khas musik jazz yang terselip di antara barisan chord mayor dan minor mainstream yang sudah jadi kodrat lagu-lagu tersebut. Paling nyata sih ada dalam intro lagu Semut Hitam. Sudah agak berkurang tuh kemiripan lagu ini dengan lagu Goin' Crazy-nya David Lee Roth.
Belum lagi penambahan unsur musik etnik yang membuat lagu ini makin terdengar elegan sekaligus mewah. Jika dulu Ian dan Iyek meleburkan musik etnik Jawa dan Bali ke dalam barisan komposisi keras band Gong 2000, kini, panjak/pengrawit Angkulung Banyuwangi mewarnai lagu-lagu rock dan dangdut yang sudah mereka sisipkan elemen jazz-nya.
Selain Blue Fire Project feat. Achmad Albar dan Ian Antono, Jazz Gunung Bromo juga menampilkan Pusakata, Duo Weeger, Irsa Destiwi & Nesia Ardi, SweetSwingNoff, Ring of Fire Project feat. Jogja Hiphop Foundation, Andien, Gilang Ramadhan Komodo Project, Andre Dinuth, dan Aditya Ong.
Mereka secara total tampil di hari pertama dan kedua untuk menghibur dan mengapresiasi para penonton yang datang dari dalam dan luar negeri. Pusakata berhasil membuat atmosfer arena pertunjukkan terasa begitu syahdu.
“Persis seperti yang dibilang Ian Antono, di Jazz Gunung biarkan musik yang bicara, kami hanya ingin menampilkan karya kami dan ikut meryakan kembalinya panggung tatap muka,” ungkap Mohammad Istiqamah Djamad, pemilik nama panggung Pusakata dalam sesi konferensi pers hari pertama.
Pada hari kedua, Komodo Project (Gilang Ramadhan, Ivan Nestorman & Adi Darmawan) tampil dengan begitu khidmat lewat musiknya yang juga kental dengan nuansa etnik. Lalu Andien berhasil menghangatkan suasana dengan lagu-lagu hitsnya dan tampil energik berinteraksi serta mengajak penonton bernyanyi bersama tanpa sekat.
Ring of Fire Project feat. Jogja Hiphop Foundation pun berhasil membuat Butet Kartaredjasa naik panggung dan bernyanyi bersama. Ini menjadi panggung kedua dirinya setelah sempat vakum karena sakit.
Semangat penampil, penonton, dan penyelenggara terangkum kembali seperti tahun-tahun sebelum pandemi. Mereka yang hadir telah mendapatkan booster dan melakukan swab antigen untuk yang baru mendapatkan vaksin kedua.
Singkatnya, Jazz Gunung Bromo adalah ruang kolaborasi budaya dan musisi lintas generasi serta lintas genre tanpa disekat batasan-batasan tertentu. Jadi, jangan pertanyakan lagi soal kehadiran musisi non-jazz yang hadir dalam acara ini. Karena, "Biarkan musik yang bicara".