Tak Ada Transportasi Lebih Mematikan dari Trem Uap di Batavia
JAKARTA - Jaringan transportasi massal trem pernah menjadi primadona di Jakarta. Setelah trem bertenaga kuda pada 1869, penduduk Batavia mulai mengenal trem bertenaga uap sejak 1882. Seketika, trem uap mendapatkan sambutan hangat di Batavia. Trem uap bahkan dianggap sebagai alat angkutan umum paling modern sekaligus paling mematikan di masanya.
Kehadiran trem uap dianggap sebagai penerus eksistensi trem kuda yang memiliki banyak masalah, mulai dari terlalu lambat, masalah kuda yang sembarang buang hajat, hingga kematian kuda-kuda dan rasisme di dalam gerbong trem. Pembahasan lengkapnya dapat dibaca di artikel Trem Kuda di Batavia: Zaman Kuda Gigit Besi Sampai Mati.
Sederet masalah itu jadi awal dari senjakala trem kuda. Pemerintah Belanda dan firma Dummler & Co. putar otak mengganti trem kuda dengan steam tramway engines atau yang lazim dikenal trem uap. Material untuk proyek trem uap langsung didatangkan dari pabrik asal Jerman, Lokomotiv Fabrik Hohenzollern.
Penulis H.J.A Dufarc, dalam buku yang banyak membahas sejarah trem di Batavia dan Surabaya, Trams en Tramlijnen, De Elektrische Stadstrams op Java (1972), menjelaskan tahap awal kehadiran trem uap. Saat itu kompeni memanfaatkan jalur trem kuda. Hal itu berlangsung hingga semua fasilitas berangsur-angsur diganti dan rampung pada tahun 1884.
Namun, trem uap yang ada di Batavia tak seperti trem uap di negara lain. Jika biasanya lokomotif trem uap diisi air lalu dipanaskan dengan api batu bara atau api kayu untuk menghasilkan uap, trem uap di Batavia lokomotifnya terdiri atas sebuah ketel yang disebut remise.
Di pangkalannya di Kramat, remise diisi uap yang telah memiliki tekanan tertentu. Berbekal uap kalengan ini, trem cukup kuat bergerak di "lijn" (lintasan) dari Kramat ke Kota (Oud Batavia), lalu ke Meester Cornelis (Jatinegara) dan kembali lagi ke pangkalannya untuk mengisi mengisi bahan bakar dengan uap kalengan tadi.
Kelak, setelah konsesi yang dipegang Dummler & Co. telah habis, perusahaan baru bernama Nederlandsch-Indische Tramweg Maatchappij (NITM) mengambil alih posisi perusahaan sebelumnya. Di bawah operasi NITM, trem uap menjelma jadi moda transportasi massal utama di Batavia.
Tiap trem uap lewat, bunyi khas loncengnya begitu melekat dalam ingatan warga Batavia. Di atas lokomotif tampak masinis bumiputra berdiri dengan petugas yang siap menyalakan api. Biasanya masinis ditemani pula oleh dua orang kondektur bumiputra yang berseragam, tapi tanpa alas kaki. Sementara, kepala kondekturnya adalah orang Eropa yang lazimnya pensiunan tentara.
Sistem kelas di trem uap
Salah satu hal yang membuat trem uap menarik bagi orang Belanda adalah sistem pembagian kelas. Pembagian dilakukan dengan perbedaan tarif. Hal ini tak ditemukan di trem kuda sebelumnya, di mana semua golongan masyarakat berbaur dengan satu tarif. Ketiadaan sistem kelas itu membuat orang Eropa tak nyaman harus berbaur dengan etnis lain yang mereka anggap di bawah mereka.
Untuk kelas satu, NITM mengkhususkan penumpang yang didominasi orang-orang Eropa dengan tarif sebesar 20 sen. Lalu, kelas dua didominasi penumpang yang berasal dari orang-orang timur asing, seperti orang China, Arab, dan India. Terakhir, kelas tiga yang diperuntukkan untuk kaum bumiputra dengan tarif hanya sebesar 10 sen. Dalam sekali jalan, trem uap mampu menarik tiga gerbong.
Meski begitu, hal itu hanya sebentuk aturan saja. Di lapangan, pemandangan berbeda ditemukan. Apalagi, dari kejauhan bunyi lonceng trem uap telah menyapa warga Batavia. Konon, siapapun orang yang mampu membayar sesuai harga, maka sang pemilik karcis bebas menempati kelas yang diinginkan di dalam trem uap.
“Saya dengar apabila mereka membayar dengan tarif penuh, mereka dapat duduk di kelas satu atau kelas dua. Tapi, yang mampu membayar tentu hanya golongan pribumi kaya. Ganjilnya adalah orang Tionghoa, Arab, dan Eropa tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Apa alasannya saya tidak begitu tahu dengan jelas,” ungkap H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2017).
Serdadu Belanda itu menambahkan, meski dirinya berdarah Belanda totok, Clockener tetap tak setuju dengan peraturan pembagian kelas berdasar ras. Karena itu, Clockener tak segan-segan menyebut sistem pembagian kelas hanya bentuk prasangka rasis gila yang masih dianut oleh banyak orang Eropa di Hindia ini.
“orang-orang yang di Belanda hanya seorang pemerah susu, hanya karena mereka tidak memiliki kulit sawo matang yang indah seperti orang-orang pribumi, di Hindia mereka mengganggap dirinya luar biasa. Kadang-kadang, saya sering merasa keberatan dan tidak jarang bertengkar karena masalah itu,” tambahnya.
NITM: Naik Ini Tentu Mati
Walau sempat dielu-elukan oleh warga Batavia, kehadiran trem uap pada akhirnya menghadirkan ragam masalah, terutama di musim hujan. Hal itu tak lain karena inovasi uap kalengan bukanlah penemuan yang sempurna. Alhasil, ketika hujan turun, trem uap jadi sering mogok karena uap kalengan tersebut telah mendingin.
Di musim kemarau pun begitu. Kekuatan dari tenaga uap kadang kala tak memadai untuk menarik gerbong-gerbong melintasi jembatan Kramat --jembatan yang menghubungkan Kramat Bunder dan Kwitang. Akibatnya, warga Batavia sering kali melihat trem uap tak bisa melalui jembatan.
Kendati demikian, masalah trem mogok tak terlalu besar dibanding masalah kecelakaan yang disebabkan kehadiran trem uap. Angka kecelakaan akibat trem uap di Batavia menempati angka paling tinggi. Tak main-main. Trem uap dijuluki sebagai “pembunuh terbesar yang berkeliaran di Kota Betawi.”
“Soalnya, suatu saat pernah ia (trem uap) menelan korban selang empat jam sekali. Orang Betawi senang bergurau lantas memakai inisial NITM untuk berolok-oloknya: Naik Ini Tentu Mati,” ditulis dalam tulisan berjudul Naik Ini Tentu Mati di buku "Ketoprak Jakarta" (2001).
Baca juga:
Kritik terkait ugal-ugalannya trem uap di jalan sering disuarakan oleh warga Batavia. Salah satu kritik paling kesohor datang dari bekas Inspektur Keuangan Batavia L.W.J. Olivier (1887-1890). Menurutnya tidak ada perusahaan lain di Hindia-Belanda yang begitu banyak mencucurkan darah manusia.
“Tidak akan pernah ada perusahaan kedua di Hindia-Belanda yang begitu banyaknya mencucurkan darah manusia dan masih menuntut lebih banyak lagi seperti trem uap Betawi, belum terhitung kerugian keuangan yang ditimbulkan pada pihak swasta seperti kuda, kereta, dan lain-lain,” ungkap Olivier.
Kritikan tersebut tak begitu ditanggapi kompeni dan NITM. Eksistensi trem uap bertahan selama 50 tahun. Pada akhirnya, trem uap pun benar-benar menemui akhir pada 30 September 1933. Alasannya, jaringan tranportasi massal trem kala itu mulai mengadopsi teknologi baru, yakni trem bertenaga listrik. Bukan karena menggunungnya masalah yang diakibatkan trem uap.